Untuk segala pelik yang dirasa hari ini.
Ruang yang kau buat dalam diriku, pun juga milikmu.
Boleh disini sampai kapanpun.
Sampai pulih, dan pelik lagi pun ini akan tetap menjadi milikmu.
Tempat pulangmu, resahmu, bahagiamu.
Satu minggu, satu bulan dan akan jadi selamanya jika kamu tetap disini.
Sayangku, tidak semua bagian pahit di dunia harus dilupakan.
Kadang kamu hanya butuh tenang untuk menerima semua keadaan.
Berhenti untuk bahagia bukan sebuah kesalahan, kamu juga berhak merenung dan menjadikan beberapa salah menjadi syukur.
Kita berdua sama-sama menjalani semuanya.
Tapi kita harus berani untuk menerima.
Karna akan lebih banyak yang kita hadapi, tetap bersamaku.
Nanti kita akan baik-baik saja.
Rabu, 29 Januari 2020
Senin, 06 Januari 2020
Di Tulis Di Dekat Jendela; Hujan
Diamnya banyak yang menggerutu di dalam hati.
Menangis haru tak tau malu. Hanya tidak ingin siapapun tau, disimpannya di tempat yang paling dalam supaya tidak mampu terlihat. Dibalut beberapa kain tegar untuk mampu tertawa bahagia.
Tunggu saja waktu yang membuatnya berontak. Ingin keluar tanpa kehendak. Memaksa tidak terjadi apa-apa pun tidak bisa, tiba saatnya akan terbongkar.
Mau diam tanpa bahasa berapa lama pun, akan keluar satu kata yang mewakili semuanya.
Karena pada dasarnya, meskipun diam itu emas, tapi tidak semua orang tidak membutuhkan emas. Hanya butuh dimengerti sebagai dirinya sendiri. Tidak diiringi tuntutan dari beberapa nyawa lain.
Kenapa tidak, sendiri-sendiri? Kenapa haru saling mengurusi? Memangnya tidak ada yang indah dihidupmu, atau bagaimana?
Kita sama-sama mempunyai kaki yang bisa melangkah sendiri. Mengejar mimpi, menciptakan jejak baik. Jejak ikhlas. Jejak sabar. Atas dasar diri sendiri.
Dorongan seberat apapun yang diberi, langkah tetap yang mengeluarkan tenaga, mengalir keringat, menciptakan nafas sesak, itu diri sendiri.
Sempat lebih merenung dari langit hari ini. Ingin baik baik saja, tapi hanya awalnya. Kemudian berhamburan datangnya. Tidak kuasa mengeluarkan semuanya. Membiarkan yang abu-abu menjadi biru, lagi. Sembuh.
Semua nyawa berhak berharap. Kepada apapun, siapapun, bagimanapun langit ke depannya. Entah menangis selama beberapa bulan, entah mulut kering karena terlalu lana tertawa riang. Yang penting ada, rasanya.
Jika berdasarkan diri sendiri, pahit manisnya mudah diterima.
Menangis haru tak tau malu. Hanya tidak ingin siapapun tau, disimpannya di tempat yang paling dalam supaya tidak mampu terlihat. Dibalut beberapa kain tegar untuk mampu tertawa bahagia.
Tunggu saja waktu yang membuatnya berontak. Ingin keluar tanpa kehendak. Memaksa tidak terjadi apa-apa pun tidak bisa, tiba saatnya akan terbongkar.
Mau diam tanpa bahasa berapa lama pun, akan keluar satu kata yang mewakili semuanya.
Karena pada dasarnya, meskipun diam itu emas, tapi tidak semua orang tidak membutuhkan emas. Hanya butuh dimengerti sebagai dirinya sendiri. Tidak diiringi tuntutan dari beberapa nyawa lain.
Kenapa tidak, sendiri-sendiri? Kenapa haru saling mengurusi? Memangnya tidak ada yang indah dihidupmu, atau bagaimana?
Kita sama-sama mempunyai kaki yang bisa melangkah sendiri. Mengejar mimpi, menciptakan jejak baik. Jejak ikhlas. Jejak sabar. Atas dasar diri sendiri.
Dorongan seberat apapun yang diberi, langkah tetap yang mengeluarkan tenaga, mengalir keringat, menciptakan nafas sesak, itu diri sendiri.
Sempat lebih merenung dari langit hari ini. Ingin baik baik saja, tapi hanya awalnya. Kemudian berhamburan datangnya. Tidak kuasa mengeluarkan semuanya. Membiarkan yang abu-abu menjadi biru, lagi. Sembuh.
Semua nyawa berhak berharap. Kepada apapun, siapapun, bagimanapun langit ke depannya. Entah menangis selama beberapa bulan, entah mulut kering karena terlalu lana tertawa riang. Yang penting ada, rasanya.
Jika berdasarkan diri sendiri, pahit manisnya mudah diterima.
Langganan:
Komentar (Atom)
siapa yang paling terang
tak ada warta, tak ada warna menjenguk arang yang ditinggalkan apinya menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya memanggil hujan dengan...
-
tak ada warta, tak ada warna menjenguk arang yang ditinggalkan apinya menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya memanggil hujan dengan...
-
terkadang waktu bagai buku lapuk yang tergeletak menyaksikan manusia meninggalkan jejak bergerak ke rumah pengabdian, beranjak dari keny...
-
Pernah hampir terbunuh sama pikiran sendiri. Entah darimana datengnya, apa alasannya. Pernah hampir rapuh karna langkah sendiri. Berjalan j...