Selamat Malam, singgahan kaki,
rumah orang.
Kota yang tidak pernah absen
dalam kerinduan. Bagaimana sekarang?
Ingat singgahan paling
bermaknaku? Saat jalanmu aku susuri hanya dengan dua kaki ini. Tanpa langkah,
rangkulan, dan obrolan dengan siapapun.
Saat hujanmu membasahi tanpa
permisi, menyambutku.
Tidak mau ya? Airku jatuh
sendirian? Untuk itu kau tutupi dengan membasahi kotamu itu.
Seharusnya aku berada disana,
dengan keramaianmu.
Dalam waktu yang sangat lama,
untuk kesendirian.
Tapi tidak ada izin yang bisa
untuk menjadi bekal, katanya kamu terlalu ramai.
Terlalu berbahaya untukku, banyak
suaramu, itu yang membuatmu tidak mudah tidur pula, kan?
Ruangmu luas, tapi tidak mudah
untuk bergerak bebas.
Mungkin sesekali kamu pun harus
tau kota lain.
Sejak memutuskan untuk menuruti
mereka, kembali disini dan tidak bersamamu, aku tersungkur di kasur dalam waktu
yang lama dan tidak mau diganggu.
Memikirkan, kota mana yang bisa
kusinggahi?
Tapi pertanyaan yang lebih dalam,
kota mana yang mau menerimaku?
Tidak ada.
Ya, tidak ada. Aku diminta untuk
berjalan dengan ruang kecil ini.
Meskipun kecil, jalan untukku
tidak terlihat. Makanya aku berdiam terlalu lama.
Menunggu saja, doa yang mana yang
akan dikabulkan.
Ternyata ini, yang sekarang
memudahkan perjalanan.
Ternyata ini, yang menguras
tenaga tapi kebahagiaan.
Ternyata ini, rahasia dibalik
semua larangan.
Ternyata ini, alasan mereka tidak
menginginkanku dengan kota itu.
Bukan hal yang mustahil aku
kembali mengunjungimu, tapi tidak dengan tinggal lama denganmu.
Jangan lelah dengan ramaimu,
justru disetiap titik ramai, ada ruang yang mampu mengukir kenangan indah untuk
setiap orang.
Cara menghargai waktu memang
sulit diterapkan, tau-tau sudah hendak berkepala dua.
Banyak sekali acara meninggalkan
diri sendiri.
Menjadi dewasa semakin sulit jika
tidak dijalankan dengan sepenuh hati.
Dimana saja berdiri, tetap
tinggal pada satu rumah.
Ya, aku tetap disini. Tidak kemana-mana.
Kecuali singgah diberbagai kota impian.