Senin, 29 Juni 2020

Ternyata Tidak Boleh Kemana-mana


Selamat Malam, singgahan kaki, rumah orang.
Kota yang tidak pernah absen dalam kerinduan. Bagaimana sekarang?
Ingat singgahan paling bermaknaku? Saat jalanmu aku susuri hanya dengan dua kaki ini. Tanpa langkah, rangkulan, dan obrolan dengan siapapun.
Saat hujanmu membasahi tanpa permisi, menyambutku.
Tidak mau ya? Airku jatuh sendirian? Untuk itu kau tutupi dengan membasahi kotamu itu.
Seharusnya aku berada disana, dengan keramaianmu.
Dalam waktu yang sangat lama, untuk kesendirian.
Tapi tidak ada izin yang bisa untuk menjadi bekal, katanya kamu terlalu ramai.
Terlalu berbahaya untukku, banyak suaramu, itu yang membuatmu tidak mudah tidur pula, kan?
Ruangmu luas, tapi tidak mudah untuk bergerak bebas.
Mungkin sesekali kamu pun harus tau kota lain.
Sejak memutuskan untuk menuruti mereka, kembali disini dan tidak bersamamu, aku tersungkur di kasur dalam waktu yang lama dan tidak mau diganggu.
Memikirkan, kota mana yang bisa kusinggahi?
Tapi pertanyaan yang lebih dalam, kota mana yang mau menerimaku?
Tidak ada.
Ya, tidak ada. Aku diminta untuk berjalan dengan ruang kecil ini.
Meskipun kecil, jalan untukku tidak terlihat. Makanya aku berdiam terlalu lama.
Menunggu saja, doa yang mana yang akan dikabulkan.
Ternyata ini, yang sekarang memudahkan perjalanan.
Ternyata ini, yang menguras tenaga tapi kebahagiaan.
Ternyata ini, rahasia dibalik semua larangan.
Ternyata ini, alasan mereka tidak menginginkanku dengan kota itu.
Bukan hal yang mustahil aku kembali mengunjungimu, tapi tidak dengan tinggal lama denganmu.
Jangan lelah dengan ramaimu, justru disetiap titik ramai, ada ruang yang mampu mengukir kenangan indah untuk setiap orang.
Cara menghargai waktu memang sulit diterapkan, tau-tau sudah hendak berkepala dua.
Banyak sekali acara meninggalkan diri sendiri.
Menjadi dewasa semakin sulit jika tidak dijalankan dengan sepenuh hati.
Dimana saja berdiri, tetap tinggal pada satu rumah.
Ya, aku tetap disini. Tidak kemana-mana. Kecuali singgah diberbagai kota impian.



Kamis, 18 Juni 2020

Belum Selesai

Kembali sadar, yang dijalani barulah takdir sebagian. Yang telah membuat lelah, bukanlah bagian dari semua perjalanan. Kembali sadar, yang patut dijinjing bukan hanya sebuah beban, tapi kenyataan. Kembali sadar, menatap langit bukan lagi ketika biru, melainkan semua suasana termasuk kelabu. Tak harus terburu-buru selesai, karna nantinya hanya berganti masalah. Bagaimana cara bangun dari serangan semesta, semuanya membuat tidak baik-baik saja meskipun telah menatap hamparannya. Kumpulan debu tak lagi tertiup, sudah pergi sendiri tanpa disuruh. Kiranya sudah tidak lagi berguna. Padahal aku sendiri akan mengukirnya diatas kaca mobil yang sudah lama tak terpakai. Yang dihadapi adalah waktu. Yang diarungi adalah air mata sendiri. Apakah perlu, sebentar bersama kawan? Tersentak dari lamunan penuh pikiran. Hidup adalah perjalanan usaha yang tidak ada henti sebelum mati. Jangan biarkan diri diatur semesta, tidak semestinya. Teruslah pada jalan yang kau tunggu tujuan, menepi buka berarti untuk pergi. Sampai kepada hilang bicaramu, sirna akalmu, hening nafasmu, berbaring dengan tanah dan bilah kayu. Setelah itu, tidak ada keharusan untuk lupa. Jalanlah dengan rencana baru tanpa nafas, diruang baru tanpa dunia.

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...