Seutas kertas maaf tidak bisa menemuimu yang akan menemuiNya.
Nu, tidak menyangka kau mendapatkan waktu yang lebih pendek
daripada mimpi-mimpi kita. Kalimat selamat malam yang kau ucapkan pagi hari
karna ruang operasimu tampak gelap itu, menjadi suguhanku untuk menuliskan
ini.
Hari itu, kau hanya tertidur lama lalu tiada ya? Aku diberi kekuatan dari semesta katanya titipanmu yang mulutnya tak lagi bisa berkata, untuk tidak menangis hingga kau bersama tanah-tanah itu.
Mengungkap cahaya mentari. Tidak pernah bersembunyi dibalik
rintik. Semuanya sudah terjadi Nu, “Bagaimana lagi?” adalah rasa pasrah ketika
kamu memintaku untuk tegar, yah kau mengungkapkannya di mimpi malam itu. Tidak
ada satu-satunya yang mampu ku dapat dan membuatmu selamat.
Aku bahkan bukan yang layak kau cinta, membangunkan kau pun tidak bisa, Nu. Aku gagal menjagamu.
Tidak lagi menatap kedua mata, menyeiramakan kalimat senja.
Menurutku ini juga kehebatan tangisan malam. Melulu disesali, padahal tidak akan
ada yang berubah.
Nu, kedua gelas kopi di depanku ini kehilangan salah satu
bibir manis yang menerima semua kepahitan rasanya.
Membawa segala doa sampai puncaknya, tidak akan
mengembalikan nyawamu. Bulan depan aku ke Gunung Rinjani, gunung yang kau tulis namanya dibagian diary paling depanmu. Hanya karna nayamanya, terbawa di akhir Anugrah, namamu. Tidak lain untuk menyampaikan
salammu, Nu Dan akan ku bawa polaroid yang pertama kali kita ambil. Polaroid yang
bernyawa, kau tersenyum.
Kalau sore itu kau tidak memaksa untuk pergi kesana, kamu
masih berjalan dengan kaki yang tidak terikat kain putih. Badanmu pasti tidak
sesak karna diikat banyak.
Harusnya kau hati-hati, dalam perjalanan yang tidak menuntut
kamu untuk berjalan. Tidaklah kaki tidak berguna, hanya saja meringankan tidak
sampai letih.
Jati yang kita sambung tidak akan runtuh, Nu. Mereka tidak
mampu runtuh meskipun salah satu tangan pembuatnya telah pucat. Berapapun
banyak kejadian-kejadian burukku setelah kau tinggalkanku.
Kau disana tetap baik ya. Mati ataupun hidup, Anugerah Rinjani adalah rasa sayang semesta. Kau di dalam liang penuh doa.
Mungkin tidak ada lagi harapan untuk kau ada, tapi ada
kemungkinan untuk bertemu di tanah surga.
Bukan lagi yang terdahulu, anugerah setinggi dan secantik Anugerah
Rinjani tidak akan mudah terganti. Kau lah sebaik-baiknya penulis cerita hidup
tanpa kriteria. Kau mengarunginya dengan lapang dada dan kebebasan dahaga.
Membuat bahagiamu itu Nu, yang tidak adalagi, sangat sederhana.
Nu,
Kalau memang tidak ada lagi pelukan setiap pagi, panjatan
doa malam hari, senyum seiring mentari, kau tetap Anugerah Rinjani. Yang mempunyai
setengah dari kecantikan semesta.
Batu nisan itu akan bahagia terukir namamu, dia akan bangga
dan berbicara dengan nisan yang lainnya dia lebih dekat denganmu.
Nu, hidupmu tidak sia-sia. Kau mau hidup untuk kehidupan yang lainnya.
Kau tidak akan menjadi terkenang, kaulah kenangan yang tidak
pantas disebut kenangan. Karna sejauh apapun duniamu sekarang, kamu tetaplah
seorang manusia yang sulit melepasku. Matimu tetap hidup di hatiku.

