Jumat, 14 April 2023

dua puluh dua tahun pertama Afda

dari 365 hari, Ia memilih 15 April sebagai selimut hodupmu.

yang meredakan badai kejutan dan memar perjalanan dari kehidupan yang tentu kau tak menyangka dapat bertahan.
memang bukan aku yang membangunkanmu dari tidur panjang hanya untuk meniup lilin dan berpelukan , namun ini adalah sebuah usaha untuk kau tetap hidup.

selamat dua puluh dua pertama, Afda!
untuk semua yang membekas, kamu tidak perlu memaksanya untuk menghilang, bukankah kesedihan juga merupakan bagian dari kehidupan?
dan untuk semua yang sudah dilalui, mereka belum tentu bisa menutup buku dengan syukur sepertimu.
batu penarung yang berhasil kau selesaikan, rumit yang berkabut, atau perasaan yang mengerucut, kau bersama doa di tempat aman yang kami aminkan.

ada berbagai cara Tuhan untuk kau merasakan kebahagiaan, meskipun seringkali kau lebih senang mengulang kesedihan.
ada beberapa hal yang tak mengharuskan untuk kau terus bertaruh, karena bukan kau yang berkuasa dan Maha Esa.
ada kalanya kau hanya bertugas untuk menikmati indahnya menjadi pemeran pengganti, karena tidak selalu kau yang menjadi pemeran utama bahkan dalam ceritamu sendiri.
karena setiap hari adalah masa lalu untuk hari berikutnya.

Afda, banyak amin yang memelukmu hari ini. tapi, apapun yang akan Ia beri nanti, itu kehendakNya. meskipun sering kali memberatkan kedua bahumu dan tidak semua doa Ia kabulkan, percayalah Ia akan mencukupkan dengan apa yang kamu butuhkan.
seraya ikut merayakanmu, Afda!

sebelum menjalani hari kedua ikuti langkah-langkah berikut ini
1. kpopannya nanti dulu, pending 3 menit
2.  klik link
spotify -> https://open.spotify.com/track/6ZJ2PCDZVTPB392n3rkKzU?si=cbX1oFKUSIahSJKzIzjucw
3. play musiknya
4. taro HP nya
5. merem, tanpa distraksi, rasakan sensasinya.

Be better, Afda! semoga Mas Baskara menyelamatkanmu dari dewasa yang kejamnya gak ada habisnya!

Kamis, 13 April 2023

Berjalan Seperti Monyet

 Karya: Zufara Maryami Mufidoh

Sekelompok manusia pembawa korek api telah mengilang dengan asap yang mereka tinggalkan. Aku terbatuk-batuk mencari kelangkaan udara segar. Dahan pohon tempatku menikmati ketinggian telah berjatuhan. Kakiku memijak tanah abu-abu, dengan tangan menyingkirkan asap yang menutup pandanganku.  Hijaunya hutan sudah tak bisa diselamatkan. Aku melangkah keluar dari lindungan batu besar, melihat sekitar dan mencari, di mana temanku? Terlihat mereka mati tergeletak, mati kelaparan, dengan penuh luka bakar, dan duka lainnya.

            Aku memilih untuk mencari harapan meskipun tak sedikit pun kulihat dari kejauhan. Aku berjalan di bawah langit biru yang penuh kepulan asap, melompat dari petak ke petak untuk menghindari panas api, dengan mata yang melihat sekitar mencari yang tidak mati. Tapi tak kutemukan satu pun. Si jago merah di padamkan oleh hujan yang tiba-tiba turun, entah Tuhan mengabulkan doa siapa. Di tepi hutan yang kini gersang, aku berhenti berjalan. Perutku sudah tak kuasa menahan lapar seharian. Aku mencari seteguk air yang dapat membasahi tenggorokan. Namun sudah lebih dulu aku tak sadar.

            Terdengar suara kaki manusia tanpa alas menghancurkan daun-daun kering yang ia injak. Badanku yang lemas tidak mampu bertegur sapa. Namun saat aku memaksa membuka mata, terlihat seorang lelaki paruh baya bertubuh gempal yang berjalan mendekatiku.

Batinku, apakah aku akan diselamatkan atau dengan jalan lain menjemput kematian?

            Ternyata ia membopong tubuh lemasku, dibawanya menjauh dari lautan asap itu. Mataku masih terpejam, aku belum bisa sepenuhnya sadar. Paru-paruku sudah mendapatkan udara segar, napas lega kuhembuskan. Aku di bawa ke sebuah gubuk kecil. Lalu aku dibaringkan di sebuah tikar hangat. Segelas air minum kutenggak habis dengan buah pisang yang setengah matang. Ia tersenyum lebar sambil mengelus kepalaku pelan. Kulihat rambut yang memutih dengan kumis yang tak terawat.

“Untuk sementara waktu, jangan kembali ke asalmu. Berbahaya. Di sini saja temani aku. Ya, monyet pintar?” katanya seolah berpikir aku mengerti ucapannya. Padahal memang iya. Meskipun tak berbahasa, aku mempunyai batin untuk menyalurkan perasaan dengan manusia sekalipun.

            Tiga hari berlalu. Kakiku sudah bisa berlari cepat meninggalkan gubuknya, barangkali lelaki tua itu bagian dari sekelompok pembawa korek api? Tapi asumsiku cepat disingkirkan karena setiap hari, tak pernah lalai, ia sediakan banyak pisang yang ia curi dari kebun tetangganya. Kami menikmati berdua. Lagi pula, ke mana aku pulang? Bukankah rumahku telah dihabisi oleh kelompok pembawa korek api? Sesekali ia bercerita tentang dompetnya yang kering dan hidupnya yang diramaikan dengan sepi. Akhirnya aku yakin dengan Pak Dul, sapaan akrabnya adalah manusia berhati baik. Sudah banyak buah pisang yang kami makan bersama, sampai para tetangga sudah membiarkan kelakuan Pak Dul daripada ia dan monyet kesayangannya mati kelaparan.

Di pagi yang cerah, aku dibangunkan dengan suara ketokan palu di sebuah kayu. Saat aku hendak menghampiri Pak Dul, sebuah kalung besi mengikat leherku, dikaitkan dengan rantai kecil yang panjang mengikat tiang. Aku berusaha melepaskannya tapi tidak bisa, semakin aku berjalan jauh semakin rantai itu mencekik leherku.

“Kau tidak perlu kembali ke sana, mayat temanmu sudah menyuburkan kematian hutan. Tidak usah khawair, di sini kau tidak akan mati. Rantai itu agar kamu tidak nekat pergi, di sini saja ya? Berdua agar tidak saling sepi” Pak Dul menatapku dengan sayang.

Ia masih memotong-motong kayu menjadi bagian-bagian dengan bentuk tertentu. Terus membuat pola, mengecat, memalu, merancang, hingga menjadi sebuah motor-motoran kecil. Aku terbahak melihatnya, apa mungkin motor itu bisa menopang tubuh gempalnya?

Pak Dul melihatku yang terkekeh dari kejauhan. Kemudian ia beranjak untuk mengambil benda mengejutkan lainnya. Sebuah egrang, gerobak kosong, sepeda tanpa pedal, payung, semua terbuat dari kayu dengan paduan cat kotor dan ukurannya kecil jika di bandingkan dengan tubuh gempal Pak Dul. Lalu, untuk apa?

Pak Dul menyodorkan satu persatu, mengisyaratkan aku untuk mencobanya. Sebagai seekor monyet seharusnya aku berwibawa di depan monyet lainnya karena bisa menggunakan mainan manusia. Sepeda itu kulaju dengan kencang, egrang kupakai dengan seimbang, gerobak kudorong dengan senang, dan payung yang kupakai tanpa hujan. Aku mendapatkan perasaan bahagia meskipun seringkali rantai mencekik leherku ketika aku berjalan terlalu jauh. Pak Dul tersenyum lega dan mengelus kepalaku.

“Semuanya aku buat dari kayu-kayu sisa bangunan, catnya juga dari sumbangan tukang” katanya dengan diikuti suara tertawa.

Pak Dul mengelap dahinya yang banjir keringat, meneguk air putih, lalu kembali membuat pola. Kali ini ia memotong papan kayu berukuran  besar. Sementara aku masih sibuk dengan mainanku.

            Keesokan harinya saat pagi yang masih berganti warna langit, Pak Dul membangunkanku yang tidur tergeletak di tanah dengan leher yang masih diikat. Biasanya ia akan hidangkan satu atau dua buah pisang untuk sarapan. Tapi hari ini, ia terlihat lebih sibuk menyusun mainanku di atas gerobak pikul yang baru selesai dibuat. Ia mengajakku masuk ke gerobak itu, untuk apa? Apakah pisangku ada di sana? Tidak ada, yang kudapat hanya gelap karena ia langsung menutup rapat. Lalu aku dibopong-bopong bersama mainanku. Kepalaku sedikit menunduk karena gerobaknya terlalu kecil untuk menopang tubuhku yang penuh pisang. Sesekali ia berteriak memanggil anak-anak, apa pula yang akan dibuatnya?

            Dari dalam gerobak, kudengar suara sorak tepuk tangan ramai. Sepertinya di luar banyak yang menyapa Pak Dul. Tak lama, Pak Dul menurunkan gerobak pikulnya dan membuka pintuku. Apa? Sudah sampai? Mana pisangnya? Kok banyak anak? Apa yang mereka tunggu? Tampak antusias. Pak Dul tersenyum melihat kebingunganku, lalu ia persilahkanku untuk keluar dengan mengulur rantai yang mengikat leherku.

 “Aku bunyikan musiknya, lalu kau berjalan seperti monyet ya!” Pak Dul berbisik di telingaku.

Berjalan seperti monyet? Bagaimana maksudnya? Seekor monyet menirukan jalan monyet? Aku masih mencoba mengerti apa yang terjadi.

            Alat musik mulai ditabuh, nada-nada semangat Pak Dul gemparkan. Semua orang bersorak senang dengan mata yang mengarah kepadaku, apa yang kalian tunggu? Aku tidak tau. Aku mencoba melakukan semampuku, Pak Dul mengulurkan rantai itu agar aku bisa berjalan lebih jauh menghampiri anak-anak ramai. Tepuk tangan menyemangatiku yang berjalan ‘seperti monyet’.

            Satu persatu permainan Pak Dul lemparkan ke arahku. Dengan senang aku memakainya, berlari kesana kemari. Lupa kalau terlalu jauh leher akan tercekik. Ternyata senang yang aku rasakan, mereka ikut merayakan. Para penonton ramai bertepuk tangan dan tersenyum lebar. Selama hidup di dalam hutan, aku tidak pernah tau ternyata tingkah seekor monyet dapat melebarkan senyum puluhan manusia.

            Setelah cukup lama aku beratraksi, Pak Dul menghentikan alunan musiknya. Ia menggandengku dengan kaleng kosong, kami berjalan mendekati para penonton sambil mengulurkan kaleng itu. Beberapa orang memasukkan uang koin, sementara yang lainnya langsung pergi karena sakunya kosong. Setelah terkumpul cukup banyak, Pak Dul menyuruhku untuk masuk kembali ke gerobak pikulnya. Lalu pintu kembali ditutup yang kurasa hanya gelap dan berguncang-guncang dengan uang koin yang berbenturan. Aku pikir kali ini Pak Dul akan berhenti di kebun warga, lalu mengambil beberapa pisang untukku.

Tapi sepertinya kali ini aku dibopong sangat jauh. Ketika sampai, bukan pisang yang kutemukan tapi lagi-lagi khalayak ramai yang terus bersorak. Aku melakukannya lagi dan lagi. Atraksiku dimeriahkan tepuk tangan, tidak berhenti sebelum musik mati. Setelah musik mati pun, aku dibopong menuju keramaian lainnya. Senang rasanya bisa membuat orang lain senang. Tetapi perutku keroncongan, tenagaku habis dan hampir tidak mampu berjalan ‘seperti monyet’. Saat aku tidak bersemangat, Pak Dul akan menarik rantai yang mengikat leherku hingga aku sedikit tercekik.

            Kali ini Pak Dul menepi di sebuah warung makan. Pak Dul memesan teh hangat dan segunung makan siang.  Sayangnya aku hanya melihatnya kenyang, tanpa ia berikan aku satu dua buah pisang. Aku kira setelah itu ia akan membawaku pulang, tapi malah ia mencari tempat ramai lainnya. Tidak ada hentinya padahal kaleng kosong itu telah penuh.

            Satu, dua minggu berlalu tidak bedanya. Ia tetap akan mencekik leherku ketika aku tidak menuruti permintaannya untuk beratraksi agar kalengnya penuh. Tubuh Pak Dul semakin gempal, ia juga tidak pernah lagi melamun tengah malam. Setelah seharian berkeliling, ia pasti menghitung isi yang memenuhi kaleng dan hanya memberiku dua buah pisang sehari. Sementara Pak Dul terus memesan segunung nasi dan banyak minuman manis yang mengalir di tubuhnya. Aku menyadari bahwa Pak Dul memang bukan kelompok pembawa korek api, tapi ia yang selama ini membawa teman-temanku pergi. Sama-sama keji.

            Tiba-tiba di kepalaku terbayang hijaunya hutan yang diramaikan kicauan burung, bersenang-senang dengan teman tanpa mainan, bergelantungan dari dahan ke dahan, sesekali melihat ketinggian dari ujung pohon, mengambil banyak buah yang tumbuh liar, meneguk air dari sungai yang jernih, berlindung di bawah pohon rindang saat hujan deras, dan banyak yang ku rindukan. Aku tidak ingin uang, aku hanya ingin pulang. Aku ingin kebebasan menjadi seekor monyet tanpa tuntutan, tanpa rantai yang mencekik. Tapi bagaimana caranya? Pak Dul bilang, rumahku telah habis tersisa abu. Lalu, ke mana aku harus pulang?

            Sejak saat itu, aku berjalan ‘seperti monyet’ dengan menangis. Aku menghibur mereka sementara hatiku teriris. Pak Dul tidak mau tau, ia hanya mau kaleng itu terisi penuh. Ia menjadi manusia yang tak kukenali.

            Di malam yang sepi, aku memegang besi keras yang mengikat di leherku, rasanya sangat risih. Bagaimana caranya aku berlari jauh tanpa tercekik? Rasanya ingin sekali meninggalkan Pak Dul, tak apalah aku mencari pisang sendiri lagi. Di dalam kandang reot berbahan dasar bambu bekas, aku memejamkan mata mencoba berdoa selayaknya manusia kepada Tuhannya yang mungkin Tuhanku juga. Ya Tuhan, aku tak ingin uang, aku hanya  ingin pulang dan pisang.

            Aku lihat Pak Dul terlelap dengan tumpukan koin dari kalengnya. Mungkin diselimuti uang adalah salah satu mimpinya. Matanya yang sayup terpejam lama, sementara tangannya masih merasa bahagia terus bergerak seperti menghitung uang tiada habisnya. Tuhan, terima kasih sudah mengajakku dekat dengan manusia, tapi Pak Dul tidak manusiawi.

            Aku memegang leherku. Seperti biasa, ketika aku di dalam kandang maka rantai itu akan dilepaskan. Tapi tidak dengan kalung besi yang sama mencekiknya, aku menjadi tidak leluasa bernapas dan bergerak. Di dalam kandang yang sempit ini, tidak ada hentinya aku menyuarakan doa Tuhan, aku mau kebebasan.

            Lalu tiada angin tiada hujan, aku baru sadar. Sejak tadi Pak Dul terlalu larut menghitung uang, sampai ia lupa mengunci kandangku. Tanpa berpikir panjang, aku keluar dan berlari kencang. Tidak sengaja aku menendang kaleng, membuat Pak Dul terbangun dari tidurnya. Aku tidak perduli, aku berlari meskipun Pak Dul terus berteriak meminta aku kembali.

            Aku berlari di tengah gelap gulita malam. Dengan perut lapar dan tenggorokan kering. Aku tak tau jalan, yang aku lakukan hanya berlari dan sesekali bergelantungan untuk mencari rumah baru.

            Langkahku terhenti ketika tidak sengaja aku tersasar di pinggir jalan beraspal. Lampu jalan hanya menerangi sebagian, sementara aku tak tau tujuan. Sorot sebuah lampu kendaraan menyilaukan mataku. Seorang pemuda bertubuh kecil mendekat ke arahku, namun aku segera ancang-ancang untuk berlari jauh. Barangkali, ia akan menjadi Pak Dul kedua yang mencekik leherku atau memaksaku untuk beratraksi demi sesuap nasi? Benar saja, ia mengejarku. Bahkan ia menunggu di bawah saat aku mencoba menaiki pohon.

“Tenang, tenang... aku akan membantumu, aku bukan manusia jahat... kemarilah” ujar lelaki kecil itu.

            Ia mengacungkan sebungkus kacang. Perutku tak kuasa menahan lapar, akhirnya aku turun dan mendekat dengan sedikit menjaga jarak. Ia tersenyum dan menyodorkan kacang untukku. Aku melahap habis kacang itu. Dengan perut yang sedikit terisi, ia menggandeng tanganku. Sepertinya ia bisa membaca raut wajahku yang penuh tanda tanya dan kalung besi yang masih melingkar di leherku.

“Kamu berhasil kabur dari pengurusmu?” sapanya kepadaku.

Aku mengangguk lemas.

“Monyet pintar!” Sahutnya.

Yang ada di kepalaku, semoga doa seekor monyet juga didengar oleh Tuhan. Kembalikan aku ke hutan, kataku dalam hati.

            Ia membujukku untuk ikut dengannya. Seperti enggan mengulang kekecewaan yang kedua, tapi jika aku menolaknya aku harus ke mana? Aku kan hanya seekor monyet yang tidak bisa membedakan kanan dan kiri. Aku pun menyetujui untuk ikut dengannya. Aku membonceng motornya. Ia melaju dengan sangat pelan, sesekali menyuruhku berpegangan.

            Ia adalah Rama. Seorang pemuda yang sadar dengan lingkungannya. Seperti janji yang ia utarakan sebelum berkenalan, keesokan paginya setelah memberi banyak buah-buahan (tak hanya pisang) ia membawaku kembali ke hutan. Aku kembali menghirup udara bersih, tumbuhan yang tumbuh subur, dedaunan yang dibasahi embun, suara hewan yang meramaikan, daun kering yang berhamburan, pohon besar dan tinggi tanpa penebangan, ini yang kusebut kebebasan.

            Tanpa menahanku, Rama membiarkanku berlari dan bergelantungan di depannya. Kemudian ia mengisyaratkanku untuk menghampirinya sekali lagi. Ternyata kebahagiaanku kembali, membuatku lupa kalung besi masih melingkari leherku. Ia lepaskan dengan senyuman, lalu membiarkanku kembali ke hutan dengan lambaian tangan dan senyuman.

            Sebagai seekor monyet, aku tidak butuh uang atau pujian kehebatan atraksiku. Yang kuinginkan hanyalah pulang dengan hutan tanpa penebangan. Teman-temanku yang mati, aku anggap mereka telah berhasil melawan meskipun akhirnya berpihak pada kekalahan. Padahal tempat tinggalku juga berharga untuk manusia tapi seringkali mereka lebih tergoda dengan ketebalan dompet yang berlipat ganda.

Sabtu, 08 April 2023

Tidak Ada Pagi Untuk Bui

Sebelum hari itu tiba, kematian hanyalah bela sungkawa yang basah di halaman novelku. Barangkali terakhir kali aku menangis ketika Bui lahir di dunia. Saat itu aku ikut memeriahkan kebahagiaan Asmara dan Lingga sebagai orang tua. Asmara yang kukenal sebagai kakak perempuan yang tak pandai bersolek dan tak patut menjadi panutan, hari itu menjadi ibu dari anak selucu Buila Wicaksana. Sejak saat itu rumah yang ukurannya tak lebih luas dari lapangan bulu tangkis, sepanjang malam diramaikan oleh tangis. Bui merengek air susu, Bui meminta ditimang, Bui ingin mencuri semua perhatian, Bui ingin menjadi yang tersayang dan memang. Satu persatu dari kami rela terkantuk-kantuk menimang Bui hingga tenang dan kembali menangis. 

Kini Bui hanyalah bayi tiga puluh hari yang diminta menerima kenyataan bahwa sebelum ia tumbuh menjadi dewasa, orang tuanya lebih dulu meninggal dunia. Kematian memaksa kesedihan untuk diterima. Roda mobil yang terhenti di tengah Tol Jagorawi, membuat roda kehidupan kami tak ada baiknya lagi. Terutama untuk Bui, yang mungkin kini tak bisa kuceritakan apa sebab dibalik derasnya air mata hari ini, tapi bagaimana aku menceritakannya nanti? Haruskah aku menutupi, atau membiarkan Bui menangisi luka yang saat ini kurasa? Seketika ikhlas menjelma menjadi langkah tersulit untuk dilalui. Tak ada lelahnya telapak tangan menadah doa, meminta diletakkan kembali nyawa Asmara dan Lingga untuk melihat Buila dewasa. Namun doa yang kencang kukumandangkan tidak didengar oleh Tuhan. Ia lebih berkehendak Buila ada dalam pelukanku, menangis bersamaku di depan jasad kedua orang tuanya yang dimakan lubang jalanan. Bui tidak tahu apa itu duka cita dan bela sungkawa, ia menangis hanya karena menginginkan air susu Asmara.

Satu persatu pemikiran terlintas di kepala bocah tujuh belas tahun sepertiku. 

Bagaimana anak sekecil Bui harus merelakan sesuatu yang begitu besar?

Bagaimana Bui harus mengikhlaskan sesuatu yang belum ia kenal?

Bagaimana Bui harus terbiasa dengan perpisahan yang pertemuannya baru sebentar?

Bagaimana Bui, 

dan mengapa Buila Wicaksana? 

anak sekecil Bui, 

sekecil

Bui

harus menerima takdir yang sulit dilalui. 

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...