Sebelum hari itu tiba, kematian hanyalah bela sungkawa yang basah di halaman novelku. Barangkali terakhir kali aku menangis ketika Bui lahir di dunia. Saat itu aku ikut memeriahkan kebahagiaan Asmara dan Lingga sebagai orang tua. Asmara yang kukenal sebagai kakak perempuan yang tak pandai bersolek dan tak patut menjadi panutan, hari itu menjadi ibu dari anak selucu Buila Wicaksana. Sejak saat itu rumah yang ukurannya tak lebih luas dari lapangan bulu tangkis, sepanjang malam diramaikan oleh tangis. Bui merengek air susu, Bui meminta ditimang, Bui ingin mencuri semua perhatian, Bui ingin menjadi yang tersayang dan memang. Satu persatu dari kami rela terkantuk-kantuk menimang Bui hingga tenang dan kembali menangis.
Kini Bui hanyalah bayi tiga puluh hari yang diminta menerima kenyataan bahwa sebelum ia tumbuh menjadi dewasa, orang tuanya lebih dulu meninggal dunia. Kematian memaksa kesedihan untuk diterima. Roda mobil yang terhenti di tengah Tol Jagorawi, membuat roda kehidupan kami tak ada baiknya lagi. Terutama untuk Bui, yang mungkin kini tak bisa kuceritakan apa sebab dibalik derasnya air mata hari ini, tapi bagaimana aku menceritakannya nanti? Haruskah aku menutupi, atau membiarkan Bui menangisi luka yang saat ini kurasa? Seketika ikhlas menjelma menjadi langkah tersulit untuk dilalui. Tak ada lelahnya telapak tangan menadah doa, meminta diletakkan kembali nyawa Asmara dan Lingga untuk melihat Buila dewasa. Namun doa yang kencang kukumandangkan tidak didengar oleh Tuhan. Ia lebih berkehendak Buila ada dalam pelukanku, menangis bersamaku di depan jasad kedua orang tuanya yang dimakan lubang jalanan. Bui tidak tahu apa itu duka cita dan bela sungkawa, ia menangis hanya karena menginginkan air susu Asmara.
Satu persatu pemikiran terlintas di kepala bocah tujuh belas tahun sepertiku.
Bagaimana anak sekecil Bui harus merelakan sesuatu yang begitu besar?
Bagaimana Bui harus mengikhlaskan sesuatu yang belum ia kenal?
Bagaimana Bui harus terbiasa dengan perpisahan yang pertemuannya baru sebentar?
Bagaimana Bui,
dan mengapa Buila Wicaksana?
anak sekecil Bui,
sekecil
Bui
harus menerima takdir yang sulit dilalui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar