Senin, 01 Mei 2023

Tuan Malang tanpa Titik Terang

Di sudut stasiun ada sebuah lambaian tangan dari seorang lelaki dengan bahu yang pernah kusandari. Ia berlari kecil mendekat ke arahku yang sedang kesusahan mengangkat koperku dari trotoar.

Ia mengulurkan tangan dinginnya, dan menyapaku dengan, “Sudah lama, ya?”

Dan aku baru menyadari, dia adalah Ganang Pambrani. Kekasihku dua tahun silam.

“Ya, apa kabar?”, pertanyaan basa basi saja.

“Baik, mau ke Jogja juga?”

“Iya,  sepertinya kereta yang sama”, pipinya melempar senyum dengan rona merah.

Ia kemudian membantuku mengangkat koper dan kami masuk ke dalam stasiun bersama. Sembari menunggu kereta tiba, dengan sedikit canggung ia terus melemparkan pertanyaan basa basi lainnya. Layaknya manusia purba yang baru bertemu dengan temannya.

Setelah kereta tiba, aku bersiap untuk mencari tempat duduk yang telah aku pesan.

“Pak! Porter ya! Gerbong 3 nomor 9A”, aku melambaikan tangan kepada lelaki paruh baya yang melamun di samping kereta.

“Siap Neng!”, ia berlari kecil dan meraih koperku, kemudian berjalan lebih dulu di depanku.

“Kebiasaan, kan ada aku?”, kata Ganang yang membuntutiku.

“Uangmu sudah banyak”

“Maksudnya?”, Ganang berjalan lebih cepat agar sejajar denganku.

“Barangkali secuil rejeki dariku bisa membeli makanan untuk seluruh keluarganya yang sedang kelaparan di rumah bapak porter itu”

Ia terkekeh, “Masih Ranum seperti yang kutemui empat tahun lalu”

“Dan kamu tinggalkan dua tahun kemudian”

Hening, hanya klakson kereta yang bersiap jalan. Aku mempercepat langkah mengejar porter yang membawa koperku dan meninggalkan Ganang yang mematung di depan pintu kereta.

Kereta ini membawa aku dan Ganang menuju tujuan yang sama. Namun kali ini bukan pernikahan yang membuat kami sulit dilerai beberapa tahun silam. Ini hanyalah perjalanan kereta api yang kebetulan melaju ke depan dengan menyapa masa lalu. Sulit dijelaskan bagaimana hatiku beraroma atau apa raut wajah yang harus aku perlihatkan. Pasalnya, dua tahun lalu adalah luka lama yang masih membiru dengan rasa yang tertata rapih di hatiku.

Kereta berjalan begitu cepat membelah lembah, namun tidak mampu meninggalkan perasaanku yang seharusnya tidak ikut dalam perjalanan ini.

Di tengah lamunan setengah perjalanan, seorang petugas kereta api mengantar kopi panas yang tidak kupesan. Ia memberikannya dengan senyuman, sementara aku terpaku keheranan.

“Dari mas yang di belakang Kakak, mohon diterima”

“Terima kasih”, sahutku. Rupanya Ganang di belakangku, ia tersenyum dengan headset yang menyumpal bising kepalanya. Ini pasti hanya kebetulan, tidak mungkin Ganang seniat itu merencanakan permohonan maafnya. Sebenarnya, dengan senang hati aku melihat senyumnya lagi. Rasa-rasanya kepala ini ingin segera mendarat dibahunya dan menanti diusap lembut.

Bangun Ranum, ini bukan perayaan masa lalumu.

Sulit menolak segelas kopi meskipun dari orang yang sama pahitnya. Aku juga tidak berhak menyalahkan petugas kereta api yang mengantar. Ia tidak salah, perasaanku saja yang berulah.

Satu jam setelah segelas kopi itu kuterima, tidak sedikit pun isinya berkurang. Kubiarkan kehangatan kopi membaur dengan dinginnya pertemuan ini.

Kepalaku penuh dengan pertanyaan ‘kenapa’ yang menggunung dua tahun lalu dan berhasil tenggelam. Kini muncul lagi ke permukaan, membawa rasa lama yang tidak seharusnya lagi ada. Seharusnya aku menikmati perjalanan kereta api tanpa bayangan masa lalu yang menghantui. Seharusnya aku tidak perlu mengundang perasaan itu kembali. Sulit dijelaskan, bagaimana hati yang terluka meminta disiram cinta untuk kedua kalinya?

Aku meliriknya ke belakang dan matanya masih terbelalak melempar senyuman.

Kemudian ia mendekatkan tubuhnya ke kursiku dan berbisik, “Mau temani aku makan siang?”

Tanpa menjawabnya, aku beranjak dan Ganang mengikutiku dari belakang. Kami berjalan menuju gerbong makan. Aku pikir, tidak ada salahnya untuk berdamai? Sekalipun dengan perasaanku sendiri.

“Makan Num?”, ia memecah lamunanku.

“Tidak lapar”, Ganang mengangguk pelan mengerti jawabanku.

“Kopinya gak diminum, berarti teh aja Mbak satu. Jangan terlalu panas, gulanya setengah sendok dan tehnya harus pekat”, Ganang memesan kepada petugas.  

“Ternyata dua tahun tanpa aku tidak membuatmu lupa ingatan, syukurlah”, aku melangkah menuju tempat duduk yang kosong.

“Dua tahun yang lalu justru membuatku selalu mengingat”

“Mengingat karcis parkirmu ada dimana?”

“Mengingatmu lebih tepatnya” Canggung. “Tapi mengingat karcis parkir juga” tambahnya dengan memasang wajah sumringah. Aku tersenyum. 

Pesanan kami sampai, Ganang dengan nasi goreng dan air mineralnya sementara aku dengan teh hangat yang pekat.

“Bagaimana hari ini Num?”, Ganang mencoba membuka obrolan.

Tapi kenapa yang ditanyakan hari ini? Jelas-jelas aku senang hari ini karena bertemu dia. Kenapa dia tidak menanyakan dua tahun yang lalu? Kenapa juga dia tidak menjawab pertanyaan yang ada di kepalaku? Aku juga sih yang gengsi menyampaikannya.

Ganang menatapku, “Aku berbicara denganmu, Ranum. Bukan dengan gelas kosong”.

“A..apa tadi? Hari ini? Baik.. semuanya baik, aku tidak ketinggalan kereta, itu yang terpenting”, aku menjawabnya dengan salah tingkah.

“Dari dulu kamu kan selalu tepat waktu, tidak mungkin terlambat”, sahut Ganang dengan mengunyah suapan nasi goreng terakhirnya.

“Ya, seperti yang kamu tau”

Ganang merogoh saku celananya, “Mau merokok?” tanyaku.

Ia menggeleng dengan senyuman, “Sudah berhenti”

Aku membalas dengan senyum merekah, “Benarkah? Turut senang mendengarnya”

“Jadi ingat dulu, kalau aku merokok.. pasti kamu orang yang paling bawel dan selalu sedia permen buat penggantinya”

“Dan kamu memakaikanku masker agar tidak terkena asap rokoknya”

“Lalu mulutmu tidak berhenti bicara di dalam masker itu, ‘merekok itu berbahaya, sayang paru-parunya, kamu itu masih muda’ daaan semuanya”, katanya dengan nada bicara yang meninggi.

Ia masih mengingatnya, aku tersenyum, “Ada acara apa ke Jogja, Nang?”, lagi-lagi basa basi agar obrolannya tidak berhenti. Tidak mungkin aku melewatkan kesempatan yang dua tahun aku nantikan ini.

“Mau pulang saja”, katanya dengan santai.

“Loh? Kamu punya rumah disana?”, kataku tersentak kaget.

Ganang cengengesan dan berkata, “ Kayaknya Jogja adalah tempat pulang untuk semua orang deh Num, bahkan untuk orang yang tak berumah sepertiku”

Sebentar ....

Aku bergelut dengan pertanyaan di kepala, apa maksudnya Ganang mengatakan dirinya ‘tak berumah’? Rumah yang dimaksud bukan bangunan kokoh yang didirikan sebagai tempat tinggal kan? Pasti maksudnya adalah seseorang yang ia percayai sebagai pasangan saling bertukar cerita dan saling percaya. Ia kan pintar mengibaratkan sesuatu, itu yang membuatku jatuh cinta dulu atau bahkan... masih tersisa. Ada sedikit senyuman yang enggan aku perlihatkan, barangkali hanya aku yang merasakan kebahagiaan.

Aku sudahi bergelut dengan pikiranku dan mencoba mengasingkannya, “Maksudmu tak berumah?”

“Ya.. tidak ada seseorang yang menjadi tempatku pulang”

“Bagaimana dengan Lintang? Sudah selesai?”

Ganang yang sedang meneguk air mineral, tersedak. “Bukan selesai Num, memang tidak ada yang aku mulai dengan Lintang”.

“Bukannya waktu itu kamu-“

Ganang memotong ucapanku, “Mengantarnya pulang? Tidak mungkin aku membiarkan perempuan pulang tengah malam sendirian, dia hanya teman teaterku. Aku sudah menjelaskannya padamu, seharusnya dua tahun berlalu membuat kamu mengerti”

“Teman yang saling berpelukan?”

“Dia mabuk, Num. Malam itu dia mabuk, wajar dia memelukku” Ganang menegaskan ucapannya.

“Mewajarkan berpelukan dengan perempuan lain padahal kamu saat itu berada dalam hubungan yang sedang hangat-hangatnya. Tau apa akibatnya kan? Acara tunangan kita gagal”

“Seharusnya tidak gagal kalau kamu mendengarkan penjelasanku, Ranum”

“Penjelasan atau penyangkalan? Barangkali itu baru salah satu yang ketahuan dari sekian banyak yang kamu sembunyikan”

“Ranum, kita bisa memulainya lagi”

“Untuk apa dimulai, Ganang? Kan sudah tau akhirnya”

“Untuk diperbaiki”

“Aku tidak bisa”

“Aku tahu, pasti tidak hanya aku yang menangis pada malam itu, pasti juga tidak hanya aku yang menunggu kesempatan ini terjadi, saling menatap wajah yang dulu kuusap”

Ya Ganang, tidak hanya kamu.

Aku terdiam, “Tidak ada yang baik-baik saja setelah mengakhiri hubungan dengan pertengkaran” Sambung Ganang.

“Ranum.. Mau kau memulainya lagi denganku?” Ganang mencoba meraih tanganku, raut wajahnya berubah kaget.

Aku gagal menyembunyikannya. “Siapa yang telah memasang cincin di jari manismu?” Ganang dengan memegang tanganku.

“Ranggana”, aku melepaskan tangan dari Ganang dan terpaksa memberitahunya.

“Ranggana? Sahabatku?”

“Aku ke Jogja untuk mengurus pernikahan dengannya”.

Aku tau, kabar ini pasti mendobrak hati Ganang untuk menerima kenyataan. Pasalnya, Ranggana adalah sahabat jauh Ganang yang selama ini mendukung hubunganku dengan Ganang. Namun saat kami selesai, ternyata Ranggana selama ini menyimpan perasaan dan ternyata selama aku bercerita dengannya, aku pun merasa nyaman. Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, bahkan perasaanku dengan Ganang.

Ganang dan Ranggana bertemu di Stasiun Lempuyangan. “Selamat ya, semoga lancar sampai pernikahan”

Ganang akan tau, ada beberapa perasaan yang tidak sampai pada tujuan. Dan Lempuyangan menjadi saksi bahwa tidak ada yang perlu diselesaikan dari hubungan yang sudah selesai. Tidak ada judul kedua dalam ceritaku dan Ganang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...