Di sudut stasiun ada sebuah lambaian tangan dari seorang lelaki dengan bahu yang pernah kusandari. Ia berlari kecil mendekat ke arahku yang sedang kesusahan mengangkat koperku dari trotoar.
Ia mengulurkan tangan dinginnya, dan menyapaku dengan,
“Sudah lama, ya?”
Dan aku baru menyadari, dia adalah Ganang Pambrani.
Kekasihku dua tahun silam.
“Ya, apa kabar?”, pertanyaan basa basi saja.
“Baik, mau ke Jogja juga?”
“Iya, sepertinya
kereta yang sama”, pipinya melempar senyum dengan rona merah.
Ia kemudian membantuku mengangkat koper dan kami masuk ke
dalam stasiun bersama. Sembari menunggu kereta tiba, dengan sedikit canggung ia
terus melemparkan pertanyaan basa basi lainnya. Layaknya manusia purba yang
baru bertemu dengan temannya.
Setelah kereta tiba, aku bersiap untuk mencari tempat
duduk yang telah aku pesan.
“Pak! Porter ya! Gerbong 3 nomor 9A”, aku melambaikan
tangan kepada lelaki paruh baya yang melamun di samping kereta.
“Siap Neng!”, ia berlari kecil dan meraih koperku,
kemudian berjalan lebih dulu di depanku.
“Kebiasaan, kan ada aku?”, kata Ganang yang membuntutiku.
“Uangmu sudah banyak”
“Maksudnya?”, Ganang berjalan lebih cepat agar sejajar
denganku.
“Barangkali secuil rejeki dariku bisa membeli makanan
untuk seluruh keluarganya yang sedang kelaparan di rumah bapak porter itu”
Ia terkekeh, “Masih Ranum seperti yang kutemui empat
tahun lalu”
“Dan kamu tinggalkan dua tahun kemudian”
Hening, hanya klakson kereta yang bersiap jalan. Aku
mempercepat langkah mengejar porter yang membawa koperku dan meninggalkan
Ganang yang mematung di depan pintu kereta.
Kereta ini membawa aku dan Ganang menuju tujuan yang
sama. Namun kali ini bukan pernikahan yang membuat kami sulit dilerai beberapa
tahun silam. Ini hanyalah perjalanan kereta api yang kebetulan melaju ke depan
dengan menyapa masa lalu. Sulit dijelaskan bagaimana hatiku beraroma atau apa raut
wajah yang harus aku perlihatkan. Pasalnya, dua tahun lalu adalah luka lama
yang masih membiru dengan rasa yang tertata rapih di hatiku.
Kereta berjalan begitu cepat membelah lembah, namun tidak
mampu meninggalkan perasaanku yang seharusnya tidak ikut dalam perjalanan ini.
Di tengah lamunan setengah perjalanan, seorang petugas
kereta api mengantar kopi panas yang tidak kupesan. Ia memberikannya dengan
senyuman, sementara aku terpaku keheranan.
“Dari mas yang di belakang Kakak, mohon diterima”
“Terima kasih”, sahutku. Rupanya Ganang di belakangku, ia
tersenyum dengan headset yang menyumpal bising kepalanya. Ini pasti hanya
kebetulan, tidak mungkin Ganang seniat itu merencanakan permohonan maafnya.
Sebenarnya, dengan senang hati aku melihat senyumnya lagi. Rasa-rasanya kepala
ini ingin segera mendarat dibahunya dan menanti diusap lembut.
Bangun Ranum, ini bukan perayaan masa lalumu.
Sulit menolak segelas kopi meskipun dari orang yang sama
pahitnya. Aku juga tidak berhak menyalahkan petugas kereta api yang mengantar.
Ia tidak salah, perasaanku saja yang berulah.
Satu jam setelah segelas kopi itu kuterima, tidak sedikit
pun isinya berkurang. Kubiarkan kehangatan kopi membaur dengan dinginnya
pertemuan ini.
Kepalaku penuh dengan pertanyaan ‘kenapa’ yang menggunung
dua tahun lalu dan berhasil tenggelam. Kini muncul lagi ke permukaan, membawa
rasa lama yang tidak seharusnya lagi ada. Seharusnya aku menikmati perjalanan
kereta api tanpa bayangan masa lalu yang menghantui. Seharusnya aku tidak perlu
mengundang perasaan itu kembali. Sulit dijelaskan, bagaimana hati yang terluka
meminta disiram cinta untuk kedua kalinya?
Aku meliriknya ke belakang dan matanya masih terbelalak
melempar senyuman.
Kemudian ia mendekatkan tubuhnya ke kursiku dan berbisik,
“Mau temani aku makan siang?”
Tanpa menjawabnya, aku beranjak dan Ganang mengikutiku
dari belakang. Kami berjalan menuju gerbong makan. Aku pikir, tidak ada
salahnya untuk berdamai? Sekalipun dengan perasaanku sendiri.
“Makan Num?”, ia memecah lamunanku.
“Tidak lapar”, Ganang mengangguk pelan mengerti
jawabanku.
“Kopinya gak
diminum, berarti teh aja Mbak satu. Jangan terlalu panas, gulanya setengah
sendok dan tehnya harus pekat”, Ganang memesan kepada petugas.
“Ternyata dua
tahun tanpa aku tidak membuatmu lupa ingatan, syukurlah”, aku melangkah menuju
tempat duduk yang kosong.
“Dua tahun yang
lalu justru membuatku selalu mengingat”
“Mengingat karcis
parkirmu ada dimana?”
“Mengingatmu
lebih tepatnya” Canggung. “Tapi mengingat karcis parkir juga” tambahnya dengan
memasang wajah sumringah. Aku tersenyum.
Pesanan kami
sampai, Ganang dengan nasi goreng dan air mineralnya sementara aku dengan teh
hangat yang pekat.
“Bagaimana hari
ini Num?”, Ganang mencoba membuka obrolan.
Tapi kenapa yang
ditanyakan hari ini? Jelas-jelas aku senang hari ini karena bertemu dia. Kenapa
dia tidak menanyakan dua tahun yang lalu? Kenapa juga dia tidak menjawab
pertanyaan yang ada di kepalaku? Aku juga sih yang gengsi menyampaikannya.
Ganang menatapku,
“Aku berbicara denganmu, Ranum. Bukan dengan gelas kosong”.
“A..apa tadi?
Hari ini? Baik.. semuanya baik, aku tidak ketinggalan kereta, itu yang
terpenting”, aku menjawabnya dengan salah tingkah.
“Dari dulu kamu
kan selalu tepat waktu, tidak mungkin terlambat”, sahut Ganang dengan mengunyah
suapan nasi goreng terakhirnya.
“Ya, seperti yang
kamu tau”
Ganang merogoh
saku celananya, “Mau merokok?” tanyaku.
Ia menggeleng
dengan senyuman, “Sudah berhenti”
Aku membalas
dengan senyum merekah, “Benarkah? Turut senang mendengarnya”
“Jadi ingat dulu,
kalau aku merokok.. pasti kamu orang yang paling bawel dan selalu sedia permen
buat penggantinya”
“Dan kamu
memakaikanku masker agar tidak terkena asap rokoknya”
“Lalu mulutmu
tidak berhenti bicara di dalam masker itu, ‘merekok
itu berbahaya, sayang paru-parunya, kamu itu masih muda’ daaan semuanya”,
katanya dengan nada bicara yang meninggi.
Ia masih
mengingatnya, aku tersenyum, “Ada acara apa ke Jogja, Nang?”, lagi-lagi basa
basi agar obrolannya tidak berhenti. Tidak mungkin aku melewatkan kesempatan
yang dua tahun aku nantikan ini.
“Mau pulang
saja”, katanya dengan santai.
“Loh? Kamu punya
rumah disana?”, kataku tersentak kaget.
Ganang
cengengesan dan berkata, “ Kayaknya Jogja adalah tempat pulang untuk semua
orang deh Num, bahkan untuk orang yang tak berumah sepertiku”
Sebentar ....
Aku bergelut
dengan pertanyaan di kepala, apa maksudnya Ganang mengatakan dirinya ‘tak
berumah’? Rumah yang dimaksud bukan bangunan kokoh yang didirikan sebagai tempat
tinggal kan? Pasti maksudnya adalah seseorang yang ia percayai sebagai pasangan
saling bertukar cerita dan saling percaya. Ia kan pintar mengibaratkan sesuatu,
itu yang membuatku jatuh cinta dulu atau bahkan... masih tersisa. Ada sedikit
senyuman yang enggan aku perlihatkan, barangkali hanya aku yang merasakan
kebahagiaan.
Aku sudahi
bergelut dengan pikiranku dan mencoba mengasingkannya, “Maksudmu tak berumah?”
“Ya.. tidak ada
seseorang yang menjadi tempatku pulang”
“Bagaimana dengan
Lintang? Sudah selesai?”
Ganang yang
sedang meneguk air mineral, tersedak. “Bukan selesai Num, memang tidak ada yang
aku mulai dengan Lintang”.
“Bukannya waktu
itu kamu-“
Ganang memotong
ucapanku, “Mengantarnya pulang? Tidak mungkin aku membiarkan perempuan pulang
tengah malam sendirian, dia hanya teman teaterku. Aku sudah menjelaskannya
padamu, seharusnya dua tahun berlalu membuat kamu mengerti”
“Teman yang
saling berpelukan?”
“Dia mabuk, Num.
Malam itu dia mabuk, wajar dia memelukku” Ganang menegaskan ucapannya.
“Mewajarkan
berpelukan dengan perempuan lain padahal kamu saat itu berada dalam hubungan
yang sedang hangat-hangatnya. Tau apa akibatnya kan? Acara tunangan kita gagal”
“Seharusnya tidak
gagal kalau kamu mendengarkan penjelasanku, Ranum”
“Penjelasan atau
penyangkalan? Barangkali itu baru salah satu yang ketahuan dari sekian banyak
yang kamu sembunyikan”
“Ranum, kita bisa
memulainya lagi”
“Untuk apa
dimulai, Ganang? Kan sudah tau akhirnya”
“Untuk diperbaiki”
“Aku tidak bisa”
“Aku tahu, pasti tidak
hanya aku yang menangis pada malam itu, pasti juga tidak hanya aku yang
menunggu kesempatan ini terjadi, saling menatap wajah yang dulu kuusap”
Ya Ganang, tidak
hanya kamu.
Aku terdiam, “Tidak
ada yang baik-baik saja setelah mengakhiri hubungan dengan pertengkaran” Sambung
Ganang.
“Ranum.. Mau kau
memulainya lagi denganku?” Ganang mencoba meraih tanganku, raut wajahnya
berubah kaget.
Aku gagal
menyembunyikannya. “Siapa yang telah memasang cincin di jari manismu?” Ganang
dengan memegang tanganku.
“Ranggana”, aku
melepaskan tangan dari Ganang dan terpaksa memberitahunya.
“Ranggana? Sahabatku?”
“Aku ke Jogja
untuk mengurus pernikahan dengannya”.
Aku tau, kabar
ini pasti mendobrak hati Ganang untuk menerima kenyataan. Pasalnya, Ranggana
adalah sahabat jauh Ganang yang selama ini mendukung hubunganku dengan Ganang.
Namun saat kami selesai, ternyata Ranggana selama ini menyimpan perasaan dan
ternyata selama aku bercerita dengannya, aku pun merasa nyaman. Aku rasa tidak
ada lagi yang perlu dikhawatirkan, bahkan perasaanku dengan Ganang.
Ganang dan
Ranggana bertemu di Stasiun Lempuyangan. “Selamat ya, semoga lancar sampai
pernikahan”
Ganang akan tau,
ada beberapa perasaan yang tidak sampai pada tujuan. Dan Lempuyangan menjadi
saksi bahwa tidak ada yang perlu diselesaikan dari hubungan yang sudah selesai.
Tidak ada judul kedua dalam ceritaku dan Ganang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar