Telah di titipkan kepada Pramuka, kita yang awalnya merasa tidak ada bergunanya untuk menjaga semesta.
Telah di ajarkannya oleh Pramuka, semua yang mengenai saling menyayangi, kepada
siapun yang hidup maupun yang butuh kehidupan.
Hutan rindang yang hanya di gariskan jalan setapak dijadikan petualangan untuk kita yang tidak mempunyai rasa takut, kecuali kepada
Sang Pencipta.
Cahaya kecil di balik kerumunan daun akan di jadikan tujuan ke arah mana selanjutnya.
Satu meresa lelah, semuanya harus berusaha agar tidak kalah.
Dinginnya sudah bukan lagi ketika menghadapi sifat manusia yang dicinta,
tetapi ketika api unggun, hanya menyisakan arang yang di tinggalkan oleh apinya.
Nyamannya sudah bukan lagi berada di bahu manusia yang disayang,
tetapi ketika tenda yang kamu diami, tidak basah karena jatuhnya air bumi.
Jika merasa sendiri, berkawan dengan mereka akan merasa dilengkapi.
Jika dipeluk sepi, bersama mereka akan saling menyayangi.
Selamat hari Pramuka, dari aku yang dulunya tidak tau apa – apa tetapi di perkenalkan dengan organisasi yang luar biasa.
Selasa, 13 Agustus 2019
Pramuka Kita
Minggu, 11 Agustus 2019
Jogjakarta Tanpa Mata I
Bermula dari seorang pemula yang
hidup di luang lingkup, lingkungan Jakarta. Jangan di pikirkan sekeras apa
kehidupannya. Jika di sandingkan dengan seribu batu pun, Jakarta tidak bisa
dikalahkan walaupun satu petak wilayahnya saja. Kerasnya kota Jakarta, akan dibuat lembut ketika menyambut anugrah Tuhannya. Gedung yang sangat
tinggi sekalipun tidak mampu menggapai keindahan senjanya. Jakarta sudah bukan
lagi kota impian manusia, karena yang bertamasya juga akan berpolusi udara.
Melihat
keramaian Jakarta yang sudah tidak ada tandingannya, membuat aku ingin
menyingkirkan diri sejenak dari kota ini. Yang bunyi klaksonnya selalu membuat
pengertian tidak lagi berarti. Semua orang ingin cepat sampai di tujuan. Semua
orang ingin berhenti dari kelelahan. Semua orang ingin memeperoleh tunai. Tanpa
menuai yang seharusnya tidak semuanya menggunakan ego semaunya. Jakarta tidak
jahat, hanya saja manusianya sudah terbiasa dengan pekat.
Aku yang sudah lama terpaku di
kota seramai ini, sampai merasa tidak mampu menjadi diri sendiri. Setiap langkah yang
mengarah menuju tempat yang sunyi dan bisa mengerti, bukan Jakarta yang
seharusnya di tempati. Sepertinya memang di perlukan mencari keistimewaan,
tetapi bukan dari seseorang. Melainkan tempat bersemayam.
Kepada, Jogjakarta.
Mengapa dikatakan yang paling istimewa di
Indonesia?
Jika Jogjakarta benar – benar istimewa, aku akan mencoba
menyusurinya tanpa mata.
Langganan:
Komentar (Atom)
siapa yang paling terang
tak ada warta, tak ada warna menjenguk arang yang ditinggalkan apinya menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya memanggil hujan dengan...
-
tak ada warta, tak ada warna menjenguk arang yang ditinggalkan apinya menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya memanggil hujan dengan...
-
terkadang waktu bagai buku lapuk yang tergeletak menyaksikan manusia meninggalkan jejak bergerak ke rumah pengabdian, beranjak dari keny...
-
Pernah hampir terbunuh sama pikiran sendiri. Entah darimana datengnya, apa alasannya. Pernah hampir rapuh karna langkah sendiri. Berjalan j...