Sebelum disapa mentari, lelapku sudah terhenti. Tidak lagi berbaring di atas media ternyaman merebahkan lelah itu. Ku segerakan memanjatkan doa agar segala hal baik datang bersama orang baik, agar diriku dianggap baik meski jauh dari maknanya, agar harapan baik tidak berdampak buruk, agar upaya-upaya penghasil harapan itu berbaik hati terwujud.
Ku bangunkan satu persatu emas duniaku. Kekasih hati dan dua
buah hati. Kelopak mata merka menunjukan ketidakrelaan telah habis waktu
istirahatnya. Mau tidak mau, mereka pun wajib memanjatkan doa yang tidak jauh
dari apa yang ku doakan. Ingin hidup. Kewajiban ini yang sulit dijaga, padahal akan menjadi
pelindung paling utama. Shalat bukan hanya berdiri – ruku – duduk tetapi
bagaimana menghilangkan rasa sesal dan menyambut rasa syukur.
Ku siapkan isi dari nada dering paling sering berbunyi. Makanan-makanan
itu selalu kami syukuri, dengan banyak atau sedikitnya nasi pagi ini. Kekasih dan
buah hati memakannya tanpa raut wajah sendu, senyum itu memang tidak menandakan
masakanku terasa nikmat, tetapi paling tidak menunjukan awal mula kenikmatan hidup pagi hari ini.
Ku rapihkan semua yang tampak berantakan. Satu persatu
mainan tangan yang membuat buah hatiku tidak berhenti tertawa malam tadi, komputer
lama kekasihku yang lupa tidak dimatikan karna kelelahan, dan semua bagian
penutup tawa tadi malam. Termasuk mencuci sebuah piring sisa gorengan buatanku
semalam.
Semoga penyambutan
pagi hari ini tidak menjadikan kami merasa cukup.
Hari ini, keesokan harinya.
Tetapi, dari kata tetapi ini adalah sebuah dampak yang dikesampingkan.
Tidak akan mengira, tubuh yang belum menemui renta, roboh seketika. Tidak lagi
ku lihat buah hatiku tertawa senang, tidak lagi ku rasakan sebuah belaian
kekasih, tidak lagi aku tertawa. Yang terlihat adalah sisi gelap yang entah
berasal dari kesalahan hidupku bagian mana. Sulit menemui terang, yang ada
hanya hitam dan tidak karuan.
Aku seakan sulit merasakan hidup untuk kehidupan.
Sekarang, bisaku hanya berbaring dan memerintah. Meminta minuman berasa, bersoda, berwarna tetap yang diberikan hanya air putih. Yang bermanfaat banyak, dan tidak berbahaya katanya. Tubuhku tidak lagi mudah mencerna semuanya, sekarang maunya hanya memilih. Egoku berkata, "bilang saja hanya ingin mengambil yang dekat, lemari es pun hanya beberapa langkah". Omongan seperti ini yang membuat mereka merasa semakin kehilangan diriku, sebenarnya aku hanya lelah berbaring tapi ini harus terus ku lakukan untuk.. untuk apa tidak tau, katanya harus banyak beristirahat. Padahal dengan terus-terusan berbaring mereka tidak bisa merasakan gorenganku lagi, makan lauk sedap buatanku, kalau buah-buah itu tidak kukupasi, kalian juga pasti tidak akan memakannya hingga buah-buah dan sayur-sayur di dalam lemari es itu busuk dan tidak diganti.
Rumahku tidak lagi tertata. Bukan tidak ada yang menata,
hanya emas duniaku lebih meletakkan semua perhatiannya kepadaku. Katanya, “Supaya
Ibu sembuh dan tertawanya tidak terpaksa”.
Aku menderita penyakit tanpa nama, tanpa penyebab dan tanpa
obat. Entah apa sebutannya, tubuh ini terus menggigil setiap saat. Pelukan tidak
lagi mempunyai arti, karena tidak menciptakan rasa hangat. Tetapi aku lupa,
dari pelukan itu sendiri mampu menciptakan rasa tenang.
Aku semakin merasa tidak berguna karena tidak bisa apa-apa. Tapi
mereka selalu berkata, “Ibu berarti, Ibu harus sembuh, jika tidak ada obatnya
biarkan kami jadi rumah kecil untuk menjemput sembuh untuk Ibu”
Ternyata, selama ini aku berarti. Bukan menjadi Ibu yang
sangat disayangi kedua buah hati, bukan juga menjadi kekasih yang dikasihi. Tetapi
menjadi manusia yang hidup dengan nafasku sendiri. Dengan kehadiranku yang
selama ini diangguki.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar