Senin, 30 Agustus 2021

mungkin aku akan seperti dia

andai saja saat sekolah dasar otakku tidak bersugesti untuk ikut mendasar dan dungu, mungkin aku akan seperti dia 

andai saja menjalani sekolah menengah langkahku lebih cepat dan tau arah untuk memilih kanan atau kiri maju atau mundur berjalan atau saatnya berhenti, mungkin aku akan sepertin dia

andai saja menginjakan kaki pada sekolah atas yang dikatakan ujung tombak penentu masa depan aku tidak sembarangan meletakan pikiran pada haluan-haluan konyol itu, mungkin aku akan seperti dia

andai saja saat itu sepatuku lebih siap, aku tidak perlu mengikatnya berkali-kali 

mengisi otak kosong ini dengan materi-materi ini yang katanya berguna untuk negeri, memangnya negeri membutuhkan orang dungu seperti aku? 

 tapi, jika otak sebesar dia pada kepala kecilku, apa semua juga akan menyanjungku? 

mungkin aku akan seperti dia 

tidak pernah memburukkan nama baik orang tua dimata tentangga, kamar kecilnya dipenuhi piala besar berjejeran mendesak di jendela, kertas yang bertumpuk sembarangan mempunyai nilai berharga, piagam-piagam tak terhitung jumlahnya, gelar yang panjang perjuangannya, otak yang berfungsi dengan sebaik-sebaiknya 

tapi, aku? 

masih melingkar pada pertanyaan mau apa jadi apa, bagaimana pekerjaanmu, dimana kamu menghapus cerita untuk mengganti yang lebih bahagia, mengapa kamu terus pada rendah yang tak kunjung tinggi, kemana orang-orang perdulimu, apa kamu tidak mau seperti dia?

suara itu mengisi telingaku 

Selasa, 17 Agustus 2021

Kain Terhormat

 


“Masing-masing 2 meter seperti biasa Bu?”

“Kali ini merah 3 meter, putih 5 meter”

“Kok putihnya lebih banyak, Bu?”

“Buat Ibu”

“ Hah maksudnya? Yasudah, Ali beli dulu ya Bu… assalamualaikum”

“Waalaikumsalam”

Pintu rumah dipaksa untuk tertutup, menghalangi cahaya matahari yang akan masuk. Di luar rumah Ali memijakan kaki ke tanah semakin jauh dari rumah, semakin dekat dengan kain-kain ramah. Di dalam rumah Ibu melakukan kebiasaan yang sudah biasa, memasukan benang kedalam lubang jarum dengan sangat cepat dan tepat. Menyatukan benang-benang tipis dengan kain satu lapis. Memenuhi ruangan dengan dahak yang tak kunjung keluar. Seperti menyiksa dalam dada.

Ibu lebih memilih berdiam dan memeluk diri sendiri daripada berinteraksi. Mengamati televisi dan mengulang pertanyaan, “ada apa negeri ini?” pertanyaan yang ibu sendiri tidak tau apa jawabannya, terlalu rumit untuk diulang, terlalu sulit untuk dijelaskan.

Bagi Ibu, hidup dengan memeluk sejarah adalah sebuah kehidupan berarah. Karena bagaimanapun, hari ini adalah ciptaan untuk menuai sejarah esok nanti. Yang dijadikan pelajaran dengan nilai kehidupan. Tepat atau telat mengambil keputusan adalah ketika tidak banyak tanya dan membaca, kata Ibu.

*

Toko Kain Anti Mahal Ali membaca banner yang terletak lebih depan dari pada pintu masuknya. Biasanya Ali kesini untuk  menemani Ibu yang selalu membeli kain yang sama, merah dan putih. Namun kali ini Ibu membutuhkan waktu lebih banyak untuk menikmati teh hangat dan obat. Ali segera masuk dan menjumpai salah satu karyawannya, ia segera memesan apa yang Ibu sampaikan. 3 meter kain merah dan 5 kain putih.

Ali tumbuh menjadi anak yang bangga kepada Ibunya. Bagaimana tidak di umur senja Ibu melahirkannya, mempertaruhkan nyawanya, lalu sekarang hidup bahagia di dalam negeri yang menderita. Ibu adalah seorang penjahit bendera, namun ini bukan merupakan mata pencahariannya. Karena untuk ekonomi bulanannya, Ibu mengandalkan honor pensiunan Bapak.

Lalu Ibu menjahit bendera untuk apa? Untuk I-N-D-O-N-E-S-I-A, negerinya.

Ya, Ibu menjahit setiap hari bukan untuk menggunungkan rupiah namun sebagai bentuk rasa cinta dan nasionalisme dirinya kepada sang negeri. Yang dipijaknya selama ini dan yang menyelimutinya dalam kubur nanti. Itu adalah kegiatan Ibu yang sama sekali tidak bisa dilepaskan, sudah terlalu rekat. Bahkan sebelum Bapak wafat, mereka menyiapkan bendera bersama-sama. Sambil bercerita betapa cantiknya bendera negeri. Yang padahal hanya dua lembar kain yang memadu satu, tetap saja dihormati.

Lalu, untuk apa bendera-bendera itu? Dibiarkan bertumpuk dan berceceran di atas ubin lantai yang dingin?

Tidak. Ibu akan membagikannya setahun sekali, tepatnya pada tanggal 17 Agustus. Jika ditanya kenapa, pasti Ibu akan menjawab jawaban yang sama setiap tahunnya.

“Untuk menyadarkan manusia, kalau Indonesia itu ada”

Bagi Ibu, kebanyakan masyarakat mencari bendera hanya saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan setiap tahunnya. Padahal ia selalu berada di dekat dengan ujung tiang tertinggi dan mengibarkan semangat merdekanya. Yang tidak semua orang mau menatap ke atas untuk menghargai keberadaannya. Masyarakat lebih mementingkan kulit yang tidak terkena sengatan matahari.

Ali pulang dengan membawa 1 totebag bening, kalau Ali ketahuan memakai plastik sekali pakai bisa dicap tidak mencintai Indonesia oleh Ibu. Ramah lingkungan, katanya. Supaya anak cucu juga bisa melihat keindahan Indonesia yang sama. Dari totebag bening itu terlihat dari luar kain putih lebih banyak dari kain merah, tepat seperti perintah Ibu. Ali telah menyelesaikannya dengan baik. Kini ia membawanya kerumah dengan sangat hati-hati dan menghargai. Karena masih terpisah pun, itu adalah sepasang kain yang menjadi saksi Indonesia menemukan jati diri.

“Assalamualaikum.. Ibu.. Ali pulang”

“Wa..a..laikum.. sa.lam” Jawab Ibu pelan, terbata-bata, terkalahkan dengan suara mesih jahitnya. Kakinya terus bergerak untuk menciptakan benang di atas dua kain dengan rapih.

Ali melangkah mendekati Ibu dan kakinya yang sepatunya berukuran 42 itu hampir menginjak salah satu bendera yang telah dibuat Ibu dengan penuh nyawa.

“Ehhh!!! Ali, hati-hati”

“tidak kena, Bu..”

“Kalau kena awas aja.. dimarahi Indonesia”

“Hehehe.. Ibu ada-ada saja, ini kainnya..”

“Terimakasih Nak”

Ibu melipat bendera yang belum selesai dikerjakannya, dari atas mesin lalu disingkirkan ke sampingnya. Ibu mengambil totebag yang dibawa Ali tadi, dibukanya lalu diraihnya kain putih yang terlihat suci. Dibentang oleh Ibu, disejajarkan dengan meteran, entah Ibu mengukur apa. Ali memilih untuk terlelap di sofa karena kelelahan. Dari dalam mata terpejam, Ali masih bisa mendengar guntingan kain yang terdengar panjang dan lurus. Dan batin Ali mengatakan “apakah Ibu akan membuat bendera raksasa? Terdengar guntingan ukuran besar” lalu nyenyak, tak urus.

Dua jam berlalu begitu cepat, rumah sudah senyap. Tidak ada suara mesin jahit atau pun guntingan kain, sepetinya Ibu sudah lelah dan butuh istirahat. Saat Ali terbangun dari tidurnya, ia melihat Sang Ibu membiarkan kepalanya terbaring di atas mesin jahit itu. Matanya terpejam dengan senyuman pucat seperti memeluk bunga tidur yang diinginkan sepanjang hari, sang kekasih hati. Di samping itu ada lima lembar kain putih yang sudah dipotong, terlihat berbeda ukuran. Yang ke satu panjang cukup untuk menutupi seluruh badan, yang kedua cukup untuk dipakai kerudung kepala, yang ketiga cukup untuk digunakan baju kurung, yang keempat terlihat mampu menutup pinggang hingga kaki, dan lembar potongan kain putih kelima berukuran cukup untuk menutup pinggul dan paha. Ali menatap kain-kain itu dengan bertanya-tanya, ada apa?

Lalu dibangunkannya Sang Ibu karena adzan ashar sudah berkumandang. Namun tidak, Ibu memilih nyenyak dalam tidurnya dan hanya ingin bangun menjumpai Bapak di surga. Dalam jangka waktu sangat dekat, Ibu tak beraga, Ali kehilangannya dalam dunia. Diliriknya 5 kain putih terpotong itu, seperti sudah disiapkan oleh Ibu sendiri. Untuk dikenakan sebagai sandang tercantiknya di akhir nafasnya. menangis diantara bendera-bendera bernyawanya. Saling bertukar tanya “kenapa” dalam kepala.

Lalu Ali menyadarinya, Ibu pernah menyuruh hal yang sama sebelumnya. Membeli 3 meter kain merah dan 5 meter kain putih. Saat itu setelah pulang ke rumah, Ibu menyentuh kain putih dan memotongnya juga. Didampingi Bapak yang tengah diukur badannya. Tak lama tercipta, 3 helai kain putih yang dipotong rapih. Kain-kain itu yang digunakan Bapak saat terkubur.

Ibu meninggal dunia, dan kini Ali mengantarnya ke rumah baru bersama Bapak disana. Bersebelahan meskipun tak mampu saling genggam, terpisah antara tumpukan tanah-tanah. Namun mereka bahagia disana, Bapak yang mengenakan kain yang dipotong Ibu dengan rasa cinta, sedangkan Ibu memakai kainnya yang dibuat dengan bahagia. Lalu Ali yang mengirim doa, membagikan bendera-bendara kepada mereka dan mengajaknya untuk mencintai Indonesia sebagai bentuk amanah terakhir Ibu di dunia.

Pada lembar terakhir semangatnya kehilangan dua surga dunia, Ali memejamkan mata dan teringat satu kalimat saat dirinya merasa lelah diberikan amanah setiap minggunya untuk membeli dua kain yang sama oleh Ibunya.

“Bu, untuk apa sih? Kan Indonesia gak melakukan apa-apa”

“Nak, jangan memikirkan apa yang sudah Indonesia beri untuk kita. Tapi, apa yang sudah kita beri untuk Indonesia?”


 



Senin, 09 Agustus 2021

Ngapain di atas sana?

 


Tanyanya menengadah, meraih sepasang mata nan tingi disana

Ngapai di atas sana?

Bersujud karena telah terwujud

Atau terlalu bungah karena telah merekah?

Pernahkah kau membiarka leher kesakitan hanya karena terlalu lama menuduk?

Apa yang kau lakukan setelahnya?

Membantu membenah isi atau hanya mengambil inti?

Lalu dibiarkan semakin mati

Tak malukah kau kepada tanah kuburan?

Yang tak berdosa, selalu berpahala pun tetap di bawah

Tak malukah kau kepada tanah kuburan?

Yang hitam dan kotor itu

Namun selalu bersih karena membiarkan dirinya menutupi kau atau manusia berdosa lainnya

Tak malukah kau?

Selalu mencapai tinggi, melupakan rendah

Padahal yang tinggi pun selalu merendah

 

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...