“Masing-masing 2 meter seperti biasa Bu?”
“Kali ini merah 3 meter, putih 5 meter”
“Kok putihnya lebih banyak, Bu?”
“Buat Ibu”
“ Hah maksudnya? Yasudah, Ali beli dulu ya Bu…
assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
Pintu rumah dipaksa untuk tertutup, menghalangi cahaya
matahari yang akan masuk. Di luar rumah Ali memijakan kaki ke tanah semakin
jauh dari rumah, semakin dekat dengan kain-kain ramah. Di dalam rumah Ibu
melakukan kebiasaan yang sudah biasa, memasukan benang kedalam lubang jarum dengan
sangat cepat dan tepat. Menyatukan benang-benang tipis dengan kain satu lapis. Memenuhi
ruangan dengan dahak yang tak kunjung keluar. Seperti menyiksa dalam dada.
Ibu lebih memilih berdiam dan memeluk diri sendiri daripada
berinteraksi. Mengamati televisi dan mengulang pertanyaan, “ada apa negeri ini?”
pertanyaan yang ibu sendiri tidak tau apa jawabannya, terlalu rumit untuk
diulang, terlalu sulit untuk dijelaskan.
Bagi Ibu, hidup dengan memeluk sejarah adalah sebuah
kehidupan berarah. Karena bagaimanapun, hari ini adalah ciptaan untuk menuai sejarah
esok nanti. Yang dijadikan pelajaran dengan nilai kehidupan. Tepat atau telat
mengambil keputusan adalah ketika tidak banyak tanya dan membaca, kata Ibu.
*
Toko Kain Anti Mahal Ali
membaca banner yang terletak lebih depan dari pada pintu masuknya. Biasanya Ali
kesini untuk menemani Ibu yang selalu
membeli kain yang sama, merah dan putih. Namun kali ini Ibu membutuhkan waktu
lebih banyak untuk menikmati teh hangat dan obat. Ali segera masuk dan
menjumpai salah satu karyawannya, ia segera memesan apa yang Ibu sampaikan. 3
meter kain merah dan 5 kain putih.
Ali tumbuh menjadi anak yang bangga kepada Ibunya. Bagaimana
tidak di umur senja Ibu melahirkannya, mempertaruhkan nyawanya, lalu sekarang
hidup bahagia di dalam negeri yang menderita. Ibu adalah seorang penjahit
bendera, namun ini bukan merupakan mata pencahariannya. Karena untuk ekonomi
bulanannya, Ibu mengandalkan honor pensiunan Bapak.
Lalu Ibu menjahit bendera untuk apa? Untuk
I-N-D-O-N-E-S-I-A, negerinya.
Ya, Ibu menjahit setiap hari bukan untuk menggunungkan
rupiah namun sebagai bentuk rasa cinta dan nasionalisme dirinya kepada sang
negeri. Yang dipijaknya selama ini dan yang menyelimutinya dalam kubur nanti. Itu
adalah kegiatan Ibu yang sama sekali tidak bisa dilepaskan, sudah terlalu
rekat. Bahkan sebelum Bapak wafat, mereka menyiapkan bendera bersama-sama. Sambil
bercerita betapa cantiknya bendera negeri. Yang padahal hanya dua lembar kain
yang memadu satu, tetap saja dihormati.
Lalu, untuk apa bendera-bendera itu? Dibiarkan bertumpuk dan
berceceran di atas ubin lantai yang dingin?
Tidak. Ibu akan membagikannya setahun sekali, tepatnya pada
tanggal 17 Agustus. Jika ditanya kenapa, pasti Ibu akan menjawab jawaban yang
sama setiap tahunnya.
“Untuk menyadarkan manusia, kalau Indonesia itu ada”
Bagi Ibu, kebanyakan masyarakat mencari bendera hanya saat
Indonesia merayakan hari kemerdekaan setiap tahunnya. Padahal ia selalu berada
di dekat dengan ujung tiang tertinggi dan mengibarkan semangat merdekanya. Yang
tidak semua orang mau menatap ke atas untuk menghargai keberadaannya.
Masyarakat lebih mementingkan kulit yang tidak terkena sengatan matahari.
Ali pulang dengan membawa 1 totebag bening, kalau Ali
ketahuan memakai plastik sekali pakai bisa dicap tidak mencintai Indonesia oleh
Ibu. Ramah lingkungan, katanya. Supaya anak cucu juga bisa melihat keindahan
Indonesia yang sama. Dari totebag bening itu terlihat dari luar kain putih
lebih banyak dari kain merah, tepat seperti perintah Ibu. Ali telah
menyelesaikannya dengan baik. Kini ia membawanya kerumah dengan sangat
hati-hati dan menghargai. Karena masih terpisah pun, itu adalah sepasang kain
yang menjadi saksi Indonesia menemukan jati diri.
“Assalamualaikum.. Ibu.. Ali pulang”
“Wa..a..laikum.. sa.lam” Jawab Ibu pelan, terbata-bata,
terkalahkan dengan suara mesih jahitnya. Kakinya terus bergerak untuk
menciptakan benang di atas dua kain dengan rapih.
Ali melangkah mendekati Ibu dan kakinya yang sepatunya
berukuran 42 itu hampir menginjak salah satu bendera yang telah dibuat Ibu
dengan penuh nyawa.
“Ehhh!!! Ali, hati-hati”
“tidak kena, Bu..”
“Kalau kena awas aja.. dimarahi Indonesia”
“Hehehe.. Ibu ada-ada saja, ini kainnya..”
“Terimakasih Nak”
Ibu melipat bendera yang belum selesai dikerjakannya, dari
atas mesin lalu disingkirkan ke sampingnya. Ibu mengambil totebag yang dibawa
Ali tadi, dibukanya lalu diraihnya kain putih yang terlihat suci. Dibentang
oleh Ibu, disejajarkan dengan meteran, entah Ibu mengukur apa. Ali memilih
untuk terlelap di sofa karena kelelahan. Dari dalam mata terpejam, Ali masih
bisa mendengar guntingan kain yang terdengar panjang dan lurus. Dan batin Ali
mengatakan “apakah Ibu akan membuat bendera raksasa? Terdengar guntingan ukuran
besar” lalu nyenyak, tak urus.
Dua jam berlalu begitu cepat, rumah sudah senyap. Tidak ada
suara mesin jahit atau pun guntingan kain, sepetinya Ibu sudah lelah dan butuh
istirahat. Saat Ali terbangun dari tidurnya, ia melihat Sang Ibu membiarkan
kepalanya terbaring di atas mesin jahit itu. Matanya terpejam dengan senyuman
pucat seperti memeluk bunga tidur yang diinginkan sepanjang hari, sang kekasih
hati. Di samping itu ada lima lembar kain putih yang sudah dipotong, terlihat berbeda
ukuran. Yang ke satu panjang cukup untuk menutupi seluruh badan, yang kedua
cukup untuk dipakai kerudung kepala, yang ketiga cukup untuk digunakan baju
kurung, yang keempat terlihat mampu menutup pinggang hingga kaki, dan lembar
potongan kain putih kelima berukuran cukup untuk menutup pinggul dan paha. Ali
menatap kain-kain itu dengan bertanya-tanya, ada apa?
Lalu dibangunkannya Sang Ibu karena adzan ashar sudah
berkumandang. Namun tidak, Ibu memilih nyenyak dalam tidurnya dan hanya ingin
bangun menjumpai Bapak di surga. Dalam jangka waktu sangat dekat, Ibu tak
beraga, Ali kehilangannya dalam dunia. Diliriknya 5 kain putih terpotong itu,
seperti sudah disiapkan oleh Ibu sendiri. Untuk dikenakan sebagai sandang
tercantiknya di akhir nafasnya. menangis diantara bendera-bendera bernyawanya.
Saling bertukar tanya “kenapa” dalam kepala.
Lalu Ali menyadarinya, Ibu pernah menyuruh hal yang sama
sebelumnya. Membeli 3 meter kain merah dan 5 meter kain putih. Saat itu setelah
pulang ke rumah, Ibu menyentuh kain putih dan memotongnya juga. Didampingi
Bapak yang tengah diukur badannya. Tak lama tercipta, 3 helai kain putih yang
dipotong rapih. Kain-kain itu yang digunakan Bapak saat terkubur.
Ibu meninggal dunia, dan kini Ali mengantarnya ke rumah baru
bersama Bapak disana. Bersebelahan meskipun tak mampu saling genggam, terpisah
antara tumpukan tanah-tanah. Namun mereka bahagia disana, Bapak yang mengenakan
kain yang dipotong Ibu dengan rasa cinta, sedangkan Ibu memakai kainnya yang
dibuat dengan bahagia. Lalu Ali yang mengirim doa, membagikan bendera-bendara
kepada mereka dan mengajaknya untuk mencintai Indonesia sebagai bentuk amanah
terakhir Ibu di dunia.
Pada lembar terakhir semangatnya kehilangan dua surga dunia,
Ali memejamkan mata dan teringat satu kalimat saat dirinya merasa lelah
diberikan amanah setiap minggunya untuk membeli dua kain yang sama oleh Ibunya.
“Bu, untuk apa sih? Kan Indonesia gak melakukan apa-apa”
“Nak, jangan memikirkan apa yang sudah Indonesia beri untuk
kita. Tapi, apa yang sudah kita beri untuk Indonesia?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar