Malam itu, aku melepaskan sepatu butut di teras rumah yang lampunya tidak
menyala. Aku kira listrik telah padam namun ternyata, kebahagiaanku. Terdengar suara
bising dua orang yang dulunya saling mencinta sedang beradu perkara. Sebelum masuk
ke dalam sana, aku sudah meneteskan air mata. Aku tau apa yang terjadi tanpa
perlu aku melihatnya.
Bapak bersimpuh di hadapan Ibu yang memegang ransel besar. Bapak menangis
menghadap lutut ibu yang beriringan dengan suara tangisan. Tampak belakang,
bahu Ibu terus-terusan bergetar. sesak sekali sepertinya.
Aku yang tadinya hanya mengintip dari celah jendela, kini memberanikan diri
untuk membuka pintu.
“Assalamualaikum”
Bukan salam yang dijawab, Ibu langsung membentak meninggalkan Bapak yang
berlutut di hadapannya.
“anak perempuan! Baru pulang jam segini, darimana saja? Apakah kau tidak
ingin meringankan beban Ibumu mengurus Bapakmu yang hanya berbaring di kasur
itu?!”
“Bu...” pinta Bapak dengan bibir
bergetar.
“Bapakmu merangkak dari atas kasur dengan suara badan terbentur, berlutut
di hadapanku.. ia kira aku akan terus bersamanya? Tidak!” Ibu menyingkirkan
telapak tangan Bapak yang memegang kakinya, meminta agar Ibu tidak pergi.
Namun ego Ibu terlalu tinggi, ia meninggalkan kami. Membanting pintu rumah,
lalu pergi begitu saja.
Aku membantu Bapak untuk kembali ke tempat tidurnya. Tiga bungkus nasi
goreng yang ku bawa, akan tersisa. Aku dan Bapak hanya menghabiskan satu
bungkus berdua.
Aku merasa dunia kembali hancur. Meskipun sudah sering, tapi rasanya masih
sama. Masih dengan harapan yang utuh, meminta keluarga tidak ada lagi riuh. Namun
perjalanan cinta, sepertinya tidak ada jika hanya mulus saja. Bukankah setiap
permasalahan menemukan titik terangnya dengan mengobrol berdua? Tapi kenapa Ibu
memilih untuk berbicara dan mengambil keputusan sendiri? Dan mengapa Bapak selalu mengalah?
Malam menjelang pagi listrik rumah masih mati. Setelah aku pergi untuk
membayarnya, baru Bapak bisa mendengarkan lagu kesukaannya pada radio tua itu. Dulu,
Bapak pernah mengatakan sesuatu yang menyentuh hatiku.
“Radio ini Bapak beli untuk mendengarkan Ibumu kirim salam, sewaktu Bapak
di Surabaya”
Aku selalu tersenyum mengingatnya. Teh hangat di meja Bapak kembali dingin,
ia hanya memejamkan mata menikmati alunan lagu pada radio itu.
“Bapak, tehnya tidak diminum?”
“Bapak kira, jika tidak ada Ibu, tidak ada teh hangat dipagi hari”
“Ada Ajeng yang masih bisa menyalakan kompor dan memasukan teh ke dalam
gelas Pak”
Bapak menyeruput teh yang dingin itu dengan mata berkaca, seperti berkata dimana kekasih hatiku berada?
Semenjak kepergian Ibu malam itu, Bapak menjadi murung. Kadang obatnya lupa
diminum, kadang lupa dimana ia meletakan sesuatu, kadang Bapak melupakan aku
yang masih ada di sampingnya. Sepanjang waktu, Bapak terus menyuruhku untuk
mengabari Ibu. Namun percuma, sepertinya memang Ibu tidak ingin pergi dengan
jejak. Semua jejaring sosialnya dimatikan, tidak ada yang dapat kita temukan. Mungkin
Ibu membutuhkan waktu untuk sendiri atau Ibu memang sudah tidak perduli.
“Bapak mau pergi keluar rumah?”
“mencari Ibu?”
“mencari udara segar, Pak”
“inginnya bersama Ibu”
“atau Bapak ingin pergi ke suatu tempat? Ajeng bisa temani”
“Bapak ingin menunggu Ibu pulang saja”
“kalau Ibu tidak pulang bagaimana Pak?”
“itu artinya Bapak sudah bukan rumahnya. Sudah kamu pergi kerja saja, Bapak
ingin nasi goreng yang sama seperti yang sering di beli Ibu”
“untuk makan malam Pak?”
“iya”
“Bapak tidak apa-apa di rumah sendirian?”
“Bapak selalu tidak apa-apa selama masih mencintai Ibu”
Padahal sepertinya, Ibu
telah menemukan cinta yang baru. Beberapa hari yang lalu, sebelum Ibu pergi
meninggalkan rumah ini tidak sengaja aku melihat pesan di ponselnya dari
seorang Tuan Muda yang mungkin Ibu rasa lebih baik dari Bapak, padahal tidak.
Setiap ada seseorang yang melintas di halaman rumah, Bapak pasti memastikan
jika itu Ibu.
Akhirnya, pagi itu aku terpaksa meninggalkan Bapak di rumah. Bergegas pergi mencari uang untuk
pulang membawa nasi goreng yang Bapak inginkan.
Pagi itu, matahari yang terik masih membuat hidupku terasa suram. Klakson jalanan
yang ramai masih membuat diriku merasa sendirian. Menjadi anak sulung sekaligus
bontot pada keluarga yang sudah berbeda bahagia itu, menyulitkan. Mengadu pada
siapa? Ditemani oleh siapa? Berbagi dengan siapa? Dijalani dengan siapa? aku
harus menghadapi semuanya sendirian. Serumit apapun, sesulit apapun. Jika tidak
berjalan, aku akan terus merasakan kesedihan.
Hari itu aku jalani dengan banyak tangisan, tanpa sebuah langkah yang
pasti. Hingga malam hari, aku memesan nasi goreng dan pulang. Mudah-mudahan,
Bapak sudah dengan senyumnya.
Di dalam rumah itu, Bapak duduk menghadap ke teras dengan pintu yang
terbuka. Katanya, “Bapak menunggu Ajeng pulang”
“Bapak menunggu nasi goreng yang Ajeng bawa ya? Ini.. tidak akan lupa kalau
soal Bapak”
“bukan, tapi ini..” Bapak menyodorkan sebuah surat yang sedari tadi di
genggaman tangannya. “barangkali surat dari Ibu” lanjut Bapak berbicara.
Aku mengambil surat itu. Aku baca baik-baik, aku mengerti, aku baca ulang,
masih tak percaya, aku baca sekali lagi, isinya masih sama. Surat gugatan
cerai.
Semakin hancur duniaku. Aku tersenyum, mencoba tidak mengatakan isi surat
itu. Tapi Bapak terus bertanya “apa Nak? Apa isinya?”
Aku tidak berbicara, hanya membendung air mata.
“benarkah itu surat dari Ibu Nak? Bagaimana kabar Ibu? Apa yang Ibu
tuliskan pada surat itu?”
Aku tidak menjawabnya, air mataku bercucuran, aku menyekanya satu persatu. Bapak
menatapku lekat-lekat, aku menguatkan diri untuk mengatakan sebuah isi surat
yang datang di siang hari yang digenggam terus oleh Bapak hingga malam hari.
Benar kata Bapak, itu surat dari Ibu. Tapi aku yakin, bukan isi surat seperti
ini yang Bapak inginkan.
“dulu juga Ibu selalu mengirim surat untuk Bapak dan Bapak menyuruh Om Ijal
untuk membacakannya. Hehe.. katakan Nak, apa isi suratnya? Mengapa membuatmu
menangis?”
“Ibu Pak..”
“Ibu merindukan Bapak, Nak?”
“Ibu menggugat cerai Bapak”
Aku memeluknya, bahkan di usia paruh baya Bapak menghadapi patah hatinya. Sambil
menggelengkan kepala, Bapak terus menangis. Kami menangis bersama. Nasi goreng
yang ku bawa sepulang kerja, dibiarkan di atas meja sampai keesokan harinya.
Siang hari, aku tidak masuk kerja karena tidak mungkin aku membiarkan Bapak
menghadapi mimpi buruknya sendirian.
Di ruang tunggu pengadilan, aku menemani Bapak. Kursi roda Bapak sudah berada
di ruang tunggu sidang perceraian. Kemudian Ibu datang dengan Tuan Mudanya. Penampilan
Ibu sudah sangat lebih baik, ia menggunakan tas mahal dengan perhiasan yang
memperindah penampilannya. Ibu sama sekali tidak tersenyum kepada kami, bahkan
ia memilih untuk duduk di ruang tunggu yang jauh dari kami. Aku hanya mengelus
pundak Bapak. Bapak tersenyum kepadaku dan berkata
“mudah-mudahan kau tidak akan menghadapi apak yang sedang Bapak hadapi ya
Nak, mudah-mudahan kau tidak berada di ruang tunggu ini bersama orang yang kau
cintai” Bapak tersenyum dengan mata yang membendung airnya.
“Bapak yang kuat ya” aku mengatakan itu padahal aku sendiri tidak kuat
menemani Bapak disana.
“kalau harus memilih, lebih baik Bapak berpisah karena kematian Nak,
daripada perceraian.. entah ini sudah takdir Tuhan.. atau simpangannya”
“Bapak harus menghadapi ini, lalu kita akan menjalani kehidupan yang lebih
baik lagi Pak. Ajeng juga bisa mengurus Bapak, tanpa Ibu”
“sebenarnya Bapak tidak butuh diurus Nak, Bapak hanya butuh dicintai oleh
Ibu”
“Tapi bagaiamana lagi Pak, itu keputusan Ibu”
“Bapak juga tidak bisa menyalahkan Ibu yang mengambil keputusan ini, memang
sudah salah Bapak tidak menafkahinya.. berjalan saja, Bapak tidak bisa apalagi
memberikannya nafkah”
“padahal tidak ada salahnya, Pak”
“salah Nak, salahkan Bapak saja, jangan Ibumu”
Bahkan saat dihadapi dengan kenyaataan yang bersimpangan, Bapak masih
mengagungkan cintanya kepada wanita yang ia temui saat menjadi kernet metromini
kala itu. Ibu yang duduk sendirian, lupa tidak membawa uang kemudian Bapak
datang bak seorang pahlawan kesiangan dan mengatakan bahwa Ibu bisa menukar
ongkos metromini dengan nomor telfonnya. Dengan keadaan terdesak, Ibu
menyetujuinya. Dari situlah dimulai romansa indah mereka berdua yang kini hanya
sebuah cerita yang dikenang oleh Bapak saja, karena Ibu sudah membuat romansa
baru.
Bapak masih memegangi nomor antrian, sesekalia ia mengelusnya dan melihat
tulisannya seakan-akan ia bisa membaca, padahal tidak. Ia hanya mengenal angka
saja.
Karena antrian yang begitu lama, aku memutuskan untuk membeli air mineral
dan meninggalkan Bapak sendirian karena Bapak tiba-tiba merasa sangat kehausan
dan dadanya sesak.
Saat aku kembali dengan dua air mineral yang satunya akan kuberikan kepada
Ibu, duniaku hancur-sehancur hancurnya. Bapak tertidur di kursi roda dan tidak
lagi bangun. Bapak menemui kematiannya pada saat ia menunggu perceraiannya. Mereka
berpisah tanpa tanda tangan di atas surat perceraian, tetapi karena masanya
sudah selesai.
Cinta Bapak untuk Ibu, mungkin cinta sejati. Namun cinta Ibu kepada Bapak,
sudah terganti. Dan aku masih sendiri.
Liang Bapak tidak pernah kehilangan aroma wangi bunga, setiap tiga hari
sekali aku tambahkan bunga baru. Supaya, Bapak tetap wangi dengan patah hatinya
yang terkahir kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar