Senin, 25 September 2023

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna 

menjenguk arang yang ditinggalkan apinya 

menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya 

memanggil hujan dengan tarian kematian  


taburan tawa sekejap tak ada 

hening mengeraskan meja makan 

tanya bergema menembus jendela 

kepala dan isinya beradu pandai 


diam, tidak ada pembicaraan 

siapa yang paling terang 

rembulan 

atau 

harapan kau pulang 

Rabu, 09 Agustus 2023

pertama kali menjadi Bapak

 "mau diberi nama siapa, Pak?"

"Sagara. Ah, saya tidak tau cara merangkai nama dengan baik karena ini pertama kalinya saya menjadi orang tua Mas"

"Sagara juga pertama kali menjadi seorang anak, Pak"

"iya juga"

"berarti pertama kali akan dipanggil 'Bapak' ya?" 

"iya Mas"

"kalau saya sudah anak ketiga"

"menjadi orang tua, susah ya Mas?"

"sebelumnya menjadi orang tua, kita juga menjadi seorang anak Pak. bahkan semua orang belum pernah menjadi manusia, dan hari ini masih bernafas. kita semua pertama kali menjadi manusia. memang ada lebih dan kurangnya, tapi memang sudah seharusnya bukan?"

"tapi bagaimana jika hal yang ditakutkan terjadi?"

"menjadi orang tua atau anak, sama-sama ada susahnya Pak tapi keduanya saling membutuhkan. Bapak membutuhkan Sagara untuk menjadi orang tua, dan juga Sagara membutuhkan Bapak menjadi penuntun dihidupnya"

"semoga Sagara tidak menyesal memanggilku dengan 'Bapak'"

"Sagara pasti bangga Bapaknya rela bernazar mencukur kumis jika anaknya laki-laki"

"ya Pak, saya segera melakukan nazarnya. demi Sagara, anakku"

akhir pijakan,

 akhir pijakan 


hari ini tidak lebih istimewa dari martabak yang kubawa 

perjalanan pulang terasa mencekam 

bukan karena aku tak mendapatkan renggang di antara gerbong kereta, bukan 

namun dalam perjalanan pulang bahuku goyah

menyerah seperti ada di garda terdepan 

banyak pikiran yang terulang

mereka semua menyerang 

membuat bekalku terkikis habis

masih sudikah kau membuka pintu, Pak? Bu?

Selasa, 01 Agustus 2023

buku lapuk

 terkadang waktu bagai buku lapuk 

yang tergeletak

menyaksikan manusia meninggalkan jejak 

bergerak ke rumah pengabdian, 

beranjak dari kenyamanan, 

menunduk di depan ampunan Tuhan 

apakah jiwa-jiwa yang tidak ada, sampaikah kepadaNya?

Senin, 01 Mei 2023

Tuan Malang tanpa Titik Terang

Di sudut stasiun ada sebuah lambaian tangan dari seorang lelaki dengan bahu yang pernah kusandari. Ia berlari kecil mendekat ke arahku yang sedang kesusahan mengangkat koperku dari trotoar.

Ia mengulurkan tangan dinginnya, dan menyapaku dengan, “Sudah lama, ya?”

Dan aku baru menyadari, dia adalah Ganang Pambrani. Kekasihku dua tahun silam.

“Ya, apa kabar?”, pertanyaan basa basi saja.

“Baik, mau ke Jogja juga?”

“Iya,  sepertinya kereta yang sama”, pipinya melempar senyum dengan rona merah.

Ia kemudian membantuku mengangkat koper dan kami masuk ke dalam stasiun bersama. Sembari menunggu kereta tiba, dengan sedikit canggung ia terus melemparkan pertanyaan basa basi lainnya. Layaknya manusia purba yang baru bertemu dengan temannya.

Setelah kereta tiba, aku bersiap untuk mencari tempat duduk yang telah aku pesan.

“Pak! Porter ya! Gerbong 3 nomor 9A”, aku melambaikan tangan kepada lelaki paruh baya yang melamun di samping kereta.

“Siap Neng!”, ia berlari kecil dan meraih koperku, kemudian berjalan lebih dulu di depanku.

“Kebiasaan, kan ada aku?”, kata Ganang yang membuntutiku.

“Uangmu sudah banyak”

“Maksudnya?”, Ganang berjalan lebih cepat agar sejajar denganku.

“Barangkali secuil rejeki dariku bisa membeli makanan untuk seluruh keluarganya yang sedang kelaparan di rumah bapak porter itu”

Ia terkekeh, “Masih Ranum seperti yang kutemui empat tahun lalu”

“Dan kamu tinggalkan dua tahun kemudian”

Hening, hanya klakson kereta yang bersiap jalan. Aku mempercepat langkah mengejar porter yang membawa koperku dan meninggalkan Ganang yang mematung di depan pintu kereta.

Kereta ini membawa aku dan Ganang menuju tujuan yang sama. Namun kali ini bukan pernikahan yang membuat kami sulit dilerai beberapa tahun silam. Ini hanyalah perjalanan kereta api yang kebetulan melaju ke depan dengan menyapa masa lalu. Sulit dijelaskan bagaimana hatiku beraroma atau apa raut wajah yang harus aku perlihatkan. Pasalnya, dua tahun lalu adalah luka lama yang masih membiru dengan rasa yang tertata rapih di hatiku.

Kereta berjalan begitu cepat membelah lembah, namun tidak mampu meninggalkan perasaanku yang seharusnya tidak ikut dalam perjalanan ini.

Di tengah lamunan setengah perjalanan, seorang petugas kereta api mengantar kopi panas yang tidak kupesan. Ia memberikannya dengan senyuman, sementara aku terpaku keheranan.

“Dari mas yang di belakang Kakak, mohon diterima”

“Terima kasih”, sahutku. Rupanya Ganang di belakangku, ia tersenyum dengan headset yang menyumpal bising kepalanya. Ini pasti hanya kebetulan, tidak mungkin Ganang seniat itu merencanakan permohonan maafnya. Sebenarnya, dengan senang hati aku melihat senyumnya lagi. Rasa-rasanya kepala ini ingin segera mendarat dibahunya dan menanti diusap lembut.

Bangun Ranum, ini bukan perayaan masa lalumu.

Sulit menolak segelas kopi meskipun dari orang yang sama pahitnya. Aku juga tidak berhak menyalahkan petugas kereta api yang mengantar. Ia tidak salah, perasaanku saja yang berulah.

Satu jam setelah segelas kopi itu kuterima, tidak sedikit pun isinya berkurang. Kubiarkan kehangatan kopi membaur dengan dinginnya pertemuan ini.

Kepalaku penuh dengan pertanyaan ‘kenapa’ yang menggunung dua tahun lalu dan berhasil tenggelam. Kini muncul lagi ke permukaan, membawa rasa lama yang tidak seharusnya lagi ada. Seharusnya aku menikmati perjalanan kereta api tanpa bayangan masa lalu yang menghantui. Seharusnya aku tidak perlu mengundang perasaan itu kembali. Sulit dijelaskan, bagaimana hati yang terluka meminta disiram cinta untuk kedua kalinya?

Aku meliriknya ke belakang dan matanya masih terbelalak melempar senyuman.

Kemudian ia mendekatkan tubuhnya ke kursiku dan berbisik, “Mau temani aku makan siang?”

Tanpa menjawabnya, aku beranjak dan Ganang mengikutiku dari belakang. Kami berjalan menuju gerbong makan. Aku pikir, tidak ada salahnya untuk berdamai? Sekalipun dengan perasaanku sendiri.

“Makan Num?”, ia memecah lamunanku.

“Tidak lapar”, Ganang mengangguk pelan mengerti jawabanku.

“Kopinya gak diminum, berarti teh aja Mbak satu. Jangan terlalu panas, gulanya setengah sendok dan tehnya harus pekat”, Ganang memesan kepada petugas.  

“Ternyata dua tahun tanpa aku tidak membuatmu lupa ingatan, syukurlah”, aku melangkah menuju tempat duduk yang kosong.

“Dua tahun yang lalu justru membuatku selalu mengingat”

“Mengingat karcis parkirmu ada dimana?”

“Mengingatmu lebih tepatnya” Canggung. “Tapi mengingat karcis parkir juga” tambahnya dengan memasang wajah sumringah. Aku tersenyum. 

Pesanan kami sampai, Ganang dengan nasi goreng dan air mineralnya sementara aku dengan teh hangat yang pekat.

“Bagaimana hari ini Num?”, Ganang mencoba membuka obrolan.

Tapi kenapa yang ditanyakan hari ini? Jelas-jelas aku senang hari ini karena bertemu dia. Kenapa dia tidak menanyakan dua tahun yang lalu? Kenapa juga dia tidak menjawab pertanyaan yang ada di kepalaku? Aku juga sih yang gengsi menyampaikannya.

Ganang menatapku, “Aku berbicara denganmu, Ranum. Bukan dengan gelas kosong”.

“A..apa tadi? Hari ini? Baik.. semuanya baik, aku tidak ketinggalan kereta, itu yang terpenting”, aku menjawabnya dengan salah tingkah.

“Dari dulu kamu kan selalu tepat waktu, tidak mungkin terlambat”, sahut Ganang dengan mengunyah suapan nasi goreng terakhirnya.

“Ya, seperti yang kamu tau”

Ganang merogoh saku celananya, “Mau merokok?” tanyaku.

Ia menggeleng dengan senyuman, “Sudah berhenti”

Aku membalas dengan senyum merekah, “Benarkah? Turut senang mendengarnya”

“Jadi ingat dulu, kalau aku merokok.. pasti kamu orang yang paling bawel dan selalu sedia permen buat penggantinya”

“Dan kamu memakaikanku masker agar tidak terkena asap rokoknya”

“Lalu mulutmu tidak berhenti bicara di dalam masker itu, ‘merekok itu berbahaya, sayang paru-parunya, kamu itu masih muda’ daaan semuanya”, katanya dengan nada bicara yang meninggi.

Ia masih mengingatnya, aku tersenyum, “Ada acara apa ke Jogja, Nang?”, lagi-lagi basa basi agar obrolannya tidak berhenti. Tidak mungkin aku melewatkan kesempatan yang dua tahun aku nantikan ini.

“Mau pulang saja”, katanya dengan santai.

“Loh? Kamu punya rumah disana?”, kataku tersentak kaget.

Ganang cengengesan dan berkata, “ Kayaknya Jogja adalah tempat pulang untuk semua orang deh Num, bahkan untuk orang yang tak berumah sepertiku”

Sebentar ....

Aku bergelut dengan pertanyaan di kepala, apa maksudnya Ganang mengatakan dirinya ‘tak berumah’? Rumah yang dimaksud bukan bangunan kokoh yang didirikan sebagai tempat tinggal kan? Pasti maksudnya adalah seseorang yang ia percayai sebagai pasangan saling bertukar cerita dan saling percaya. Ia kan pintar mengibaratkan sesuatu, itu yang membuatku jatuh cinta dulu atau bahkan... masih tersisa. Ada sedikit senyuman yang enggan aku perlihatkan, barangkali hanya aku yang merasakan kebahagiaan.

Aku sudahi bergelut dengan pikiranku dan mencoba mengasingkannya, “Maksudmu tak berumah?”

“Ya.. tidak ada seseorang yang menjadi tempatku pulang”

“Bagaimana dengan Lintang? Sudah selesai?”

Ganang yang sedang meneguk air mineral, tersedak. “Bukan selesai Num, memang tidak ada yang aku mulai dengan Lintang”.

“Bukannya waktu itu kamu-“

Ganang memotong ucapanku, “Mengantarnya pulang? Tidak mungkin aku membiarkan perempuan pulang tengah malam sendirian, dia hanya teman teaterku. Aku sudah menjelaskannya padamu, seharusnya dua tahun berlalu membuat kamu mengerti”

“Teman yang saling berpelukan?”

“Dia mabuk, Num. Malam itu dia mabuk, wajar dia memelukku” Ganang menegaskan ucapannya.

“Mewajarkan berpelukan dengan perempuan lain padahal kamu saat itu berada dalam hubungan yang sedang hangat-hangatnya. Tau apa akibatnya kan? Acara tunangan kita gagal”

“Seharusnya tidak gagal kalau kamu mendengarkan penjelasanku, Ranum”

“Penjelasan atau penyangkalan? Barangkali itu baru salah satu yang ketahuan dari sekian banyak yang kamu sembunyikan”

“Ranum, kita bisa memulainya lagi”

“Untuk apa dimulai, Ganang? Kan sudah tau akhirnya”

“Untuk diperbaiki”

“Aku tidak bisa”

“Aku tahu, pasti tidak hanya aku yang menangis pada malam itu, pasti juga tidak hanya aku yang menunggu kesempatan ini terjadi, saling menatap wajah yang dulu kuusap”

Ya Ganang, tidak hanya kamu.

Aku terdiam, “Tidak ada yang baik-baik saja setelah mengakhiri hubungan dengan pertengkaran” Sambung Ganang.

“Ranum.. Mau kau memulainya lagi denganku?” Ganang mencoba meraih tanganku, raut wajahnya berubah kaget.

Aku gagal menyembunyikannya. “Siapa yang telah memasang cincin di jari manismu?” Ganang dengan memegang tanganku.

“Ranggana”, aku melepaskan tangan dari Ganang dan terpaksa memberitahunya.

“Ranggana? Sahabatku?”

“Aku ke Jogja untuk mengurus pernikahan dengannya”.

Aku tau, kabar ini pasti mendobrak hati Ganang untuk menerima kenyataan. Pasalnya, Ranggana adalah sahabat jauh Ganang yang selama ini mendukung hubunganku dengan Ganang. Namun saat kami selesai, ternyata Ranggana selama ini menyimpan perasaan dan ternyata selama aku bercerita dengannya, aku pun merasa nyaman. Aku rasa tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, bahkan perasaanku dengan Ganang.

Ganang dan Ranggana bertemu di Stasiun Lempuyangan. “Selamat ya, semoga lancar sampai pernikahan”

Ganang akan tau, ada beberapa perasaan yang tidak sampai pada tujuan. Dan Lempuyangan menjadi saksi bahwa tidak ada yang perlu diselesaikan dari hubungan yang sudah selesai. Tidak ada judul kedua dalam ceritaku dan Ganang.

Jumat, 14 April 2023

dua puluh dua tahun pertama Afda

dari 365 hari, Ia memilih 15 April sebagai selimut hodupmu.

yang meredakan badai kejutan dan memar perjalanan dari kehidupan yang tentu kau tak menyangka dapat bertahan.
memang bukan aku yang membangunkanmu dari tidur panjang hanya untuk meniup lilin dan berpelukan , namun ini adalah sebuah usaha untuk kau tetap hidup.

selamat dua puluh dua pertama, Afda!
untuk semua yang membekas, kamu tidak perlu memaksanya untuk menghilang, bukankah kesedihan juga merupakan bagian dari kehidupan?
dan untuk semua yang sudah dilalui, mereka belum tentu bisa menutup buku dengan syukur sepertimu.
batu penarung yang berhasil kau selesaikan, rumit yang berkabut, atau perasaan yang mengerucut, kau bersama doa di tempat aman yang kami aminkan.

ada berbagai cara Tuhan untuk kau merasakan kebahagiaan, meskipun seringkali kau lebih senang mengulang kesedihan.
ada beberapa hal yang tak mengharuskan untuk kau terus bertaruh, karena bukan kau yang berkuasa dan Maha Esa.
ada kalanya kau hanya bertugas untuk menikmati indahnya menjadi pemeran pengganti, karena tidak selalu kau yang menjadi pemeran utama bahkan dalam ceritamu sendiri.
karena setiap hari adalah masa lalu untuk hari berikutnya.

Afda, banyak amin yang memelukmu hari ini. tapi, apapun yang akan Ia beri nanti, itu kehendakNya. meskipun sering kali memberatkan kedua bahumu dan tidak semua doa Ia kabulkan, percayalah Ia akan mencukupkan dengan apa yang kamu butuhkan.
seraya ikut merayakanmu, Afda!

sebelum menjalani hari kedua ikuti langkah-langkah berikut ini
1. kpopannya nanti dulu, pending 3 menit
2.  klik link
spotify -> https://open.spotify.com/track/6ZJ2PCDZVTPB392n3rkKzU?si=cbX1oFKUSIahSJKzIzjucw
3. play musiknya
4. taro HP nya
5. merem, tanpa distraksi, rasakan sensasinya.

Be better, Afda! semoga Mas Baskara menyelamatkanmu dari dewasa yang kejamnya gak ada habisnya!

Kamis, 13 April 2023

Berjalan Seperti Monyet

 Karya: Zufara Maryami Mufidoh

Sekelompok manusia pembawa korek api telah mengilang dengan asap yang mereka tinggalkan. Aku terbatuk-batuk mencari kelangkaan udara segar. Dahan pohon tempatku menikmati ketinggian telah berjatuhan. Kakiku memijak tanah abu-abu, dengan tangan menyingkirkan asap yang menutup pandanganku.  Hijaunya hutan sudah tak bisa diselamatkan. Aku melangkah keluar dari lindungan batu besar, melihat sekitar dan mencari, di mana temanku? Terlihat mereka mati tergeletak, mati kelaparan, dengan penuh luka bakar, dan duka lainnya.

            Aku memilih untuk mencari harapan meskipun tak sedikit pun kulihat dari kejauhan. Aku berjalan di bawah langit biru yang penuh kepulan asap, melompat dari petak ke petak untuk menghindari panas api, dengan mata yang melihat sekitar mencari yang tidak mati. Tapi tak kutemukan satu pun. Si jago merah di padamkan oleh hujan yang tiba-tiba turun, entah Tuhan mengabulkan doa siapa. Di tepi hutan yang kini gersang, aku berhenti berjalan. Perutku sudah tak kuasa menahan lapar seharian. Aku mencari seteguk air yang dapat membasahi tenggorokan. Namun sudah lebih dulu aku tak sadar.

            Terdengar suara kaki manusia tanpa alas menghancurkan daun-daun kering yang ia injak. Badanku yang lemas tidak mampu bertegur sapa. Namun saat aku memaksa membuka mata, terlihat seorang lelaki paruh baya bertubuh gempal yang berjalan mendekatiku.

Batinku, apakah aku akan diselamatkan atau dengan jalan lain menjemput kematian?

            Ternyata ia membopong tubuh lemasku, dibawanya menjauh dari lautan asap itu. Mataku masih terpejam, aku belum bisa sepenuhnya sadar. Paru-paruku sudah mendapatkan udara segar, napas lega kuhembuskan. Aku di bawa ke sebuah gubuk kecil. Lalu aku dibaringkan di sebuah tikar hangat. Segelas air minum kutenggak habis dengan buah pisang yang setengah matang. Ia tersenyum lebar sambil mengelus kepalaku pelan. Kulihat rambut yang memutih dengan kumis yang tak terawat.

“Untuk sementara waktu, jangan kembali ke asalmu. Berbahaya. Di sini saja temani aku. Ya, monyet pintar?” katanya seolah berpikir aku mengerti ucapannya. Padahal memang iya. Meskipun tak berbahasa, aku mempunyai batin untuk menyalurkan perasaan dengan manusia sekalipun.

            Tiga hari berlalu. Kakiku sudah bisa berlari cepat meninggalkan gubuknya, barangkali lelaki tua itu bagian dari sekelompok pembawa korek api? Tapi asumsiku cepat disingkirkan karena setiap hari, tak pernah lalai, ia sediakan banyak pisang yang ia curi dari kebun tetangganya. Kami menikmati berdua. Lagi pula, ke mana aku pulang? Bukankah rumahku telah dihabisi oleh kelompok pembawa korek api? Sesekali ia bercerita tentang dompetnya yang kering dan hidupnya yang diramaikan dengan sepi. Akhirnya aku yakin dengan Pak Dul, sapaan akrabnya adalah manusia berhati baik. Sudah banyak buah pisang yang kami makan bersama, sampai para tetangga sudah membiarkan kelakuan Pak Dul daripada ia dan monyet kesayangannya mati kelaparan.

Di pagi yang cerah, aku dibangunkan dengan suara ketokan palu di sebuah kayu. Saat aku hendak menghampiri Pak Dul, sebuah kalung besi mengikat leherku, dikaitkan dengan rantai kecil yang panjang mengikat tiang. Aku berusaha melepaskannya tapi tidak bisa, semakin aku berjalan jauh semakin rantai itu mencekik leherku.

“Kau tidak perlu kembali ke sana, mayat temanmu sudah menyuburkan kematian hutan. Tidak usah khawair, di sini kau tidak akan mati. Rantai itu agar kamu tidak nekat pergi, di sini saja ya? Berdua agar tidak saling sepi” Pak Dul menatapku dengan sayang.

Ia masih memotong-motong kayu menjadi bagian-bagian dengan bentuk tertentu. Terus membuat pola, mengecat, memalu, merancang, hingga menjadi sebuah motor-motoran kecil. Aku terbahak melihatnya, apa mungkin motor itu bisa menopang tubuh gempalnya?

Pak Dul melihatku yang terkekeh dari kejauhan. Kemudian ia beranjak untuk mengambil benda mengejutkan lainnya. Sebuah egrang, gerobak kosong, sepeda tanpa pedal, payung, semua terbuat dari kayu dengan paduan cat kotor dan ukurannya kecil jika di bandingkan dengan tubuh gempal Pak Dul. Lalu, untuk apa?

Pak Dul menyodorkan satu persatu, mengisyaratkan aku untuk mencobanya. Sebagai seekor monyet seharusnya aku berwibawa di depan monyet lainnya karena bisa menggunakan mainan manusia. Sepeda itu kulaju dengan kencang, egrang kupakai dengan seimbang, gerobak kudorong dengan senang, dan payung yang kupakai tanpa hujan. Aku mendapatkan perasaan bahagia meskipun seringkali rantai mencekik leherku ketika aku berjalan terlalu jauh. Pak Dul tersenyum lega dan mengelus kepalaku.

“Semuanya aku buat dari kayu-kayu sisa bangunan, catnya juga dari sumbangan tukang” katanya dengan diikuti suara tertawa.

Pak Dul mengelap dahinya yang banjir keringat, meneguk air putih, lalu kembali membuat pola. Kali ini ia memotong papan kayu berukuran  besar. Sementara aku masih sibuk dengan mainanku.

            Keesokan harinya saat pagi yang masih berganti warna langit, Pak Dul membangunkanku yang tidur tergeletak di tanah dengan leher yang masih diikat. Biasanya ia akan hidangkan satu atau dua buah pisang untuk sarapan. Tapi hari ini, ia terlihat lebih sibuk menyusun mainanku di atas gerobak pikul yang baru selesai dibuat. Ia mengajakku masuk ke gerobak itu, untuk apa? Apakah pisangku ada di sana? Tidak ada, yang kudapat hanya gelap karena ia langsung menutup rapat. Lalu aku dibopong-bopong bersama mainanku. Kepalaku sedikit menunduk karena gerobaknya terlalu kecil untuk menopang tubuhku yang penuh pisang. Sesekali ia berteriak memanggil anak-anak, apa pula yang akan dibuatnya?

            Dari dalam gerobak, kudengar suara sorak tepuk tangan ramai. Sepertinya di luar banyak yang menyapa Pak Dul. Tak lama, Pak Dul menurunkan gerobak pikulnya dan membuka pintuku. Apa? Sudah sampai? Mana pisangnya? Kok banyak anak? Apa yang mereka tunggu? Tampak antusias. Pak Dul tersenyum melihat kebingunganku, lalu ia persilahkanku untuk keluar dengan mengulur rantai yang mengikat leherku.

 “Aku bunyikan musiknya, lalu kau berjalan seperti monyet ya!” Pak Dul berbisik di telingaku.

Berjalan seperti monyet? Bagaimana maksudnya? Seekor monyet menirukan jalan monyet? Aku masih mencoba mengerti apa yang terjadi.

            Alat musik mulai ditabuh, nada-nada semangat Pak Dul gemparkan. Semua orang bersorak senang dengan mata yang mengarah kepadaku, apa yang kalian tunggu? Aku tidak tau. Aku mencoba melakukan semampuku, Pak Dul mengulurkan rantai itu agar aku bisa berjalan lebih jauh menghampiri anak-anak ramai. Tepuk tangan menyemangatiku yang berjalan ‘seperti monyet’.

            Satu persatu permainan Pak Dul lemparkan ke arahku. Dengan senang aku memakainya, berlari kesana kemari. Lupa kalau terlalu jauh leher akan tercekik. Ternyata senang yang aku rasakan, mereka ikut merayakan. Para penonton ramai bertepuk tangan dan tersenyum lebar. Selama hidup di dalam hutan, aku tidak pernah tau ternyata tingkah seekor monyet dapat melebarkan senyum puluhan manusia.

            Setelah cukup lama aku beratraksi, Pak Dul menghentikan alunan musiknya. Ia menggandengku dengan kaleng kosong, kami berjalan mendekati para penonton sambil mengulurkan kaleng itu. Beberapa orang memasukkan uang koin, sementara yang lainnya langsung pergi karena sakunya kosong. Setelah terkumpul cukup banyak, Pak Dul menyuruhku untuk masuk kembali ke gerobak pikulnya. Lalu pintu kembali ditutup yang kurasa hanya gelap dan berguncang-guncang dengan uang koin yang berbenturan. Aku pikir kali ini Pak Dul akan berhenti di kebun warga, lalu mengambil beberapa pisang untukku.

Tapi sepertinya kali ini aku dibopong sangat jauh. Ketika sampai, bukan pisang yang kutemukan tapi lagi-lagi khalayak ramai yang terus bersorak. Aku melakukannya lagi dan lagi. Atraksiku dimeriahkan tepuk tangan, tidak berhenti sebelum musik mati. Setelah musik mati pun, aku dibopong menuju keramaian lainnya. Senang rasanya bisa membuat orang lain senang. Tetapi perutku keroncongan, tenagaku habis dan hampir tidak mampu berjalan ‘seperti monyet’. Saat aku tidak bersemangat, Pak Dul akan menarik rantai yang mengikat leherku hingga aku sedikit tercekik.

            Kali ini Pak Dul menepi di sebuah warung makan. Pak Dul memesan teh hangat dan segunung makan siang.  Sayangnya aku hanya melihatnya kenyang, tanpa ia berikan aku satu dua buah pisang. Aku kira setelah itu ia akan membawaku pulang, tapi malah ia mencari tempat ramai lainnya. Tidak ada hentinya padahal kaleng kosong itu telah penuh.

            Satu, dua minggu berlalu tidak bedanya. Ia tetap akan mencekik leherku ketika aku tidak menuruti permintaannya untuk beratraksi agar kalengnya penuh. Tubuh Pak Dul semakin gempal, ia juga tidak pernah lagi melamun tengah malam. Setelah seharian berkeliling, ia pasti menghitung isi yang memenuhi kaleng dan hanya memberiku dua buah pisang sehari. Sementara Pak Dul terus memesan segunung nasi dan banyak minuman manis yang mengalir di tubuhnya. Aku menyadari bahwa Pak Dul memang bukan kelompok pembawa korek api, tapi ia yang selama ini membawa teman-temanku pergi. Sama-sama keji.

            Tiba-tiba di kepalaku terbayang hijaunya hutan yang diramaikan kicauan burung, bersenang-senang dengan teman tanpa mainan, bergelantungan dari dahan ke dahan, sesekali melihat ketinggian dari ujung pohon, mengambil banyak buah yang tumbuh liar, meneguk air dari sungai yang jernih, berlindung di bawah pohon rindang saat hujan deras, dan banyak yang ku rindukan. Aku tidak ingin uang, aku hanya ingin pulang. Aku ingin kebebasan menjadi seekor monyet tanpa tuntutan, tanpa rantai yang mencekik. Tapi bagaimana caranya? Pak Dul bilang, rumahku telah habis tersisa abu. Lalu, ke mana aku harus pulang?

            Sejak saat itu, aku berjalan ‘seperti monyet’ dengan menangis. Aku menghibur mereka sementara hatiku teriris. Pak Dul tidak mau tau, ia hanya mau kaleng itu terisi penuh. Ia menjadi manusia yang tak kukenali.

            Di malam yang sepi, aku memegang besi keras yang mengikat di leherku, rasanya sangat risih. Bagaimana caranya aku berlari jauh tanpa tercekik? Rasanya ingin sekali meninggalkan Pak Dul, tak apalah aku mencari pisang sendiri lagi. Di dalam kandang reot berbahan dasar bambu bekas, aku memejamkan mata mencoba berdoa selayaknya manusia kepada Tuhannya yang mungkin Tuhanku juga. Ya Tuhan, aku tak ingin uang, aku hanya  ingin pulang dan pisang.

            Aku lihat Pak Dul terlelap dengan tumpukan koin dari kalengnya. Mungkin diselimuti uang adalah salah satu mimpinya. Matanya yang sayup terpejam lama, sementara tangannya masih merasa bahagia terus bergerak seperti menghitung uang tiada habisnya. Tuhan, terima kasih sudah mengajakku dekat dengan manusia, tapi Pak Dul tidak manusiawi.

            Aku memegang leherku. Seperti biasa, ketika aku di dalam kandang maka rantai itu akan dilepaskan. Tapi tidak dengan kalung besi yang sama mencekiknya, aku menjadi tidak leluasa bernapas dan bergerak. Di dalam kandang yang sempit ini, tidak ada hentinya aku menyuarakan doa Tuhan, aku mau kebebasan.

            Lalu tiada angin tiada hujan, aku baru sadar. Sejak tadi Pak Dul terlalu larut menghitung uang, sampai ia lupa mengunci kandangku. Tanpa berpikir panjang, aku keluar dan berlari kencang. Tidak sengaja aku menendang kaleng, membuat Pak Dul terbangun dari tidurnya. Aku tidak perduli, aku berlari meskipun Pak Dul terus berteriak meminta aku kembali.

            Aku berlari di tengah gelap gulita malam. Dengan perut lapar dan tenggorokan kering. Aku tak tau jalan, yang aku lakukan hanya berlari dan sesekali bergelantungan untuk mencari rumah baru.

            Langkahku terhenti ketika tidak sengaja aku tersasar di pinggir jalan beraspal. Lampu jalan hanya menerangi sebagian, sementara aku tak tau tujuan. Sorot sebuah lampu kendaraan menyilaukan mataku. Seorang pemuda bertubuh kecil mendekat ke arahku, namun aku segera ancang-ancang untuk berlari jauh. Barangkali, ia akan menjadi Pak Dul kedua yang mencekik leherku atau memaksaku untuk beratraksi demi sesuap nasi? Benar saja, ia mengejarku. Bahkan ia menunggu di bawah saat aku mencoba menaiki pohon.

“Tenang, tenang... aku akan membantumu, aku bukan manusia jahat... kemarilah” ujar lelaki kecil itu.

            Ia mengacungkan sebungkus kacang. Perutku tak kuasa menahan lapar, akhirnya aku turun dan mendekat dengan sedikit menjaga jarak. Ia tersenyum dan menyodorkan kacang untukku. Aku melahap habis kacang itu. Dengan perut yang sedikit terisi, ia menggandeng tanganku. Sepertinya ia bisa membaca raut wajahku yang penuh tanda tanya dan kalung besi yang masih melingkar di leherku.

“Kamu berhasil kabur dari pengurusmu?” sapanya kepadaku.

Aku mengangguk lemas.

“Monyet pintar!” Sahutnya.

Yang ada di kepalaku, semoga doa seekor monyet juga didengar oleh Tuhan. Kembalikan aku ke hutan, kataku dalam hati.

            Ia membujukku untuk ikut dengannya. Seperti enggan mengulang kekecewaan yang kedua, tapi jika aku menolaknya aku harus ke mana? Aku kan hanya seekor monyet yang tidak bisa membedakan kanan dan kiri. Aku pun menyetujui untuk ikut dengannya. Aku membonceng motornya. Ia melaju dengan sangat pelan, sesekali menyuruhku berpegangan.

            Ia adalah Rama. Seorang pemuda yang sadar dengan lingkungannya. Seperti janji yang ia utarakan sebelum berkenalan, keesokan paginya setelah memberi banyak buah-buahan (tak hanya pisang) ia membawaku kembali ke hutan. Aku kembali menghirup udara bersih, tumbuhan yang tumbuh subur, dedaunan yang dibasahi embun, suara hewan yang meramaikan, daun kering yang berhamburan, pohon besar dan tinggi tanpa penebangan, ini yang kusebut kebebasan.

            Tanpa menahanku, Rama membiarkanku berlari dan bergelantungan di depannya. Kemudian ia mengisyaratkanku untuk menghampirinya sekali lagi. Ternyata kebahagiaanku kembali, membuatku lupa kalung besi masih melingkari leherku. Ia lepaskan dengan senyuman, lalu membiarkanku kembali ke hutan dengan lambaian tangan dan senyuman.

            Sebagai seekor monyet, aku tidak butuh uang atau pujian kehebatan atraksiku. Yang kuinginkan hanyalah pulang dengan hutan tanpa penebangan. Teman-temanku yang mati, aku anggap mereka telah berhasil melawan meskipun akhirnya berpihak pada kekalahan. Padahal tempat tinggalku juga berharga untuk manusia tapi seringkali mereka lebih tergoda dengan ketebalan dompet yang berlipat ganda.

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...