Karya: Zufara Maryami Mufidoh
Sekelompok manusia pembawa korek api telah mengilang dengan
asap yang mereka tinggalkan. Aku terbatuk-batuk mencari kelangkaan udara segar.
Dahan pohon tempatku menikmati ketinggian telah berjatuhan. Kakiku memijak
tanah abu-abu, dengan tangan menyingkirkan asap yang menutup pandanganku. Hijaunya hutan sudah tak bisa diselamatkan.
Aku melangkah keluar dari lindungan batu besar, melihat sekitar dan mencari, di
mana temanku? Terlihat mereka mati tergeletak, mati kelaparan, dengan penuh
luka bakar, dan duka lainnya.
Aku memilih untuk mencari harapan
meskipun tak sedikit pun kulihat dari kejauhan. Aku berjalan di bawah langit
biru yang penuh kepulan asap, melompat dari petak ke petak untuk menghindari
panas api, dengan mata yang melihat sekitar mencari yang tidak mati. Tapi tak
kutemukan satu pun. Si jago merah di padamkan oleh hujan yang tiba-tiba turun,
entah Tuhan mengabulkan doa siapa. Di tepi hutan yang kini gersang, aku
berhenti berjalan. Perutku sudah tak kuasa menahan lapar seharian. Aku mencari
seteguk air yang dapat membasahi tenggorokan. Namun sudah lebih dulu aku tak
sadar.
Terdengar
suara kaki manusia tanpa alas menghancurkan daun-daun kering yang ia injak.
Badanku yang lemas tidak mampu bertegur sapa. Namun saat aku memaksa membuka
mata, terlihat seorang lelaki paruh baya bertubuh gempal yang berjalan
mendekatiku.
Batinku, apakah aku
akan diselamatkan atau dengan jalan lain menjemput kematian?
Ternyata
ia membopong tubuh lemasku, dibawanya menjauh dari lautan asap itu. Mataku
masih terpejam, aku belum bisa sepenuhnya sadar. Paru-paruku sudah mendapatkan
udara segar, napas lega kuhembuskan. Aku di bawa ke sebuah gubuk kecil. Lalu
aku dibaringkan di sebuah tikar hangat. Segelas air minum kutenggak habis
dengan buah pisang yang setengah matang. Ia tersenyum lebar sambil mengelus
kepalaku pelan. Kulihat rambut yang memutih dengan kumis yang tak terawat.
“Untuk sementara waktu, jangan kembali ke asalmu.
Berbahaya. Di sini saja temani aku. Ya, monyet pintar?” katanya seolah berpikir
aku mengerti ucapannya. Padahal memang iya. Meskipun tak berbahasa, aku
mempunyai batin untuk menyalurkan perasaan dengan manusia sekalipun.
Tiga
hari berlalu. Kakiku sudah bisa berlari cepat meninggalkan gubuknya, barangkali
lelaki tua itu bagian dari sekelompok pembawa korek api? Tapi asumsiku cepat
disingkirkan karena setiap hari, tak pernah lalai, ia sediakan banyak pisang
yang ia curi dari kebun tetangganya. Kami menikmati berdua. Lagi pula, ke mana
aku pulang? Bukankah rumahku telah dihabisi oleh kelompok pembawa korek api? Sesekali
ia bercerita tentang dompetnya yang kering dan hidupnya yang diramaikan dengan
sepi. Akhirnya aku yakin dengan Pak Dul, sapaan akrabnya adalah manusia berhati
baik. Sudah banyak buah pisang yang kami makan bersama, sampai para tetangga
sudah membiarkan kelakuan Pak Dul daripada ia dan monyet kesayangannya mati
kelaparan.
Di pagi yang cerah, aku dibangunkan dengan suara ketokan
palu di sebuah kayu. Saat aku hendak menghampiri Pak Dul, sebuah kalung besi
mengikat leherku, dikaitkan dengan rantai kecil yang panjang mengikat tiang.
Aku berusaha melepaskannya tapi tidak bisa, semakin aku berjalan jauh semakin rantai
itu mencekik leherku.
“Kau tidak perlu kembali ke sana, mayat temanmu sudah
menyuburkan kematian hutan. Tidak usah khawair, di sini kau tidak akan mati.
Rantai itu agar kamu tidak nekat pergi, di sini saja ya? Berdua agar tidak
saling sepi” Pak Dul menatapku dengan sayang.
Ia masih memotong-motong kayu menjadi bagian-bagian dengan
bentuk tertentu. Terus membuat pola, mengecat, memalu, merancang, hingga
menjadi sebuah motor-motoran kecil. Aku terbahak melihatnya, apa mungkin motor
itu bisa menopang tubuh gempalnya?
Pak Dul melihatku yang terkekeh dari kejauhan. Kemudian
ia beranjak untuk mengambil benda mengejutkan lainnya. Sebuah egrang, gerobak
kosong, sepeda tanpa pedal, payung, semua terbuat dari kayu dengan paduan cat
kotor dan ukurannya kecil jika di bandingkan dengan tubuh gempal Pak Dul. Lalu,
untuk apa?
Pak Dul menyodorkan satu persatu, mengisyaratkan aku
untuk mencobanya. Sebagai seekor monyet seharusnya aku berwibawa di depan
monyet lainnya karena bisa menggunakan mainan manusia. Sepeda itu kulaju dengan
kencang, egrang kupakai dengan seimbang, gerobak kudorong dengan senang, dan
payung yang kupakai tanpa hujan. Aku mendapatkan perasaan bahagia meskipun
seringkali rantai mencekik leherku ketika aku berjalan terlalu jauh. Pak Dul
tersenyum lega dan mengelus kepalaku.
“Semuanya aku buat dari kayu-kayu sisa bangunan, catnya
juga dari sumbangan tukang” katanya dengan diikuti suara tertawa.
Pak Dul mengelap dahinya yang banjir keringat, meneguk
air putih, lalu kembali membuat pola. Kali ini ia memotong papan kayu berukuran
besar. Sementara aku masih sibuk dengan mainanku.
Keesokan
harinya saat pagi yang masih berganti warna langit, Pak Dul membangunkanku yang
tidur tergeletak di tanah dengan leher yang masih diikat. Biasanya ia akan
hidangkan satu atau dua buah pisang untuk sarapan. Tapi hari ini, ia terlihat
lebih sibuk menyusun mainanku di atas gerobak pikul yang baru selesai dibuat.
Ia mengajakku masuk ke gerobak itu, untuk apa? Apakah pisangku ada di sana? Tidak
ada, yang kudapat hanya gelap karena ia langsung menutup rapat. Lalu aku
dibopong-bopong bersama mainanku. Kepalaku sedikit menunduk karena gerobaknya
terlalu kecil untuk menopang tubuhku yang penuh pisang. Sesekali ia berteriak
memanggil anak-anak, apa pula yang akan dibuatnya?
Dari
dalam gerobak, kudengar suara sorak tepuk tangan ramai. Sepertinya di luar
banyak yang menyapa Pak Dul. Tak lama, Pak Dul menurunkan gerobak pikulnya dan
membuka pintuku. Apa? Sudah sampai? Mana pisangnya? Kok banyak anak? Apa yang
mereka tunggu? Tampak antusias. Pak Dul tersenyum melihat kebingunganku, lalu
ia persilahkanku untuk keluar dengan mengulur rantai yang mengikat leherku.
“Aku bunyikan
musiknya, lalu kau berjalan seperti monyet ya!” Pak Dul berbisik di telingaku.
Berjalan seperti monyet? Bagaimana maksudnya? Seekor
monyet menirukan jalan monyet? Aku masih mencoba mengerti apa yang terjadi.
Alat musik
mulai ditabuh, nada-nada semangat Pak Dul gemparkan. Semua orang bersorak
senang dengan mata yang mengarah kepadaku, apa yang kalian tunggu? Aku tidak
tau. Aku mencoba melakukan semampuku, Pak Dul mengulurkan rantai itu agar aku
bisa berjalan lebih jauh menghampiri anak-anak ramai. Tepuk tangan
menyemangatiku yang berjalan ‘seperti monyet’.
Satu
persatu permainan Pak Dul lemparkan ke arahku. Dengan senang aku memakainya,
berlari kesana kemari. Lupa kalau terlalu jauh leher akan tercekik. Ternyata
senang yang aku rasakan, mereka ikut merayakan. Para penonton ramai bertepuk
tangan dan tersenyum lebar. Selama hidup di dalam hutan, aku tidak pernah tau ternyata
tingkah seekor monyet dapat melebarkan senyum puluhan manusia.
Setelah
cukup lama aku beratraksi, Pak Dul menghentikan alunan musiknya. Ia
menggandengku dengan kaleng kosong, kami berjalan mendekati para penonton
sambil mengulurkan kaleng itu. Beberapa orang memasukkan uang koin, sementara
yang lainnya langsung pergi karena sakunya kosong. Setelah terkumpul cukup
banyak, Pak Dul menyuruhku untuk masuk kembali ke gerobak pikulnya. Lalu pintu
kembali ditutup yang kurasa hanya gelap dan berguncang-guncang dengan uang koin
yang berbenturan. Aku pikir kali ini Pak Dul akan berhenti di kebun warga, lalu
mengambil beberapa pisang untukku.
Tapi sepertinya kali ini aku dibopong sangat jauh. Ketika
sampai, bukan pisang yang kutemukan tapi lagi-lagi khalayak ramai yang terus
bersorak. Aku melakukannya lagi dan lagi. Atraksiku dimeriahkan tepuk tangan, tidak
berhenti sebelum musik mati. Setelah musik mati pun, aku dibopong menuju
keramaian lainnya. Senang rasanya bisa membuat orang lain senang. Tetapi
perutku keroncongan, tenagaku habis dan hampir tidak mampu berjalan ‘seperti
monyet’. Saat aku tidak bersemangat, Pak Dul akan menarik rantai yang mengikat
leherku hingga aku sedikit tercekik.
Kali ini
Pak Dul menepi di sebuah warung makan. Pak Dul memesan teh hangat dan segunung
makan siang. Sayangnya aku hanya
melihatnya kenyang, tanpa ia berikan aku satu dua buah pisang. Aku kira setelah
itu ia akan membawaku pulang, tapi malah ia mencari tempat ramai lainnya. Tidak
ada hentinya padahal kaleng kosong itu telah penuh.
Satu,
dua minggu berlalu tidak bedanya. Ia tetap akan mencekik leherku ketika aku
tidak menuruti permintaannya untuk beratraksi agar kalengnya penuh. Tubuh Pak
Dul semakin gempal, ia juga tidak pernah lagi melamun tengah malam. Setelah
seharian berkeliling, ia pasti menghitung isi yang memenuhi kaleng dan hanya
memberiku dua buah pisang sehari. Sementara Pak Dul terus memesan segunung nasi
dan banyak minuman manis yang mengalir di tubuhnya. Aku menyadari bahwa Pak Dul
memang bukan kelompok pembawa korek api, tapi ia yang selama ini membawa
teman-temanku pergi. Sama-sama keji.
Tiba-tiba
di kepalaku terbayang hijaunya hutan yang diramaikan kicauan burung, bersenang-senang
dengan teman tanpa mainan, bergelantungan dari dahan ke dahan, sesekali melihat
ketinggian dari ujung pohon, mengambil banyak buah yang tumbuh liar, meneguk
air dari sungai yang jernih, berlindung di bawah pohon rindang saat hujan
deras, dan banyak yang ku rindukan. Aku tidak ingin uang, aku hanya ingin
pulang. Aku ingin kebebasan menjadi seekor monyet tanpa tuntutan, tanpa rantai
yang mencekik. Tapi bagaimana caranya? Pak Dul bilang, rumahku telah habis
tersisa abu. Lalu, ke mana aku harus pulang?
Sejak saat
itu, aku berjalan ‘seperti monyet’ dengan menangis. Aku menghibur mereka
sementara hatiku teriris. Pak Dul tidak mau tau, ia hanya mau kaleng itu terisi
penuh. Ia menjadi manusia yang tak kukenali.
Di malam
yang sepi, aku memegang besi keras yang mengikat di leherku, rasanya sangat
risih. Bagaimana caranya aku berlari jauh tanpa tercekik? Rasanya ingin sekali
meninggalkan Pak Dul, tak apalah aku mencari pisang sendiri lagi. Di dalam
kandang reot berbahan dasar bambu bekas, aku memejamkan mata mencoba berdoa
selayaknya manusia kepada Tuhannya yang mungkin Tuhanku juga. Ya Tuhan, aku tak ingin uang, aku hanya ingin pulang dan pisang.
Aku
lihat Pak Dul terlelap dengan tumpukan koin dari kalengnya. Mungkin diselimuti
uang adalah salah satu mimpinya. Matanya yang sayup terpejam lama, sementara
tangannya masih merasa bahagia terus bergerak seperti menghitung uang tiada
habisnya. Tuhan, terima kasih sudah
mengajakku dekat dengan manusia, tapi Pak Dul tidak manusiawi.
Aku
memegang leherku. Seperti biasa, ketika aku di dalam kandang maka rantai itu
akan dilepaskan. Tapi tidak dengan kalung besi yang sama mencekiknya, aku
menjadi tidak leluasa bernapas dan bergerak. Di dalam kandang yang sempit ini,
tidak ada hentinya aku menyuarakan doa Tuhan,
aku mau kebebasan.
Lalu
tiada angin tiada hujan, aku baru sadar. Sejak tadi Pak Dul terlalu larut
menghitung uang, sampai ia lupa mengunci kandangku. Tanpa berpikir panjang, aku
keluar dan berlari kencang. Tidak sengaja aku menendang kaleng, membuat Pak Dul
terbangun dari tidurnya. Aku tidak perduli, aku berlari meskipun Pak Dul terus
berteriak meminta aku kembali.
Aku
berlari di tengah gelap gulita malam. Dengan perut lapar dan tenggorokan
kering. Aku tak tau jalan, yang aku lakukan hanya berlari dan sesekali bergelantungan
untuk mencari rumah baru.
Langkahku
terhenti ketika tidak sengaja aku tersasar di pinggir jalan beraspal. Lampu
jalan hanya menerangi sebagian, sementara aku tak tau tujuan. Sorot sebuah
lampu kendaraan menyilaukan mataku. Seorang pemuda bertubuh kecil mendekat ke
arahku, namun aku segera ancang-ancang untuk berlari jauh. Barangkali, ia akan
menjadi Pak Dul kedua yang mencekik leherku atau memaksaku untuk beratraksi
demi sesuap nasi? Benar saja, ia mengejarku. Bahkan ia menunggu di bawah saat
aku mencoba menaiki pohon.
“Tenang, tenang... aku akan membantumu, aku bukan manusia
jahat... kemarilah” ujar lelaki kecil itu.
Ia
mengacungkan sebungkus kacang. Perutku tak kuasa menahan lapar, akhirnya aku
turun dan mendekat dengan sedikit menjaga jarak. Ia tersenyum dan menyodorkan kacang
untukku. Aku melahap habis kacang itu. Dengan perut yang sedikit terisi, ia
menggandeng tanganku. Sepertinya ia bisa membaca raut wajahku yang penuh tanda
tanya dan kalung besi yang masih melingkar di leherku.
“Kamu berhasil kabur dari pengurusmu?” sapanya kepadaku.
Aku mengangguk lemas.
“Monyet pintar!” Sahutnya.
Yang ada di kepalaku, semoga doa seekor monyet juga
didengar oleh Tuhan. Kembalikan aku ke
hutan, kataku dalam hati.
Ia
membujukku untuk ikut dengannya. Seperti enggan mengulang kekecewaan yang
kedua, tapi jika aku menolaknya aku harus ke mana? Aku kan hanya seekor monyet
yang tidak bisa membedakan kanan dan kiri. Aku pun menyetujui untuk ikut
dengannya. Aku membonceng motornya. Ia melaju dengan sangat pelan, sesekali menyuruhku
berpegangan.
Ia
adalah Rama. Seorang pemuda yang sadar dengan lingkungannya. Seperti janji yang
ia utarakan sebelum berkenalan, keesokan paginya setelah memberi banyak
buah-buahan (tak hanya pisang) ia
membawaku kembali ke hutan. Aku kembali menghirup udara bersih, tumbuhan yang
tumbuh subur, dedaunan yang dibasahi embun, suara hewan yang meramaikan, daun
kering yang berhamburan, pohon besar dan tinggi tanpa penebangan, ini yang
kusebut kebebasan.
Tanpa
menahanku, Rama membiarkanku berlari dan bergelantungan di depannya. Kemudian
ia mengisyaratkanku untuk menghampirinya sekali lagi. Ternyata kebahagiaanku
kembali, membuatku lupa kalung besi masih melingkari leherku. Ia lepaskan
dengan senyuman, lalu membiarkanku kembali ke hutan dengan lambaian tangan dan
senyuman.
Sebagai
seekor monyet, aku tidak butuh uang atau pujian kehebatan atraksiku. Yang
kuinginkan hanyalah pulang dengan hutan tanpa penebangan. Teman-temanku yang
mati, aku anggap mereka telah berhasil melawan meskipun akhirnya berpihak pada
kekalahan. Padahal tempat tinggalku juga berharga untuk manusia tapi seringkali
mereka lebih tergoda dengan ketebalan dompet yang berlipat ganda.