Minggu, 29 Maret 2020

Pernah hampir

Pernah hampir terbunuh sama pikiran sendiri. Entah darimana datengnya, apa alasannya.
Pernah hampir rapuh karna langkah sendiri. Berjalan jauh, lelah, dan tetap tidak mau kalah.
Pernah hampir luruh diatas tanah. Membiarkan kepala dan kaki tidak lagi mempunyai spasi.

Terbunuh, jatuh, rapuh, luruh apalah itu. Aku pernah.
Ditinggalkan bayang-bayang saat gelap pun pernah.

Tiap 'hampir' itu akan terjadi, namun sang mentari kembali memberi sinar untuk jangan lagi.
Perlahan berlalu, disiram debu.
Tidak mudah terlihat lagi, semua yang layu kembali bangun.

Siapa? Kamu bertanya siapa?
Siapa yang membuat aku berjalan lagi?

Jelas diriku sendiri. Untuk apa bergantung pada kehidupan orang lain, sedangkan hidup saja itu bukan kehendak sendiri. Tidak malu dengan semesta yang kaya raya tapi tidak pernah menunjukannya?

Tapi ada yang membantu, berbicara dengan semangat dan tidak pernah untuk tidak kuat. "Kita hidup untuk hari ini"

Sempat berbeda pendapat, kenapa?

Kalo hidup hanya untuk hari ini, lalu sebagian mimpi yang sudah disiapkan tempo hari untuk diujung hari, berguna apa?

Setelah tau, ternyata benar, seharusnya hidup untuk hari ini. Hari lain yang akan dilewati, telah disipakan kebahagiaannya diatas langit dan sedihnya sudah direndam di dalam bumi.

Tentunya itu, yang membuat patah menjadi tidak mudah merekah. Tapi tumbuh dan berganti seiring hancurnya rasa takut diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...