Jumat, 01 Mei 2020

Aman, Amin...



Langit menutup cerahnya dengan tepat. Arlojiku cepat berbunyi. Karna hanya itu yang satu-satunya hasil dari fungsi. Segera saja aku lari menuju kran air yang dengan sendirinya terbuka dan debit airnya segera ku ketahui. Aku tutupi semua yang seharusnya tidak layak dipandang oleh mata lelaki. Aku kembali membisik bumi, yang diberi pengertian oleh langit. Suaraku jauh dari lantang, tetapi sudah sangat dipercaya Sang Pencipta akan mendengar.
                Hari tidak lagi sunyi karena terisi suara alam dan degub jantungku sendiri. Sudah lebih dari 2 tahun tidak ada jejak langkah yang mendekati, kecuali pengantar makanan setiap pagi yang menyiapkan tiga porsi makan sekaligus untuk dia tidak kembali lagi hari ini.
                Jariku mengetuk jati yang keras berbunyi. Tidak ada yang menyaut ataupun yang mengarahkanku untuk berhenti. Aku seakan menggenggam duniaku sendiri. Yang aku buat berdasarkan ramah yang mengarah pada amarah. Aku benci siapa saja. Kecuali Sang Pencipta dan ciptaannya selain manusia.
                Langkahku berjalan menyusuri rumah ini. Dengan tangan yang meraba kanan dan kiri. Dengan rasa aman yang hanya bisa di Aminkan. Tidak ada satupun rasa takut untuk berada lebih lama disini. Bahkan ketika semua orang sibuk menggenggam yang tidak akan kekal.
Siapa perduli? Aku berjalan dengan kakiku sendiri, arah yang aku ciptakan bisa siapa saja melewati, tapi perasaan ini hanya aku yang menikmati. Tidak akan ada sepasang telinga yang mampu mendengar gemuruh ini. Tidak akan ada sebuah hati yang mampu mengerti sulitnya menjadi yang seperti aku ini.
                Dikira hanya makan, supaya hidup.  Padahal, tanpa makan pun akan tetap hidup. Tapi lemas, tak berdaya menanggung semua yang seharusnya sesama. Untung saja mulutku masih mau menampungnya untuk dicerna. 
                Tega sekali memang, menantang hubungan supaya kekal. Jatuhnya, tidak akan ya seperti ini jadinya. Karna semesta telah merubah hati sucinya. Menjadi tidak mampu ku kenali lagi, menjadi tidak pantas ku agungkan lagi, menjadi hanyut dalam sungai mati. 
                 Aku kini telah menjadi diriku sendiri, yang tidak mau melihat wajahmu lagi. Bukan tidak mau, tapi memang sudah tidak mampu. Hanya tersisa telinga yang masih mengharapkan suaramu, tapi tidak lagi. Percuma, pecundang. Ini kan, yang kau mau? Supaya aku tidak bisa terlanjur semuanya lagi. Pikirmu sayang akan hilang ketika aku tidak melihatmu? Dasar. Dewasalah, malu dengan matamu yang kaya akan semesta.  
                Kalau jalan yang pernah kita lalui memang Kau takdirkan untukku berjalan sendiri hari ini, yakinkan aku untuk tetap berada di Bumi. Meskipun hamba-Mu tidak ada yang bisa kupercaya lagi. Semuanya sama saja, sama-sama datang dan pergi. Menginginkan bahagia sesuka hati, menyambut sedih dengan sendiri.
                Aku berlindung dengan ucapanku yang kau sebut do’a, aku terkurung dalam angkuhku yang kau sebut perintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...