Langit menutup cerahnya dengan
tepat. Arlojiku cepat berbunyi. Karna hanya itu yang satu-satunya hasil dari
fungsi. Segera saja aku lari menuju kran air yang dengan sendirinya terbuka dan
debit airnya segera ku ketahui. Aku tutupi semua yang seharusnya tidak layak
dipandang oleh mata lelaki. Aku kembali membisik bumi, yang diberi pengertian
oleh langit. Suaraku jauh dari lantang, tetapi sudah sangat dipercaya Sang
Pencipta akan mendengar.
Hari
tidak lagi sunyi karena terisi suara alam dan degub jantungku sendiri. Sudah
lebih dari 2 tahun tidak ada jejak langkah yang mendekati, kecuali pengantar
makanan setiap pagi yang menyiapkan tiga porsi makan sekaligus untuk dia tidak
kembali lagi hari ini.
Jariku
mengetuk jati yang keras berbunyi. Tidak ada yang menyaut ataupun yang
mengarahkanku untuk berhenti. Aku seakan menggenggam duniaku sendiri. Yang aku
buat berdasarkan ramah yang mengarah pada amarah. Aku benci siapa saja. Kecuali
Sang Pencipta dan ciptaannya selain manusia.
Langkahku
berjalan menyusuri rumah ini. Dengan tangan yang meraba kanan dan kiri. Dengan
rasa aman yang hanya bisa di Aminkan. Tidak ada satupun rasa takut untuk berada
lebih lama disini. Bahkan ketika semua orang sibuk menggenggam yang tidak akan
kekal.
Siapa perduli? Aku berjalan
dengan kakiku sendiri, arah yang aku ciptakan bisa siapa saja melewati, tapi
perasaan ini hanya aku yang menikmati. Tidak akan ada sepasang telinga yang
mampu mendengar gemuruh ini. Tidak akan ada sebuah hati yang mampu mengerti
sulitnya menjadi yang seperti aku ini.
Dikira
hanya makan, supaya hidup. Padahal,
tanpa makan pun akan tetap hidup. Tapi lemas, tak berdaya menanggung semua yang
seharusnya sesama. Untung saja mulutku masih mau menampungnya untuk dicerna.
Tega sekali
memang, menantang hubungan supaya kekal. Jatuhnya, tidak akan ya seperti ini jadinya. Karna semesta
telah merubah hati sucinya. Menjadi tidak mampu ku kenali lagi, menjadi tidak
pantas ku agungkan lagi, menjadi hanyut dalam sungai mati.
Aku kini telah menjadi diriku sendiri, yang tidak mau
melihat wajahmu lagi. Bukan tidak mau, tapi memang sudah tidak mampu. Hanya
tersisa telinga yang masih mengharapkan suaramu, tapi tidak lagi. Percuma,
pecundang. Ini kan, yang kau mau? Supaya aku tidak bisa terlanjur semuanya
lagi. Pikirmu sayang akan hilang ketika aku tidak melihatmu? Dasar. Dewasalah,
malu dengan matamu yang kaya akan semesta.
Kalau jalan
yang pernah kita lalui memang Kau takdirkan untukku berjalan sendiri hari ini, yakinkan
aku untuk tetap berada di Bumi. Meskipun hamba-Mu tidak ada yang bisa kupercaya
lagi. Semuanya sama saja, sama-sama datang dan pergi. Menginginkan bahagia
sesuka hati, menyambut sedih dengan sendiri.
Aku
berlindung dengan ucapanku yang kau sebut do’a, aku terkurung dalam angkuhku
yang kau sebut perintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar