Kalau pertemuan adalah obat yang beresiko, tetap saja berada
disana. Tetap jauh dalam nyata, dekat dengan dunia maya. Tetap merasakan peluk,
meskipun sangat pelik. Kalau kepulanganmu, akan kembali lagi, tak
perlu menemuiku lagi.
“Kenapa setiap kali menunggu kereta, kamu seperti ini?Kemarin kan kita sudah puya banyak waktu” Tanyanya dalam hening.
Kadang memang perlu, engga menjawab apapun yang dia mau.
Karna sebenernya ia sudah tau, mauku apa. Emangnya gak cape denger jawaban yang
sama?
“minum dulu ya? Kamu
cape dari tadi diem terus kan?”
Gimana sih ini anak orang? Emang gak bisa ya ngerti sedikit?
Yang diucapkan selalu saja terdengar menyebalkan. Tidak ada permasalahan, tapi
harus diselesaikan.
“Sebenarnya mau kamu apa? Kita membuat semesta
bersama atau mengaliri semesta yang begini saja? Aku juga punya kehidupan yang harus berjalan.”
Sekarang, setelah aku menjawabnya dia yang mematung. Memang
benar, seharusnya aku dirumah saja dan tidak mengantar dia kesini. Kalau seperti
ini, mana rumah yang sebenarnya? Aku, atau yang akan dituju?
“Sana! keretamu sudah
sampai”
“tidak akan pegi kalau
kamu masih seperti ini”
“iyaa”
“iya apa?”
“engga tau”
“selesaikan dulu”
“kitanya?”
Dia menatapku dengan penuh keraguan seakan yakin, aku tidak
akan baik-baik saja setelahnya.
“jangan bercanda”
“jangan buang-buang
waktu. Cepet pulang”
“rumahku disini”
“aku bukan rumahmu
lagi.” Aku berdegas pergi. Karna dua menit lagi keretanya berangkat, dan
dia masih menggenggam tanganku penuh harap. Jadi, kalau aku tidak melakukan ini
dia akan ketinggalan kereta. Eh, tapi bukanya itu yang aku mau? Untuk dia tetap
disini?
Ternyata Yang terbang bebas menuju langit, tidak hanya
burung. Lalu yang mati dan terjatuh, tidak hanya daun kering. Tapi juga
perasaan yang sudah dibawa kemana-mana tapi masih mau rumah yang sama.
Sekarang, aku membeli es krim bukan untuk menikmati rasa
stroberi. Hanya menunggunya mencair.
Tidak tau, akan ada peperangan bertema apalagi malam ini. Ponsel
kubiarkan mati tak terisi, biar saja dia mencari. Memangnya dia tidak pernah
merasakan ini? Memangnya aku saja ya yang menginginkannya disini? Padahal kan
tinggal menginap di hotel dua sampai tiga hari lagi untuk membuatku tenang,
tapi kenapa dia tidak melakukan itu?
Saling menyanjung diri sendiri. Membaru dengan keadaan yang
selalu tidak pernah setuju. Perihal menyayangi, tidak melulu tentang pelukan
setiap hari, ya memang. Tapi kok mau, terus-terusan membuat kerinduan padahal
kalau dekat akan sama-sama nyaman?
Semua orang yang sempat sepasang, pasti merasa hilang. Menjadi
sendiri-sendiri setelah selama itu mengukir cerita bersama. Hanya karna
keegoisan, semuanya selesai.
Sekarang terbukti, harapan-harapan kita untuk hidup bersama
telah mati. Selesai dan membumi. Tidak adalagi malam pergantian tahun yang
menyenangkan. Semuanya akan terasa biasa, tidak tampak dalam ruang. Hilang, tak
terekam.
“kalau kita selesai dan
sedih yang berkepanjangan itu membuat kamu lebih dulu menemukan orang lain
lebih dulu. Mungkin aku tidak akan bisa memafkan diri sendiri”
“kok masih disini..
keretamu?”
“masih ada jadwal
keberangkatan besok”
“mm”
“es krim stroberinya
akan menangis, kalau hanya didiamkan mencair. Kamu juga nanti pasti menyesal
tidak bisa menceritakan rasa manisnya kepadaku.. nih, dimakan sekarang. Jangan ditungguin
mencair lagi” katanya sambil meletakan es krim di depanku.
“kita kan sudah
selesai?”
“kan aku belum
menyetujui”
“tapi kan tadi aku
sudah mengatakannya”
“kita bersama saja
saling setuju, masa untuk berpisah hanya dari sebelah pihak? Sudah, kamu masih
punya waktu 1 hari untuk memeluku. Mau melihat Si Cantik dimana, sayangku?”
“disitu!!!” kataku
sambil menunjuk jembatan penyebrangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar