Sabtu, 22 Agustus 2020

Dialog Lirih


Kalau pertemuan adalah obat yang beresiko, tetap saja berada disana. Tetap jauh dalam nyata, dekat dengan dunia maya. Tetap merasakan peluk, meskipun sangat pelik. Kalau kepulanganmu, akan kembali lagi, tak perlu menemuiku lagi.

“Kenapa setiap kali menunggu kereta, kamu seperti ini?Kemarin kan kita sudah puya banyak waktu” Tanyanya dalam hening.

Kadang memang perlu, engga menjawab apapun yang dia mau. Karna sebenernya ia sudah tau, mauku apa. Emangnya gak cape denger jawaban yang sama?

“minum dulu ya? Kamu cape dari tadi diem terus kan?”

Gimana sih ini anak orang? Emang gak bisa ya ngerti sedikit? Yang diucapkan selalu saja terdengar menyebalkan. Tidak ada permasalahan, tapi harus diselesaikan.

“Sebenarnya mau kamu apa? Kita membuat semesta bersama atau mengaliri semesta yang begini saja? Aku juga punya kehidupan yang harus berjalan.”

Sekarang, setelah aku menjawabnya dia yang mematung. Memang benar, seharusnya aku dirumah saja dan tidak mengantar dia kesini. Kalau seperti ini, mana rumah yang sebenarnya? Aku, atau yang akan dituju?

“Sana! keretamu sudah sampai”

“tidak akan pegi kalau kamu masih seperti ini”

“iyaa”

“iya apa?”

“engga tau”

“selesaikan dulu”

“kitanya?”

Dia menatapku dengan penuh keraguan seakan yakin, aku tidak akan baik-baik saja setelahnya.

“jangan bercanda”

“jangan buang-buang waktu. Cepet pulang”

“rumahku disini”

“aku bukan rumahmu lagi.” Aku berdegas pergi. Karna dua menit lagi keretanya berangkat, dan dia masih menggenggam tanganku penuh harap. Jadi, kalau aku tidak melakukan ini dia akan ketinggalan kereta. Eh, tapi bukanya itu yang aku mau? Untuk dia tetap disini?

Ternyata Yang terbang bebas menuju langit, tidak hanya burung. Lalu yang mati dan terjatuh, tidak hanya daun kering. Tapi juga perasaan yang sudah dibawa kemana-mana tapi masih mau rumah yang sama.

Sekarang, aku membeli es krim bukan untuk menikmati rasa stroberi. Hanya menunggunya mencair.

Tidak tau, akan ada peperangan bertema apalagi malam ini. Ponsel kubiarkan mati tak terisi, biar saja dia mencari. Memangnya dia tidak pernah merasakan ini? Memangnya aku saja ya yang menginginkannya disini? Padahal kan tinggal menginap di hotel dua sampai tiga hari lagi untuk membuatku tenang, tapi kenapa dia tidak melakukan itu?

Saling menyanjung diri sendiri. Membaru dengan keadaan yang selalu tidak pernah setuju. Perihal menyayangi, tidak melulu tentang pelukan setiap hari, ya memang. Tapi kok mau, terus-terusan membuat kerinduan padahal kalau dekat akan sama-sama nyaman?

Semua orang yang sempat sepasang, pasti merasa hilang. Menjadi sendiri-sendiri setelah selama itu mengukir cerita bersama. Hanya karna keegoisan, semuanya selesai.

Sekarang terbukti, harapan-harapan kita untuk hidup bersama telah mati. Selesai dan membumi. Tidak adalagi malam pergantian tahun yang menyenangkan. Semuanya akan terasa biasa, tidak tampak dalam ruang. Hilang, tak terekam.

“kalau kita selesai dan sedih yang berkepanjangan itu membuat kamu lebih dulu menemukan orang lain lebih dulu. Mungkin aku tidak akan bisa memafkan diri sendiri”

“kok masih disini.. keretamu?”

“masih ada jadwal keberangkatan besok”

“mm”

“es krim stroberinya akan menangis, kalau hanya didiamkan mencair. Kamu juga nanti pasti menyesal tidak bisa menceritakan rasa manisnya kepadaku.. nih, dimakan sekarang. Jangan ditungguin mencair lagi” katanya sambil meletakan es krim di depanku.

“kita kan sudah selesai?”

“kan aku belum menyetujui”

“tapi kan tadi aku sudah mengatakannya”

“kita bersama saja saling setuju, masa untuk berpisah hanya dari sebelah pihak? Sudah, kamu masih punya waktu 1 hari untuk memeluku. Mau melihat Si Cantik dimana, sayangku?”

“disitu!!!” kataku sambil menunjuk jembatan penyebrangan.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...