Minggu, 11 April 2021

Laut dan Kumpulan Sampahnya

 


Ini sepertinya akan menjadi suara laut kepada yang menikmatnya.

Pagi tadi saya berkunjung ke salah satu wisata yang sangat terkenal di daerah Brebes yakni Pantai Randusanga Indah. Tempat wisata ini menjadi andalan para warga Brebes karena biaya masuknya sangat terjangkau, hanya Rp. 4000 per orang. Pantai randusanga ini cukup terkenal karena menjadi salah satu wisata yang letaknya tidak jauh dari pusat kota Brebes.

Kedatangan saya kesana berniat ingin olahraga di tepi pantai, ditemani suara ombak dan sapaan mentari pagi. Namun ekspetasi saya dipatahkan ketika menginjakan kaki di depan lautan lepas. Terlihat sangat jelas dampak dari pencemaran laut. Sampah-sampah itu meramaikan tepi pantai. Ombak demi ombak yang datang itu membawa keramaian itu kembali.

Ada banyak kayu-kayu yang diseret ombak ke tepi pantai. Mulai dari ranting pohon kecil sampai batang pohon yang berukuran cukup besar. Entah dari mana kayu-kayu ini berasal. Namun keberadaannya sangat mengganggu pemandangan. Saya sempat mengabadikan beberapa foto yang menggambarkan suasana haru melihat kondisi laut saat ini.




 

 


Tidak hanya sampah kayu, saya juga menemui sampah plastik sekali pakai ikut meramaikan pantai. Salah satu sampah plastik itu berasal dari brand kecantikan terkenal. Saya mencoba mendekati sampah-sampah itu dan mencoba mengambil salah satunya. Dari warnannya belum cukup pudar namun sebagian tulisannya sudah menghilang, seperti telah lama terombang-ambing di atas lautan. Plastik -plastik ini mungkin telah sampai ke tepi daratan, saya berinisiatif memulai memungutinya. Beberapa sampah plastik  saya ambil dari tepi pantai dan saya buang ke tempat sampah. Namun kelihatannya percuma saja. Hamparan luas pantai itu penuh dengan sampah dan manusia yang sedang sibuk bercengkrama. Namun sayang tidak semua manusia mempunyai rasa kemanusiaan. Sebagian dari kita hanya mengeluh mengapa pantai sekarang kotor? Lalu meninggalkannya tanpa ada upaya membersihkan.

                                                    


Kejadian seperti ini tidak hanya terjadi hari ini. Entah pemerintah daerah belum melihatnya atau memang sudah tau namun mengabaikannya. Karena sama sekali tidak ada petugas kebersihan yang ditugaskan untuk membersihkan area pantai.

Hal ini sangat disayangkan karena bagaimana pun laut telah mencukupi kebutuhan baik itu pangan maupun mata pencaharian. Namun dalam perlakuan, manusia-manusia cepat lalai dengan apa yang sudah mereka lakukan. Siapa lagi yang menghasilkan sampah sebanyak itu, jika bukan manusia? Siapa lagi yang meramaikan pantai, jika bukan manusia?

Namun, dari kumpulan sampah dan keresahan ada satu mutiara dibalik tumpukannya. Seorang Ibu dengan pakaian tertutup menyusuri pantai dan mencari mengumpulkan sampah plastic yang mungkin nantinya akan dijual. Membiarkannya memenuhi kantong yang dia sampirkan di bahunya. Potretnya sungguh memilukan di tengah keresahan manusia terselip rejeki untuk manusia lainnya.

 



Melangkah Untuk Hidup


Abim memainkan ponselnya dan melihat angka kenaikan COVID-19 di Indonesia melejit pesat. Abim membaca beberapa kabar dari perusahaan-perusahaan besar yang terancam gulung tikar terdampak dari COVID-19.

Sementara Abim masih bersama rasa tenang, karena ia merasa sudah bekerja dengan cukup baik di perusahaan. Ia adalah karyawan kesayangan perusahaan, banyak klien-klien yang sangat mengapresiasi jasa Abim. Maka dari itu Abim berpikir badai itu tidak akan menerpanya. Sekalipun ia terkena, pondasinya sudah kuat jadi tidak akan mudah roboh.

Ia harus berdegas menuju kantor untuk memperoleh buah tangan bahagia. Segera ia kenakan masker untuk diijinkan  masuk kantor, bukan untuk penjagaan diri.

“Abim berangkat dulu ya Bu, Assalamualaikum!”

Di meja makan dengan empat buah kursi yang satunya tidak pernah terisi itu, Abim meninggalkan wanita paruh baya yang melangsungkan perannya sebagai Ibu yang merangkap Bapak. Ia melayani Lingga, adik Abim yang masih duduk di kelas 4 Sekola Dasar.

“Ibu, Lingga  boleh bawa satu roti lagi? Biasanya Reza berangkat sekolah belum makan” Ucap Lingga setelah menghabiskan segelas susunya.

“Boleh sayang, Ibu bawakan 2 ya. Nanti Lingga makan lagi sama Reza di sekolah” Jika kebaikan sudah dijadikan akar, maka buah dan daunnya akan tumbuh lebih baik.

Hari ini Abim harus pergi ke kantor cabang, dan kali ini Abim akan menerima gaji bulanan. Ia bekerja sebagai Tour Guide di Jogjakarta. Terlalu banyak cinta di Jogjakarta, sehingga Abim ingin membuat semua orang mencintainya.

Abim mengambil secarik kertas yang diselipkan di dompetnya bulan ini “Sepatu Lingga, mukenah Ibu, lampu kamar mandi dan bunga untuk Bapak” mengingatnya, lalu memasukan kertas itu lagi.

Abim memang selalu menyusun rencana, uangnya akan dibelikan untuk apa. Dan Abim selalu mengutamakan kebutuhan orang yang disayang. Karena bagi Abim, melengkapi kebutuhan mereka itu adalah kebutuhan Abim.

Sesampainya di kantor mungil itu, Abim satu-satunya orang yang masih membawa perasaan senang. Sedangkan semuanya terlihat suram dibalik masker-masker itu, sembari memegang amplop coklat yang nampak lebih tipis dari biasanya. Abim bertanya-tanya, memangnya ada apa? Bukannya ini hari bahagia? Ia masih menyapa teman-temannya dengan tawa yang mekar, tanpa beban, penuh kebahagiaan.

Tawa Abim dipatahkan setelah ia mendengar keputusan dari atasan kalau Abim terkena PHK, begitu juga karyawan yang lain. Sekarang Abim menemukan jawaban sendiri, tanpa perlu bertanya dengan muka-muka suram dibalik masker itu. Perusahaan pariwisata itu terancam bangkrut karena terdampak pandemi, tidak adalagi rombongan klien yang mengantri, bahkan mencari satu untuk diberi gratis saja tidak ada yang mau.

Ternyata pondasi itu memang kuat pada diri Abim, tapi pondasinya lebih memilih untuk hancur jadi Abim tidak tau harus berdiri dimana lagi. Setiap manusia sedang bersembunyi dibalik tamengnya masing-masing. Tempat terindah pun kini rendah, karena COVID 19.

“Pak, bulan ini Abim masih bisa membuat harum makam Bapak” Kata Abim di depan batu nisan Bapak.

Jika yang akan disampaikan akan menyakitkan, bukankan lebih baik untuk diam? Tapi tidak untuk Abim. Dia ingin menggunakan mulut untuk sebaik-baiknya menyampaikan kabar buruk kepada Ibu. Di meja makan Ibu menatap anaknya, dan mengusap kepalanya. Tanpa kalimat Tanya, Ibu mampu mengerti anaknya sedang tidak baik-baik saja.

Abim berlutut di depan Ibu. Ibu tidak penasaran dengan apa penyebabnya, yang Ibu kuatkan sekarang bagaimana membuat anaknya tenang. Ibu mengangkat tubuh anaknya pelan, mengangkat kepala Abim, membiarkan anaknya mengungkap laranya.

“Bu, Gaji Abim dipotong 50% dan hanya sisa ini. Lainnya sudah Abim hadiahkan untuk Ibu, Ayah, dan Lingga Bu” Abim memberikan sisa uangnya.

“Iya Nak, sudah menjenguk rumah Bapak?” Ibu tidak ada berhenti mengelus kepala sang anak.

“Sudah Bu, Bapak mewangi lagi. ini lampu kamar mandi.. supaya Lingga tidak ketakutan lagi” katanya sembari memberikan penerang.

“Iya Nak, terimakasih.”

“Bu, Abim di PHK. Abim tidak berpengsasilan lagi Bu. Maafkan Abim, Abim belum bisa menepati janji dengan Bapak untuk menggantikan peran beliau” Abim tidak lagi mampu menahan tangisnya. Bahunya kini bergetar kencang, seakan banyak beban yang minta diselesaikan.

Keesokan harinya Abim hanya berteman dengan kasur. Ia tidak menyambut matahari, bahkan sinarnya saja masih dilarang masuk karena gorden kamarnya pun masih tertutup rapat padahal waktu menunjukan pukul 10 siang.

“Abim, masakan Ibu gak enak ya? Makanya kamu belum sarapan?” Kata Ibu di ambang pintu.

“Ibu, bukan begitu” Abim menggelengkan kepala, matanya sembab.

“Abim, hidup itu  berjalan. Kamu jangan takut untuk tidak menemukan jalan lain” Dekat sang Ibu.

“Tapi Bu, di perjalan hidup sekarang Abim merasa tidak kemana-kemana, Abim merasa tidak berguna apa-apa” suara Abim terdengar tidak jelas karena ia menarik bantal untuk menutupi wajahnya.

“Abim bisa mencoba hal-hal baru, dari situ Abim akan menemukan tanggung jawab dan pengalaman baru.”

“Tapi Abim sudah terlanjur hidup tanpa arah mata angin, Bu”

Baru satu hari tidak bekerja, Abim sepesimis itu soal hidup padahal jangka panjang. Lalu tiba saatnya mengekang.Memaksa dalam ruang, berada dalam liang.Sembunyi dalam doa terindah penyembuhan. Abim menulis perasaannya pada secarik kertas yang diterbangkan menuju awan. Manusia – manusia sedang kecewa, harapannya awal tahunnya kehilangan nyawa.

COVID 19 memang tidak hanya membunuh manusia, tapi juga harapannya. Sekarang semua disibukan dengan masker, cuci tangan dan jarak. Ulah sepasang tangan manusia yang tidak dijaga, mematikan semuanya.

Saat semua berubah arah jalannya, semangat adalah persiapan untuk memecahkannya. Tapi tidak semua bisa melakukannya.

“Abim sudah tidak berarti lagi ya Bu?”

“Bim, jangankan manusia. Bahkan satu pohon saja berarti besar untuk beberapa nyawa. Manusia yang menunggu kematangan buahnya, membutuhkan oksigennya, hewan-hewan sebagai tempat berlindungnya, dan pohon itu menjadi perantara terciptanya keistimewaan. Yang tidak semua bisa dijabarkan, yang semua tidak dimengerti.”

“Lalu sekarang, Abim harus apa Bu?”

“Abim harus bersyukur”

“Bersyukur gak akan bikin perut kenyang, Bu”

“Abim, kapan terakhir kali Abim bicara berdua menikmati teh hangat di pagi mendung bersama Ibu?”

Ya. Abim memang tidak pernah mempunyai waktu banyak untuk sekedar duduk bersantai di rumah. Waktunya habis dimakan jam kerja. Abim terlalu sering melihat surga semesta, sehingga ia sulit memiliki waktu untuk surganya sendiri, Ibu.

“Sebelum Abim mendapatkan pekerjaan, Bu?”

“Iya, dulu kita selalu bertukar cerita bagaimana Bapak sehebat itu”

“Ibu, jangan Bapak..”

“Bim, yang tidak ada bukan berarti tidak boleh lagi dibahas, ini adalah upaya mengenang”

“Dulu Bapak pernah tidak gagal, Bu?”

“Semua manusia pasti pernah Bim, tapi pilihannya mau berhenti gagal dengan cara bangkit, atau terus menangisi kegagalannya”

“Dulu Bapak berjualan cakwe dan gerobaknya hancur karena kayu yang dibeli terlalu rapuh. Padahal Bapak sangat sayang dengan gerobaknya. Setiap pagi selalu dibersihi”

“Lalu Bapak berjualan dengan apa Bu?”

“Bapak akhirnya berjualan cakwe menggunakan sepeda tua miliknya saat masih remaja. Dan saat itu juga, dagangan Bapak semakin laris karena Bapak mengayuh sepeda dengan senang sampai ke desa sebrang”

“Sampai-sampai Bapak buka cabang. Ya meskipun yang jaga di cabang Ibu sih” Ibu tersenyum sangat tulus, seperti tergambar memori indah dengan sang pujaan hatinya.

“Masih sama berjualan cakwe ya Bu”

“Iya Bim, itu artinya kehilangan satu yang dijaga atau disukai itu tidak apa-apa. Nantinya akan digantikan dengan yang lebih baik”

“Jangan takut rejeki kita mati Nak, sudah ada jalannya sendiri-sendiri. Pandemi yang banyak dikeluhkan ini juga membawa arti.”

**

“Gini hasilnya, menurut Ibu gimana?” Abim menunjukan hasil fotonya ke Ibu.

“Lho, bagus sekali hasilnya.. ini ternyata banyak temen-temen kamu yang masih inget sama cakwe Bapak ya Bim”

“Pasti inget lah Bu, dulu kan setiap temen Abim yang beli pasti dikasih bonus sama Bapak”

“Alhamdulillah, awal yang baik Bim.. orderannya melimpah. Tangan Ibu sampe pegel bikin adonannya”

“Yaudah, Ibu istirahat ya, biar Abim yang goreng sama bungkusin cakwenya.”

Abim menemukan pengalaman baru. Membeli minyak goreng dan tepung terigu dalam jumlah banyak, pusing mencatat orderan yang begitu banyak tapi semuanya dilakukan dengan hati yang senang karena Ibu terlibat di dalamnya.

Sekarang Abim percaya, keindahan tidak hanya didapatkan ketika liburan atau mengantar turis yang cantk keliling Jogjakarta. Berjualan cakwe bersama Ibu adalah bukti bahwa mereka masih bisa bergerak dengan keterbatasan pandemi. Abim dan Ibu saling menguatkan, kalau semua yang kesusahan pasti menemukan jalan. Abim menemukan perannya yang baru berjualan cakwe online resep Bapak. 

 

Senin, 05 April 2021

Warta Untuk Genta

https://tulisanars.blogspot.com/2021/04/genta.html Dia adalah bagian pertamaku, baca ini dulu sebelum kamu membacanya sampai akhir. 

Genta, Genta... 

Hidup dengan badan sekekar badanmu ini seharusnya kamu merasa lebih mudah menjalaninya. Kamu tidak kesusahan mengambil buku di rak tertinggi, kamu mampu menggapai buah mangga tanpa harus memanjat pohonnya, kamu mampu seimbang dengan daun tertinggi pohon bunga matahari

Tapi pikrianmu sama saja. Dari kau berukulan sekerdil jari kelingking juga sudah pernah mempermasalahkan itu. Tapi Genta, ingat tidak? Semasa hidupmu senang ditopang tangan kedua orang tua, bukan uang yang bisa kau hitung jumlahnya. Seharusnya kamu bersyukur Genta, dua surgamu masih bisa memelukmu

Surgaku bukan memeluk, justru meliukkan langkah yang sudah mereka bawa dewasa. Genta, jika kasih sayangmu terhadap uang di dalam dompetmu itu berlebihan, ia memang tidak akan hilang, namun ia juga tidak akan bertambah. Itu artinya ia tidak bisa membahagiakanmu, iya, uangmu.

Genta, memangnya uang adalah oksigen yang tak kau punya kau akan mati? Tidak Genta. Manusia tumbuh sebagai orang berpikir untuk terus hidup, meskipun nantinya kau menyangkal dengan "Ya, Aluna. Pikiran manusia untuk terus hidup itu ada, uang juga harus selalu ada untuk menyeimbangkannya" Si keras kepala. Batu saja kalah kerasnya dengan egomu, Genta.

Coba ku tanya, kenapa kau selalu memikirkan 10 tahun kedepan padahal hidupmu tidak baik-baik saja hari ini? Pasti kau menjawab “ya karna aku mau” Genta, hidup 10 tahun kedepan akan indah rasanya jika kau mensyukuri yang kau genggam hari ini.

“Tanganmu?”

“GENTAAA!!”

“Aluna, lihat langit”

“Ya? Ada apa genta si keras kepala?”

“Bulan malu”

“Bulan dapet antrian kedua setelah Awan, Genta”

“Bulan malu, namamu jauh lebih indah dari pada cahayanya”

“Ta, justru namaku diambil darinya”

“Luna sama dengan bulan?”

“Ya, Ayahku mengatakan seperti itu sebelum ia mempoak porandakan surgaku”

“Mengapa kau tidak di atas sana?”

“Nanti kamu bisa gila, bicara sendirian disini.”

Genta, tidak ada yang lebih menjamin hidupmu. Uang sekalipun tidak Genta. Kau tak bisa menganggap uang sebagai Tuan. Ia tidak bernyawa, ia hanya menumpang pada nyawa-nyawa yang membutuhkannya.

Pernah kau mengatakan di sudut taman, saat melihat dua wanita indah berlarian. Kemudian kedua orang tuanya datang, mereka diikuti 1 orang yang mengalungkan kamera di lehernya itu.

“Anak kecil itu bisa mengabadikan masa kecilnya karena orang tuanya punya uang”

“Barangkali mereka mengabadikan karena jarang bertemu?”

“Tidak mungkin orang tuanya berlama-lama rindu kepada anak selucu mereka”

Hahaha. Kau sudah tertawa hari ini, Genta?

Ya. Ya. Ya. Kau perlu itu, tertawakan dulu hidupmu. Lalu kau nilai kehidupan orang lain dengan dua matamu yang segar.

Teori-teori yang kau buat saat hidup itu justru akan membuatmu mati dengan harapan-harapan. Langit cerah menurutmu hanya mereka yang mempunyai tempat khusus untuk menyimpan uang sebanyak-banyaknya, tidak Genta. Berhenti memikirkan kapan kau akan bahagia, pikirkan soal kakimu yang sudah berjalan sejauh ini.

“Boleh ku minta satu?”

“Apa, Aluna?”

“Berhenti merendahkan dirimu, Genta. Kamu pantas terbang tinggi”

“Aku tak punya sayap, Aluna.. kau mau aku jatuh ke dasar jurang lalu dimakan rayap?”

“Kamu mengucap sayap itu setiap hari, Genta”

“Yang mana?”

“Doa”

“Orang kaya itu hidupnya serba enak Lun” Lagi lagi si manusia keras kepala berkata hal yang sama.

Hadeh, Genta yang kau pikir Brahmana itu mungkin Sudra bahagianya.

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...