Abim
memainkan ponselnya dan melihat angka kenaikan COVID-19 di Indonesia melejit
pesat. Abim membaca beberapa kabar dari perusahaan-perusahaan besar yang
terancam gulung tikar terdampak dari COVID-19.
Sementara
Abim masih bersama rasa tenang, karena ia merasa sudah bekerja dengan cukup baik
di perusahaan. Ia adalah karyawan kesayangan perusahaan, banyak klien-klien
yang sangat mengapresiasi jasa Abim. Maka dari itu Abim berpikir badai itu
tidak akan menerpanya. Sekalipun ia terkena, pondasinya sudah kuat jadi tidak
akan mudah roboh.
Ia
harus berdegas menuju kantor untuk memperoleh buah tangan bahagia. Segera ia
kenakan masker untuk diijinkan masuk
kantor, bukan untuk penjagaan diri.
“Abim berangkat dulu ya
Bu, Assalamualaikum!”
Di
meja makan dengan empat buah kursi yang satunya tidak pernah terisi itu, Abim
meninggalkan wanita paruh baya yang melangsungkan perannya sebagai Ibu yang
merangkap Bapak. Ia melayani Lingga, adik Abim yang masih duduk di kelas 4
Sekola Dasar.
“Ibu, Lingga boleh bawa satu roti lagi? Biasanya Reza
berangkat sekolah belum makan” Ucap Lingga setelah menghabiskan segelas
susunya.
“Boleh sayang, Ibu
bawakan 2 ya. Nanti Lingga makan lagi sama Reza di sekolah” Jika kebaikan sudah
dijadikan akar, maka buah dan daunnya akan tumbuh lebih baik.
Hari
ini Abim harus pergi ke kantor cabang, dan kali ini Abim akan menerima gaji
bulanan. Ia bekerja sebagai Tour Guide di Jogjakarta. Terlalu banyak cinta di
Jogjakarta, sehingga Abim ingin membuat semua orang mencintainya.
Abim
mengambil secarik kertas yang diselipkan di dompetnya bulan ini “Sepatu Lingga,
mukenah Ibu, lampu kamar mandi dan bunga untuk Bapak” mengingatnya, lalu
memasukan kertas itu lagi.
Abim
memang selalu menyusun rencana, uangnya akan dibelikan untuk apa. Dan Abim
selalu mengutamakan kebutuhan orang yang disayang. Karena bagi Abim, melengkapi
kebutuhan mereka itu adalah kebutuhan Abim.
Sesampainya
di kantor mungil itu, Abim satu-satunya orang yang masih membawa perasaan
senang. Sedangkan semuanya terlihat suram dibalik masker-masker itu, sembari
memegang amplop coklat yang nampak lebih tipis dari biasanya. Abim
bertanya-tanya, memangnya ada apa? Bukannya ini hari bahagia? Ia masih menyapa
teman-temannya dengan tawa yang mekar, tanpa beban, penuh kebahagiaan.
Tawa
Abim dipatahkan setelah ia mendengar keputusan dari atasan kalau Abim terkena
PHK, begitu juga karyawan yang lain. Sekarang Abim menemukan jawaban sendiri,
tanpa perlu bertanya dengan muka-muka suram dibalik masker itu. Perusahaan
pariwisata itu terancam bangkrut karena terdampak pandemi, tidak adalagi
rombongan klien yang mengantri, bahkan mencari satu untuk diberi gratis saja tidak
ada yang mau.
Ternyata
pondasi itu memang kuat pada diri Abim, tapi pondasinya lebih memilih untuk
hancur jadi Abim tidak tau harus berdiri dimana lagi. Setiap manusia sedang
bersembunyi dibalik tamengnya masing-masing. Tempat terindah pun kini rendah,
karena COVID 19.
“Pak, bulan ini Abim
masih bisa membuat harum makam Bapak” Kata Abim di depan batu nisan Bapak.
Jika
yang akan disampaikan akan menyakitkan, bukankan lebih baik untuk diam? Tapi
tidak untuk Abim. Dia ingin menggunakan mulut untuk sebaik-baiknya menyampaikan
kabar buruk kepada Ibu. Di meja makan Ibu menatap anaknya, dan mengusap
kepalanya. Tanpa kalimat Tanya, Ibu mampu mengerti anaknya sedang tidak
baik-baik saja.
Abim
berlutut di depan Ibu. Ibu tidak penasaran dengan apa penyebabnya, yang Ibu
kuatkan sekarang bagaimana membuat anaknya tenang. Ibu mengangkat tubuh anaknya
pelan, mengangkat kepala Abim, membiarkan anaknya mengungkap laranya.
“Bu, Gaji Abim dipotong
50% dan hanya sisa ini. Lainnya sudah Abim hadiahkan untuk Ibu, Ayah, dan
Lingga Bu” Abim memberikan sisa uangnya.
“Iya Nak, sudah
menjenguk rumah Bapak?” Ibu tidak ada berhenti mengelus kepala sang anak.
“Sudah Bu, Bapak mewangi
lagi. ini lampu kamar mandi.. supaya Lingga tidak ketakutan lagi” katanya
sembari memberikan penerang.
“Iya Nak, terimakasih.”
“Bu, Abim di PHK. Abim
tidak berpengsasilan lagi Bu. Maafkan Abim, Abim belum bisa menepati janji
dengan Bapak untuk menggantikan peran beliau” Abim tidak lagi mampu menahan
tangisnya. Bahunya kini bergetar kencang, seakan banyak beban yang minta
diselesaikan.
Keesokan
harinya Abim hanya berteman dengan kasur. Ia tidak menyambut matahari, bahkan
sinarnya saja masih dilarang masuk karena gorden kamarnya pun masih tertutup
rapat padahal waktu menunjukan pukul 10 siang.
“Abim, masakan Ibu gak
enak ya? Makanya kamu belum sarapan?” Kata Ibu di ambang pintu.
“Ibu, bukan begitu”
Abim menggelengkan kepala, matanya sembab.
“Abim, hidup itu berjalan. Kamu jangan takut untuk tidak
menemukan jalan lain” Dekat sang Ibu.
“Tapi Bu, di perjalan
hidup sekarang Abim merasa tidak kemana-kemana, Abim merasa tidak berguna
apa-apa” suara Abim terdengar tidak jelas karena ia menarik bantal untuk
menutupi wajahnya.
“Abim bisa mencoba
hal-hal baru, dari situ Abim akan menemukan tanggung jawab dan pengalaman baru.”
“Tapi Abim sudah
terlanjur hidup tanpa arah mata angin, Bu”
Baru
satu hari tidak bekerja, Abim sepesimis itu soal hidup padahal jangka panjang. Lalu tiba saatnya mengekang.Memaksa dalam ruang, berada dalam
liang.Sembunyi dalam doa terindah penyembuhan. Abim menulis perasaannya
pada secarik kertas yang diterbangkan menuju awan. Manusia
– manusia sedang kecewa, harapannya awal tahunnya kehilangan nyawa.
COVID
19 memang tidak hanya membunuh manusia, tapi juga harapannya. Sekarang semua
disibukan dengan masker, cuci tangan dan jarak. Ulah sepasang tangan manusia
yang tidak dijaga, mematikan semuanya.
Saat
semua berubah arah jalannya, semangat adalah persiapan untuk memecahkannya. Tapi
tidak semua bisa melakukannya.
“Abim sudah tidak
berarti lagi ya Bu?”
“Bim, jangankan
manusia. Bahkan satu pohon saja berarti besar untuk beberapa nyawa. Manusia
yang menunggu kematangan buahnya, membutuhkan oksigennya, hewan-hewan sebagai
tempat berlindungnya, dan pohon itu menjadi perantara terciptanya keistimewaan.
Yang tidak semua bisa dijabarkan, yang semua tidak dimengerti.”
“Lalu sekarang, Abim
harus apa Bu?”
“Abim harus bersyukur”
“Bersyukur gak akan
bikin perut kenyang, Bu”
“Abim, kapan terakhir
kali Abim bicara berdua menikmati teh hangat di pagi mendung bersama Ibu?”
Ya.
Abim memang tidak pernah mempunyai waktu banyak untuk sekedar duduk bersantai
di rumah. Waktunya habis dimakan jam kerja. Abim terlalu sering melihat surga semesta,
sehingga ia sulit memiliki waktu untuk surganya sendiri, Ibu.
“Sebelum Abim mendapatkan
pekerjaan, Bu?”
“Iya, dulu kita selalu bertukar
cerita bagaimana Bapak sehebat itu”
“Ibu, jangan Bapak..”
“Bim, yang tidak ada
bukan berarti tidak boleh lagi dibahas, ini adalah upaya mengenang”
“Dulu Bapak pernah tidak
gagal, Bu?”
“Semua manusia pasti
pernah Bim, tapi pilihannya mau berhenti gagal dengan cara bangkit, atau terus
menangisi kegagalannya”
“Dulu Bapak berjualan
cakwe dan gerobaknya hancur karena kayu yang dibeli terlalu rapuh. Padahal
Bapak sangat sayang dengan gerobaknya. Setiap pagi selalu dibersihi”
“Lalu Bapak berjualan
dengan apa Bu?”
“Bapak akhirnya berjualan
cakwe menggunakan sepeda tua miliknya saat masih remaja. Dan saat itu juga,
dagangan Bapak semakin laris karena Bapak mengayuh sepeda dengan senang sampai
ke desa sebrang”
“Sampai-sampai Bapak
buka cabang. Ya meskipun yang jaga di cabang Ibu sih” Ibu tersenyum sangat
tulus, seperti tergambar memori indah dengan sang pujaan hatinya.
“Masih sama berjualan
cakwe ya Bu”
“Iya Bim, itu artinya
kehilangan satu yang dijaga atau disukai itu tidak apa-apa. Nantinya akan
digantikan dengan yang lebih baik”
“Jangan takut rejeki
kita mati Nak, sudah ada jalannya sendiri-sendiri. Pandemi yang banyak
dikeluhkan ini juga membawa arti.”
**
“Gini hasilnya, menurut
Ibu gimana?” Abim menunjukan hasil fotonya ke Ibu.
“Lho, bagus sekali
hasilnya.. ini ternyata banyak temen-temen kamu yang masih inget sama cakwe
Bapak ya Bim”
“Pasti inget lah Bu,
dulu kan setiap temen Abim yang beli pasti dikasih bonus sama Bapak”
“Alhamdulillah, awal
yang baik Bim.. orderannya melimpah. Tangan Ibu sampe pegel bikin adonannya”
“Yaudah, Ibu istirahat
ya, biar Abim yang goreng sama bungkusin cakwenya.”
Abim
menemukan pengalaman baru. Membeli minyak goreng dan tepung terigu dalam jumlah
banyak, pusing mencatat orderan yang begitu banyak tapi semuanya dilakukan
dengan hati yang senang karena Ibu terlibat di dalamnya.
Sekarang Abim percaya, keindahan tidak hanya didapatkan ketika liburan atau mengantar turis yang cantk keliling Jogjakarta. Berjualan cakwe bersama Ibu adalah bukti bahwa mereka masih bisa bergerak dengan keterbatasan pandemi. Abim dan Ibu saling menguatkan, kalau semua yang kesusahan pasti menemukan jalan. Abim menemukan perannya yang baru berjualan cakwe online resep Bapak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar