Minggu, 11 April 2021

Melangkah Untuk Hidup


Abim memainkan ponselnya dan melihat angka kenaikan COVID-19 di Indonesia melejit pesat. Abim membaca beberapa kabar dari perusahaan-perusahaan besar yang terancam gulung tikar terdampak dari COVID-19.

Sementara Abim masih bersama rasa tenang, karena ia merasa sudah bekerja dengan cukup baik di perusahaan. Ia adalah karyawan kesayangan perusahaan, banyak klien-klien yang sangat mengapresiasi jasa Abim. Maka dari itu Abim berpikir badai itu tidak akan menerpanya. Sekalipun ia terkena, pondasinya sudah kuat jadi tidak akan mudah roboh.

Ia harus berdegas menuju kantor untuk memperoleh buah tangan bahagia. Segera ia kenakan masker untuk diijinkan  masuk kantor, bukan untuk penjagaan diri.

“Abim berangkat dulu ya Bu, Assalamualaikum!”

Di meja makan dengan empat buah kursi yang satunya tidak pernah terisi itu, Abim meninggalkan wanita paruh baya yang melangsungkan perannya sebagai Ibu yang merangkap Bapak. Ia melayani Lingga, adik Abim yang masih duduk di kelas 4 Sekola Dasar.

“Ibu, Lingga  boleh bawa satu roti lagi? Biasanya Reza berangkat sekolah belum makan” Ucap Lingga setelah menghabiskan segelas susunya.

“Boleh sayang, Ibu bawakan 2 ya. Nanti Lingga makan lagi sama Reza di sekolah” Jika kebaikan sudah dijadikan akar, maka buah dan daunnya akan tumbuh lebih baik.

Hari ini Abim harus pergi ke kantor cabang, dan kali ini Abim akan menerima gaji bulanan. Ia bekerja sebagai Tour Guide di Jogjakarta. Terlalu banyak cinta di Jogjakarta, sehingga Abim ingin membuat semua orang mencintainya.

Abim mengambil secarik kertas yang diselipkan di dompetnya bulan ini “Sepatu Lingga, mukenah Ibu, lampu kamar mandi dan bunga untuk Bapak” mengingatnya, lalu memasukan kertas itu lagi.

Abim memang selalu menyusun rencana, uangnya akan dibelikan untuk apa. Dan Abim selalu mengutamakan kebutuhan orang yang disayang. Karena bagi Abim, melengkapi kebutuhan mereka itu adalah kebutuhan Abim.

Sesampainya di kantor mungil itu, Abim satu-satunya orang yang masih membawa perasaan senang. Sedangkan semuanya terlihat suram dibalik masker-masker itu, sembari memegang amplop coklat yang nampak lebih tipis dari biasanya. Abim bertanya-tanya, memangnya ada apa? Bukannya ini hari bahagia? Ia masih menyapa teman-temannya dengan tawa yang mekar, tanpa beban, penuh kebahagiaan.

Tawa Abim dipatahkan setelah ia mendengar keputusan dari atasan kalau Abim terkena PHK, begitu juga karyawan yang lain. Sekarang Abim menemukan jawaban sendiri, tanpa perlu bertanya dengan muka-muka suram dibalik masker itu. Perusahaan pariwisata itu terancam bangkrut karena terdampak pandemi, tidak adalagi rombongan klien yang mengantri, bahkan mencari satu untuk diberi gratis saja tidak ada yang mau.

Ternyata pondasi itu memang kuat pada diri Abim, tapi pondasinya lebih memilih untuk hancur jadi Abim tidak tau harus berdiri dimana lagi. Setiap manusia sedang bersembunyi dibalik tamengnya masing-masing. Tempat terindah pun kini rendah, karena COVID 19.

“Pak, bulan ini Abim masih bisa membuat harum makam Bapak” Kata Abim di depan batu nisan Bapak.

Jika yang akan disampaikan akan menyakitkan, bukankan lebih baik untuk diam? Tapi tidak untuk Abim. Dia ingin menggunakan mulut untuk sebaik-baiknya menyampaikan kabar buruk kepada Ibu. Di meja makan Ibu menatap anaknya, dan mengusap kepalanya. Tanpa kalimat Tanya, Ibu mampu mengerti anaknya sedang tidak baik-baik saja.

Abim berlutut di depan Ibu. Ibu tidak penasaran dengan apa penyebabnya, yang Ibu kuatkan sekarang bagaimana membuat anaknya tenang. Ibu mengangkat tubuh anaknya pelan, mengangkat kepala Abim, membiarkan anaknya mengungkap laranya.

“Bu, Gaji Abim dipotong 50% dan hanya sisa ini. Lainnya sudah Abim hadiahkan untuk Ibu, Ayah, dan Lingga Bu” Abim memberikan sisa uangnya.

“Iya Nak, sudah menjenguk rumah Bapak?” Ibu tidak ada berhenti mengelus kepala sang anak.

“Sudah Bu, Bapak mewangi lagi. ini lampu kamar mandi.. supaya Lingga tidak ketakutan lagi” katanya sembari memberikan penerang.

“Iya Nak, terimakasih.”

“Bu, Abim di PHK. Abim tidak berpengsasilan lagi Bu. Maafkan Abim, Abim belum bisa menepati janji dengan Bapak untuk menggantikan peran beliau” Abim tidak lagi mampu menahan tangisnya. Bahunya kini bergetar kencang, seakan banyak beban yang minta diselesaikan.

Keesokan harinya Abim hanya berteman dengan kasur. Ia tidak menyambut matahari, bahkan sinarnya saja masih dilarang masuk karena gorden kamarnya pun masih tertutup rapat padahal waktu menunjukan pukul 10 siang.

“Abim, masakan Ibu gak enak ya? Makanya kamu belum sarapan?” Kata Ibu di ambang pintu.

“Ibu, bukan begitu” Abim menggelengkan kepala, matanya sembab.

“Abim, hidup itu  berjalan. Kamu jangan takut untuk tidak menemukan jalan lain” Dekat sang Ibu.

“Tapi Bu, di perjalan hidup sekarang Abim merasa tidak kemana-kemana, Abim merasa tidak berguna apa-apa” suara Abim terdengar tidak jelas karena ia menarik bantal untuk menutupi wajahnya.

“Abim bisa mencoba hal-hal baru, dari situ Abim akan menemukan tanggung jawab dan pengalaman baru.”

“Tapi Abim sudah terlanjur hidup tanpa arah mata angin, Bu”

Baru satu hari tidak bekerja, Abim sepesimis itu soal hidup padahal jangka panjang. Lalu tiba saatnya mengekang.Memaksa dalam ruang, berada dalam liang.Sembunyi dalam doa terindah penyembuhan. Abim menulis perasaannya pada secarik kertas yang diterbangkan menuju awan. Manusia – manusia sedang kecewa, harapannya awal tahunnya kehilangan nyawa.

COVID 19 memang tidak hanya membunuh manusia, tapi juga harapannya. Sekarang semua disibukan dengan masker, cuci tangan dan jarak. Ulah sepasang tangan manusia yang tidak dijaga, mematikan semuanya.

Saat semua berubah arah jalannya, semangat adalah persiapan untuk memecahkannya. Tapi tidak semua bisa melakukannya.

“Abim sudah tidak berarti lagi ya Bu?”

“Bim, jangankan manusia. Bahkan satu pohon saja berarti besar untuk beberapa nyawa. Manusia yang menunggu kematangan buahnya, membutuhkan oksigennya, hewan-hewan sebagai tempat berlindungnya, dan pohon itu menjadi perantara terciptanya keistimewaan. Yang tidak semua bisa dijabarkan, yang semua tidak dimengerti.”

“Lalu sekarang, Abim harus apa Bu?”

“Abim harus bersyukur”

“Bersyukur gak akan bikin perut kenyang, Bu”

“Abim, kapan terakhir kali Abim bicara berdua menikmati teh hangat di pagi mendung bersama Ibu?”

Ya. Abim memang tidak pernah mempunyai waktu banyak untuk sekedar duduk bersantai di rumah. Waktunya habis dimakan jam kerja. Abim terlalu sering melihat surga semesta, sehingga ia sulit memiliki waktu untuk surganya sendiri, Ibu.

“Sebelum Abim mendapatkan pekerjaan, Bu?”

“Iya, dulu kita selalu bertukar cerita bagaimana Bapak sehebat itu”

“Ibu, jangan Bapak..”

“Bim, yang tidak ada bukan berarti tidak boleh lagi dibahas, ini adalah upaya mengenang”

“Dulu Bapak pernah tidak gagal, Bu?”

“Semua manusia pasti pernah Bim, tapi pilihannya mau berhenti gagal dengan cara bangkit, atau terus menangisi kegagalannya”

“Dulu Bapak berjualan cakwe dan gerobaknya hancur karena kayu yang dibeli terlalu rapuh. Padahal Bapak sangat sayang dengan gerobaknya. Setiap pagi selalu dibersihi”

“Lalu Bapak berjualan dengan apa Bu?”

“Bapak akhirnya berjualan cakwe menggunakan sepeda tua miliknya saat masih remaja. Dan saat itu juga, dagangan Bapak semakin laris karena Bapak mengayuh sepeda dengan senang sampai ke desa sebrang”

“Sampai-sampai Bapak buka cabang. Ya meskipun yang jaga di cabang Ibu sih” Ibu tersenyum sangat tulus, seperti tergambar memori indah dengan sang pujaan hatinya.

“Masih sama berjualan cakwe ya Bu”

“Iya Bim, itu artinya kehilangan satu yang dijaga atau disukai itu tidak apa-apa. Nantinya akan digantikan dengan yang lebih baik”

“Jangan takut rejeki kita mati Nak, sudah ada jalannya sendiri-sendiri. Pandemi yang banyak dikeluhkan ini juga membawa arti.”

**

“Gini hasilnya, menurut Ibu gimana?” Abim menunjukan hasil fotonya ke Ibu.

“Lho, bagus sekali hasilnya.. ini ternyata banyak temen-temen kamu yang masih inget sama cakwe Bapak ya Bim”

“Pasti inget lah Bu, dulu kan setiap temen Abim yang beli pasti dikasih bonus sama Bapak”

“Alhamdulillah, awal yang baik Bim.. orderannya melimpah. Tangan Ibu sampe pegel bikin adonannya”

“Yaudah, Ibu istirahat ya, biar Abim yang goreng sama bungkusin cakwenya.”

Abim menemukan pengalaman baru. Membeli minyak goreng dan tepung terigu dalam jumlah banyak, pusing mencatat orderan yang begitu banyak tapi semuanya dilakukan dengan hati yang senang karena Ibu terlibat di dalamnya.

Sekarang Abim percaya, keindahan tidak hanya didapatkan ketika liburan atau mengantar turis yang cantk keliling Jogjakarta. Berjualan cakwe bersama Ibu adalah bukti bahwa mereka masih bisa bergerak dengan keterbatasan pandemi. Abim dan Ibu saling menguatkan, kalau semua yang kesusahan pasti menemukan jalan. Abim menemukan perannya yang baru berjualan cakwe online resep Bapak. 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...