https://tulisanars.blogspot.com/2021/04/genta.html Dia adalah bagian pertamaku, baca ini dulu sebelum kamu membacanya sampai akhir.
Genta, Genta...
Hidup dengan badan sekekar badanmu ini
seharusnya kamu merasa lebih mudah menjalaninya. Kamu tidak kesusahan mengambil
buku di rak tertinggi, kamu mampu menggapai buah mangga tanpa harus memanjat
pohonnya, kamu mampu seimbang dengan daun tertinggi pohon bunga matahari
Tapi pikrianmu sama saja. Dari kau berukulan
sekerdil jari kelingking juga sudah pernah mempermasalahkan itu. Tapi Genta,
ingat tidak? Semasa hidupmu senang ditopang tangan kedua orang tua, bukan uang yang
bisa kau hitung jumlahnya. Seharusnya kamu bersyukur Genta, dua surgamu masih
bisa memelukmu
Surgaku bukan memeluk, justru meliukkan langkah
yang sudah mereka bawa dewasa. Genta, jika kasih sayangmu terhadap uang di dalam
dompetmu itu berlebihan, ia memang tidak akan hilang, namun ia juga tidak akan
bertambah. Itu artinya ia tidak bisa membahagiakanmu, iya, uangmu.
Genta, memangnya
uang adalah oksigen yang tak kau punya kau akan mati? Tidak Genta. Manusia
tumbuh sebagai orang berpikir untuk terus hidup, meskipun nantinya kau
menyangkal dengan "Ya, Aluna. Pikiran manusia untuk terus hidup itu ada,
uang juga harus selalu ada untuk menyeimbangkannya" Si keras kepala. Batu saja kalah
kerasnya dengan egomu, Genta.
Coba ku tanya, kenapa
kau selalu memikirkan 10 tahun kedepan padahal hidupmu tidak baik-baik saja
hari ini? Pasti kau menjawab “ya karna aku mau” Genta, hidup 10 tahun kedepan
akan indah rasanya jika kau mensyukuri yang kau genggam hari ini.
“Tanganmu?”
“GENTAAA!!”
“Aluna, lihat langit”
“Ya? Ada apa genta si
keras kepala?”
“Bulan malu”
“Bulan dapet antrian
kedua setelah Awan, Genta”
“Bulan malu, namamu
jauh lebih indah dari pada cahayanya”
“Ta, justru namaku
diambil darinya”
“Luna sama dengan
bulan?”
“Ya, Ayahku
mengatakan seperti itu sebelum ia mempoak porandakan surgaku”
“Mengapa kau tidak di
atas sana?”
“Nanti kamu bisa
gila, bicara sendirian disini.”
Genta, tidak ada yang
lebih menjamin hidupmu. Uang sekalipun tidak Genta. Kau tak bisa menganggap
uang sebagai Tuan. Ia tidak bernyawa, ia hanya menumpang pada nyawa-nyawa yang
membutuhkannya.
Pernah kau mengatakan
di sudut taman, saat melihat dua wanita indah berlarian. Kemudian kedua orang
tuanya datang, mereka diikuti 1 orang yang mengalungkan kamera di lehernya itu.
“Anak kecil itu bisa
mengabadikan masa kecilnya karena orang tuanya punya uang”
“Barangkali mereka
mengabadikan karena jarang bertemu?”
“Tidak mungkin orang
tuanya berlama-lama rindu kepada anak selucu mereka”
Hahaha. Kau sudah
tertawa hari ini, Genta?
Ya. Ya. Ya. Kau perlu
itu, tertawakan dulu hidupmu. Lalu kau nilai kehidupan orang lain dengan dua
matamu yang segar.
Teori-teori yang kau
buat saat hidup itu justru akan membuatmu mati dengan harapan-harapan. Langit
cerah menurutmu hanya mereka yang mempunyai tempat khusus untuk menyimpan uang
sebanyak-banyaknya, tidak Genta. Berhenti memikirkan kapan kau akan bahagia,
pikirkan soal kakimu yang sudah berjalan sejauh ini.
“Boleh ku minta
satu?”
“Apa, Aluna?”
“Berhenti merendahkan
dirimu, Genta. Kamu pantas terbang tinggi”
“Aku tak punya sayap,
Aluna.. kau mau aku jatuh ke dasar jurang lalu dimakan rayap?”
“Kamu mengucap sayap
itu setiap hari, Genta”
“Yang mana?”
“Doa”
“Orang kaya itu hidupnya serba enak Lun” Lagi
lagi si manusia keras kepala berkata hal yang sama.
Hadeh, Genta yang kau pikir Brahmana itu
mungkin Sudra bahagianya.
Keren banget, gaya bahasa formal yg dikemas secara non-formal.
BalasHapusterimakasih Mas Rama teman Akbar, tulisanmu yang berjudul Di antara Sawah, Layang-layang, dan Tuhan. juga asique banget, salam kenal ya!
Hapussalam buat aluna
BalasHapus