Rabu, 22 Desember 2021

98 Tahun Hidup (Mbah Mami)

 satu abad ia lalui dengan sedikit sedih. meskipun tertinggal suami. ia merasa sang kekasih hati masih menemani tidurnya sepanjang malam, masih memeluknya ketika hari terasa suram. ia tak pernah lalai mengirim dua bahkan lima kali doa setiap hari.

ia yang menyambut pagi bukan untuk bertemu mentari, namun mengecek kembali apakah ayamnya sudah mati? selalu saja menghitung siapa yang akan mati, ayam yang dipelihara atau sang pemelihara. padahal usianya dengan ayam tak sebanding apabila disamakan, namun itu kebetulan. kebetulan ia menyayangi ayamnya
telinga yang masih mendengar suara-suara riun dunia dan selalu berbicara "miyen kui arep maring semarang mlaku yo iso, saiki duite akeh yo numpak sepur wae sing cepet ya nduk"
ia yang bersaksi terhadap perkembangan jaman meskipun pemikirannya tak ikut berkembang.
namun ia masih dengan suara lembut ketika berbicara dengan semua
"arep nengge jaket mbah?"
"ora ora, nggo koe wae. sepur kok iso atis ngene pie? kipas angine piro?"
"iku jenenge AC mbah, sanes kipas angin"
"walah, opo meneh iku"
-
ia yang selalu bercerita semasa merdeka bersama suaminya, betapa bahagianya mereka. menenun kehidupan dengan anak-anak yang masih pada satu rumah yang sama, kecuali suaminya. ia bukti nyata akan bahagia tidak ada sudahnya, sabar tidak ada batasnya, sedih tidak ada selesainya, ya hidup dijalani saja sebagaimana adanya. bahwa memang tujuan manusia hidup ya untuk mati, apalagi?
mbah mami, sehat-sehat ya. semoga covidnya segera selesai, insyaallah nanti aku bawa mbah ketemu sama mbah mami yang sehat di Semarang ya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...