Setelah membaca Al-Qur’an, Nadi dering HP Nadi berbunyi. Segera Nadi
meraihnya, ia duduk di depan meja belajar lalu mengangkat telfon dari pacarnya,
Raga Sinaga.
“Mas sudah selesai?”
“Mengemas barang-barang?”
“Iya, jadi pulang kan?”
“Sudah tertata rapih, tuan putri!” Nadi tertawa. Lalu, Raga melanjutkan
pembicaraannya “Besok aku ke rumahmu ya”
Pertanyaan itu seakan badai besar yang menerkam Nadi. Bagaimana tidak
hubungan yang dijalani lima tahun terakhir ini seperti akan menghampiri retaknya
sendiri. Keduanya tak mau sama-sama mengalah untuk siapa yang berpindah, namun
keduanya juga tidak mau sama-sama kalah apalagi pasrah. Mereka pikir dengan
bersama-sama semuanya akan baik-baik saja. Meskipun Nadi ragu, Raga selalu
meyakinkannya.
“Tidak apa-apa, besok kita bicarakan baik-baik dengan Bapak ya? Biar aku
yang bicara”
“Untuk apa mas?”
“Untuk meyakinkan Bapak”
“Keyakinan kita saja berbeda, bagaimana meyakinkan Bapak?”
Raga selalu percaya, dengan berdua mereka akan baik-baik saja. Namun, tidak
untuk Nadi. Nadi seperti sudah mengerti apa yang akan terjadi. Ia lebih
mengenal Bapaknya, pertanyaan besar yang pasti keluar adalah ‘kenapa Raga?’
padahal masih banyak lelaki yang menganut kepercayaan yang sama sehingga tidak
perlu ada pengorbanan besar diantara keduanya. Tembok penghalang yang mereka
bangun selama ini, seakan bisa hancur kapan saja.
“Tidak terlalu cepat, Mas?”
“Nadiyanti Utami, dengarkan saya. Setelah lima tahun kita berjalan bersama,
apa mau begini saja? Ini bukan soal apa yang kita yakini, tapi soal hati. Besok,
aku ke rumahmu. Aku yang akan menemui Bapak. Untuk mengatakan maksud dan
tujuanku untuk berumah tangga denganmu. Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan
meyakinkan Bapak bahwa dengan dua keyakinan berbeda, kita bisa bersama. Percaya
dengan saya, semua akan baik-baik saja.”
“Bapak tidak akan percaya Mas”
“Kita belum mencobanya, mengapa kamu sudah menyerah?”
“Pilihannya hanya dua Mas. Kita sudah atau diantara kita berpindah”
“Tapi aku anak pertama di keluargaku Di, aku tidak bisa”
“Lalu bagaimana denganku mas? Aku anak satu-satunya, Bapak membesarkanku
sendirian setelah Ibu menukar nyawannya saat melahirkanku. Apa kau tega melihat
seorang lelaki paruh baya kesulitan berjalan di masjid sendirian?”
“Di...”
“Kalau besok kamu mau kesini, aku tidak bisa melarangnya lagi Mas. Karena
sejauh apapun aku menghindari, ternyata kenyataan
itu ada di depan dan kapan pun akan aku jumpai. Mungkin yang harus kita lakukan
sekarang adalah bersiap akan kenyataan terburuk dalam hubungan ini.”
Nadi menutup telfonnya. Isak tangis Nadi sudah tidak bisa dibendung lagi,
pelupuk matanya menumpahkan seluruh ketakutan terbesarnya selama lima tahun.
Nadi sadar, ternyata hidup di dunia tidak hanya tentang menyiapkan bahagia
karena kecewa dan kesedihan juga bagian dari kehidupan.
Pintu kamar Nadi terketuk, Bapak membawa segelas susu coklat panas.
“Nak... sudah tidur? Kamu lupa belum minum susu? Ini, Bapak sudah
buatkan...”
Nadi segera menghilangkan jejak air matanya, “Bapak.. kan Nadi kan sudah
besar dan bisa buat sendiri di dapur. Masa 25 tahun masih dibuatin susu sama
Bapak”
“Mau sedewasa apapun anak perempuan Bapak, ia tetap seorang Nadi kecil yang
merengek minta coklat padahal giginya sudah ompong” jawaban itu diiringi suara
tawa Nadi dan Bapak.
Nadi meneguk segelas susunya sampai habis, Bapak tidak sekalipun
mengalihkan pandangan ke anak semata wayangnya itu. “Kamu menangis?”
“Cuma kangen Ibu Pak”
Bapak terkekeh, “Ketemu aja belum pernah.. sudah kangen, apalagi Bapak?”
Keduanya berpelukan, saling menguatkan. Setelah Bapak keluar kamar, Nadi
mencoba untuk memejamkan mata dan mengistirahatkan pikiran.
Tetapi, bukannya pikiran itu beristirahat justru semakin berkeliling
kemana-mana. Ada banyak ‘kenapa’ di kepalanya. Pertanyaan yang bahkan Nadi
sendiri tidak tau jawabannya, apakah Bapak akan menerima Raga? Atau justru
mengikhlaskan Nadi berpindah agama? Setelah lama berenang di kepala, Nadi
terlelap dengan mata yang sembab.
Hari itu tiba.
Raga memarkirkan mobilnya di garasi rumah Nadi. Bapak yang sedang asik
menyiram tanaman itu tampak kebingungan, sejak kapan putrinya mempunyai
pasangan?
Raga memperkenalkan diri kepada Bapak dan Bapak menyambutnya dengan baik.
Sopan santun Raga menarik perhatian Bapak.
“Kamu tampaknya seorang lelaki yang cerdas, dimana kamu bekerja?”
“Di perusahaan pertambangan Om, di luar Jawa”
“Ow, jauh ya.. lalu kapan kalian bertemu? Kok tau-tau sudah punya gandengan
aja nih anak Bapak”
“Sebenarnya, kami bertemu dan berpacaran sudah sejak 5 tahun yang lalu Om”
“Wah, benarkah? Lama sekali.. “
“Iya Om” Raga membernarkan posisi duduknya, kini ia tegap dan menatap Nadi
yang mengantarkan dua teh hangat. Raga memberikan isyarat kepada Nadi bahwa ia
akan mengatakan yang sebenarnya. Nadi mengangguk dan memilih untuk duduk di
dekat Bapak.
“Sebenarnya Om...” belum Raga melanjutkan pembicaraannya, dipotong oleh
Bapak.
“Diminum dulu, biar santai..” lalu Bapak terkekeh dan menyeruput gelas teh
hangatnya. “Kamu tidak minum, Nadi?” Nadi hanya menggeleng.
Setelah menyeruput tehnya juga, Raga menarik napas panjang. Lalu mencoba
untuk tenang.
“Sebenarnya Om, kami sudah menjalin hubungan sejak 5 tahun yang lalu..
seperti yang om ketahui tadi. Maksud kedatangan saya kemari untuk
memperkenalkan diri kepada Om.. selaku orang tua dari Nadi”
Bapak tersenyum mendengar itu, “Ya, Bapak mengerti Nadi sudah dewasa..
hebat loh kalian ini 5 tahun pacaran sembunyi-sembunyi.” Bapak menyeruput
tehnya lagi.
“Iya Om. Selain itu, niat saya datang kesini... saya ingin meminta restu
kepada Om untuk menikahi Nadi. Setelah mengenal Nadi cukup lama, menurut saya
ini saat yang tepat untuk berjalan ke jenjang yang lebih serius lagi. Kita
berdua juga sudah merasa cocok. Saya berjanji akan bertanggung jawab dan
memberi nafkah lahir dan batin kepada anak Om... Nadiyanti Utami”
“Mmm.. niat bagus itu, pernikahan untuk ibadah. Om juga tidak kaget karena
Nadi memang sudah memasuki umur siap menikah, bukan begitu Nak?” Nadi
mengangguk.
“Tetapi Om... ada satu hal yang harus Om ketahui..”
“Apa itu? Serius sekali?”
“Saya dan Nadi berbeda agama. Selama kami menjalin hubungan, kita berdua
belum menemukan jalan keluar tentang satu masalah ini. Saya tidak bisa
berpindah keyakinan karena saya anak pertama, kedua orang tua saya menginginkan
saya agar menjadi panutan bagi adik-adik saya.”
Bapak terdiam. Menatap Nadi rekat-rekat, mata Nadi berkaca dan Bapak
langsung memeluknya.
“Maafkan Nadi telah jatuh cinta kepada orang yang tidak satu keyakinan,
Pak.. tapi selama ini Nadi mencoba untuk berganti, mencari, pergi, tapi hati
Nadi kembali ke Mas Raga.”
Isak tangis sepasang Bapak dan anak itu memperkeruh suasana. Raga memilih
pulang dan membiarkan mereka berdua.
“Pak, boleh kah kami menikah berbeda agama?”
“Nak...”
“Kita berdua saling percaya Pak, bahkan selama lima tahun kita menjalani ini
tidak apa-apa. Nadi bisa menoleransi Mas Raga dan Mas Raga juga sebaliknya.
Kita berdua bisa saling mengerti Pak, jadi tidak perlu ada yang dikhawatirkan
lagi”
Air mata Bapak tidak bisa bersembunyi lagi, “Kalau dia tidak bisa menjadi
Imammu, bagaimana sholatmu Nak?” bahu Bapak bergetar dengan tangis yang semakin
kencang.
“Tapi Pak, bukankah sholat dijalankan atas dasar niat dari diri sendiri..
mengapa Nadi harus bergantung kepada orang lain?”
“Tapi Nak... Imam dalam kepala rumah tangga itu harus bisa membimbing dan
mengayomi istri dan anak-anaknya..”
“Pernikahan itu ibadah Pak... seperti yang Bapak bilang”
“Tapi kalian tidak menganut kepercayaan yang sama”
“Tapi Nadi cinta Pak, Nadi sayang! Lelaki yang bisa mengerti Nadi hanya Mas
Raga!”
Melihat sang anak terus memaksa, Bapak pun berdiri dan berbicara dengan Nadi
tinggi, “Kamu pikir selama ini Bapak tidak menyayangimu? Apa kau tidak malu
dengan Ibumu? Ia sudah mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanmu dan apabila
kau melakukan pernikahan itu, artinya kau telah mengecewakannya!”
“Tapi Pak... Nadi sayang dengan Mas Raga...” Nadi bersimpuh lutut di
hadapan Bapaknya.
“Apa kau tidak sayang Ibumu? Apa kau tidak sayang juga dengan Bapakmu ini? Kau
ingin seorang lelaki asing datang memecah belah keluarga yang hanya kita berdua
ini? Kau ingin Bapak sendirian mendoakan Ibu?”
“Nadi kenal Mas Raga sudah 5 tahun Pak.. kami bisa saling mengerti!”
“Bapak mengenali kamu 20 tahun lebih dulu dari dia! Tidak akan Bapak
izinkan! Seperti tidak ada lelaki lain saja! Bapak tidak akan memberi restu,
tidak akan Bapak izinkan kau menikah dengan lelaki itu! Sekalipun kau tidak
menemukan Imamu, biar Bapak yang carikan untukmu!”
Nadi berdiri dari sejajar dengan Bapaknya, “Tapi Nadi sudah besar Pak,
selama 25 tahun Nadi menuruti semua kemauan Bapak! Jurusan kuliah yang perkuliahannya akan Nadi
jalani sendiri selama 4 tahun itu pilihan Bapak! Bahkan Nadi sama sekali tidak
diberikan kesempatan untuk memilih! Apa Bapak belum puas? Apa Bapak akan
menggunakan semua kesempatan dalam hidup Nadi untuk pilihan Bapak? Lalu gunanya
Nadi hidup untuk apa Pak? Hanya memenuhi semua ekspektasi Bapak padahal Nadi
sendiri tidak menikmati proses maupun hasilnya? Kapan Nadi mengambil keputusan
untuk diri Nadi sendiri? KAPAN PAK? Mengapa Bapak yang selalu memihak semua
hidup Nadi? Meskipun Bapak satu-satunya orang tua Nadi, memangnya Bapak tidak
mau lihat Nadi bahagia dengan pilihan Nadi sendiri?”
Kemudian, Nadi meninggalkan Bapak yang menangis tersedu-sedu di ruang tamu.
Bapak merasa menjadi orang tua yang gagal mendidik anaknya. Ia tidak mungkin
melepas anaknya ke jalan yang ia yakini bukan jalan yang benar, tapi ia juga
tidak mungkin terus mengekang anaknya tetap pada pilihannya.
Sore itu, Nadi menghabiskan waktu menangis di dalam kamar. Bahkan ia
melewaktkan jam makan siang. Pintu kamar Nadi terkunci, ia sedang tidak mau
diusik oleh siapapun. Ia tidak mau menemui Bapak. Nadi berpikir, mungkin ini
adalah kesempatan yang harus ia ambil untuk memilih pilihannya sendiri. Nadi
memilih Raga, untuk melanjutkan hidup dengan menganut kepercayaan yang berbeda.
Nadi kecewa kepada Bapaknya. Selama ini ia mengenal Bapak, tak pernah
sekalipun Bapak berbicara kasar di depannya. Nadi berpikir, ia sudah terlalu
merepotkan Bapak. Ini saatnya Nadi berjalan dengan pilihan hidupnya sendiri. Ia
memihak kepada Raga yang baru dikenalnya 5 tahun ke belakang daripada Bapaknya
yang mengajarinya lancar berjalan.
‘Mas, aku yang akan berpindah ke agamamu. Beritahu aku bagaimana caranya
dan temani aku besok agar kita bisa melaksanakan pernikahan secepatnya’ Nadi
mengirim pesan itu kepada Raga.
Tak lama, pesan itu terbaca dan membalasnya ‘bagaimana dengan Bapak?’
Nadi baru teringat, sedari tadi ia tidak mendengar isak tangis Bapak di
rumahnya. Dengan segera ia keluar rumah dan mencari Bapak. Ternyata Bapak tidak
ada disana. Bahkan pintu rumah terkunci dari luar. Tidak biasanya Bapak Nadi
tidak pulang saat hari sudah petang. “Bapak kemana?” tanya Nadi pada dirinya
sendiri.
Nadi mulai khawatir, ia membuka pintu rumah dengan kunci cadangannya. Ia
mencari-cari Bapaknya di sekitar komplek rumah, tapi nihil hasilnya.
Nadi berjalan di bawah malam ditemani hujan ke rumah kedua Bapak. Yaitu
makam Ibunya.
Disana, tampak Bapak tertidur di samping makam Ibunya dengan tubuh yang
lemas. Pelan-pelan, Nadi membangunkan Bapak. Nadi segera memeluknya. “Maafkan
Nadi Pak.. ini pilihan Nadi” Bapak hanya mengangguk.
Nadi memapah Bapak dan kembali ke rumah. Mereka saling diam, tidak
membicarakan apapun.
Keesokan harinya, di ruang tamu yang sama. Nadi, Bapak, dan Raga berkumpul
tanpa secangkir teh hangat.
“Kita akan pergi sekarang Nadi?”
Bapak membendung air matanya.
“Mas Raga, maafkan aku.”
“Bukannya Bapak telah mengizinkanmu berpindah keyakinan?”
“Memang Bapak sudah mengizinkan untuk berpindah keyakinan. Namun hatiku
sendiri tidak yakin Mas. Saat ini aku berpindah keyakinan atas alasan ingin
menikah denganmu, bukan karena aku yakin dengan keyakinanmu”
Raga terdiam. Bapak mengusap air matanya perlaha.
Dengan suara bergetar, Nadi mengatakan “Menjadi seorang anak tunggal yang tinggal
dengan orang tua tunggal, itu hanya sekali seumur hidupku. Maka aku akan
berusaha mempermudah hidup Bapak, bukan sebaliknya. Di sisia umurku yang tidak
tau kapan menjumpai ujungnya, aku akan gunakan itu untuk menjadi makmum Bapak
selagi aku belum menemukan imam yang tepat untuk masa depanku. Maaf Mas, ini
pilihanku. “
“Lalu hubungan yang selama ini kita jalani, ujungnya apa Di?”
“Ujungnya kita harus sama-sama cari jalan lain, Mas.”
“Bagaimana dengan... mimpi-mimpi kita? Harapan kita?”
“Kamu tidak bisa memaksa orang untuk terus menjadi pemeran utama dalam
ceritamu Mas.”
Raga menangis, lelaki berbadan kekar itu akhirnya tidak bisa menahan air
matanya lagi. Bapak dengan lapang dada memeluk Raga.
Kadang kita lupa, bahwa cerita dalam hidup juga merupakan rangkaian
mahakarya Sang Pencipta. Sebagai manusia yang hanya ciptaanNya, seharusnya kita
tau bahwa kehidupan ini tidak berjalan di bawah kendali kita.
Satu keputusan terbaik dalam hidup akan mengantarkan 1000 kebaikan untuk
kehidupan lainnya. Meskipun beberapa diantaranya berkorban dan membuat luka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar