Di sudut rumah sakit aku berdiri di depan ruanganmu, ponselku tak berhenti berbunyi tak ku perdulikan sama sekali. Tak lama aku dibolehkan untuk menemuimu.
“Maafkan kami tidak bisa
menyelamatkannya, Pak”
Ternyata tangan yang ku genggam sudah tak ada denyut nadi, tak bernafas
lagi. “Binar, tidak kah kau ingin bersamaku lebih lama disini?” tak ada
balasan, hanya sebuah tangan dokter mencoba membuatku tenang. Tetap ku genggam
Bin dengan harapan kebaikan. Ini mimpi buruk setelah kita merangakai
mimpi-mimpi baik kemarin.
Kau mengantarku pulang, di teras rumah kita sudah banyak suara yang tak mau
ku dengar. Isak tangis seluruh keluarga menyambutmu singgah. Seluruh doa
dipanjatkan untuk ketenanganmu. Aku tidak meneteskan air mata sama sekali. Yang
aku lakukan adalah terus berada di samping kananmu. Bahkan hanya kain kafan
yang membungkus wajahmu, kau terlihat sangat cantik Binar. Mau kah kau
kubawakan cermin untuk melihat dirimu sendiri?
Kemudian aku membawamu ke rumahNya. Aku berdiri di samping jenazahmu, mulai
mengucap takbir, memanjatkan doa ketenanganmu. Imam membaca surat dengan suara
bergetar, ia adalah saksi kebaikanmu saat kamu selalu melemparkan senyuman
kepada semua orang. Tenang saja, kau terkenang baik, istriku.
Aku mengangkatmu di keranda kanan paling depan. Kami semua mengantar ke
rumahmu dengan diiringi bacaan tahlil sepanjang jalan. Tak ada yang berat Bin,
selain jalan yang semakin dekat dengan rumahmu dan aku akan semakin cepat
berpisah denganmu.
Langkah demi langkah aku berharap kalau ini semua hanya bunga tidur saja.
Tapi Bin, saat aku mengangkatmu, meletakanmu ke liang lahat, mengarahkan
wajahmu ke tanah itu, disitu aku merasa bahwa aku akan benar-benar
kehilanganmu.
Binar... masih ingatkah kamu saat pertama kali kita menjadi orang tua? Aku
mengumandangkan adzan di telinga Lingga, lalu kau tersenyum dan aku lega
melakukannya. Tapi kali ini adalah adzan terberatku saat aku harus
mengumandangkannya di telingamu bersama tanah-tanah itu.
Binar, untuk apa kita mekar bersama jika berakhir layu sendiri-sendiri?
Setelah itu putaran waktu seakan tidak mengajakku. Dunia dengan semua
proses kehidupannya seakan mati untukku Bin.
Orang-orang yang turut berkabung itu, kembali dengan kesibukannya
sendiri-sendiri. Lalu bersama siapa aku disini? Kehampaan itu seakan terus
memelukku.
Saat semua orang berkabung itu pulang dan aku memasuki kamar, disana aku
melihat kehilanganmu. Ternyata semua ini nyata. Nyata kalau kau sudah tidak
ada. Nyata kita sudah berbeda dunia.
Bin, baik-baik kah disana? Aku khwatir kau sendirian padahal disini aku
terus menyayangimu.
Rasanya tidak ada yang bisa diselamatkan lagi Bin, aku bahkan tak mengenali
diriku sendiri. Kemana aku harus pulang? Mengapa kau pulang ke rumahNya begitu
cepat? Tak mau kah kau membuat cerita lebih banyak?
Dari rumah sakit sampai aku mengantarmu ke dalam kubur, tidak ku biarkan
setetes air mata keluar. Aku ingin menjadi suami yang mengantarkan kau pulang
dengan baik-baik saja, agar barangkali kau melihatku itu menjadi kesan yang bahagia
bukan sebaliknya.
Lama sekali aku menjalani hari, sesuap nasi masuk ke mulutku saja tidak.
Aku ingin ikhlas atas kepergianmu, tapi dari mana aku memulainya? Ternyata
kehilanganmu membuatku kehilangan semuanya termasuk kendaliku dengan diri
sendiri.
Rasanya setiap saat ingin menemanimu saja disana, rasanya gunting itu
memanggil aku untuk menyakiti agar segera bertemu denganmu, aku lepas kendali
Bin. Aku tak tau apalagi tujuan hidup ini setelah aku menghadapi kematianmu.
Tentu kau tidak ingin aku seperti ini terus. Tapi, dari mana aku memulainya?
Untuk menghentikan tangis saja aku tidak bisa.
Rasa cinta ini masih terus tumbuh Bin, sekali pun kau telah mati.
Di malam tak berbintang itu, aku membenci diriku sendiri. Lalu aku melirik
potretmu dan aku mengingat selama ini yang aku lakukan hanya membuang-buang
waktu, bukan mendoakanmu.
Ternyata sekarang doa adalah perantara cinta kita berdua. Aku merasa tenang
saat aku mengucapkan semua kerinduanku pada satu waktu. Aku telah menerima
bentuk mencintaimu dengan cara yang baru, aku menyukainya.
Aku sadar kau bukan sepenuhnya milikku, jadi saat Ia memanggilmu aku harus
lebih dekat denganNya. Bin, aku merasakan titik tertinggi dari kehidupan
manusia yaitu saat menuju ketiadaan dan kehampaan orang tersayang.
Binar, terima kasih untuk bentuk cinta yang tulus dan terus hidup. Berkat
cintamu ini aku tumbuh menjadi manusia yang menerima luka dan membuka kebaikan
lebih banyak, kamu membuat sebuah pelajaran besar tentang mencintai kehilangam,
kamu telah menjadikanku manusia seutuhnya lewat kasih sayangmu.
Malam itu tak ku sebut petaka. Saat terakhir kau tidur di sampingku, dengan
hembusan nafas dan senyuman yang sama, meskipun akhirnya kau tak lagi menghirup
hidup. Cerita indah sekalipun jika Penulisnya telah berkehendak untuk
mengambilmu, maka aku yang akan mengantarkanmu kepadaNya dengan ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar