Sesak, karna terlalu banyak pikiran yang memaksa terus berpikir.
Saat tidur bukan lagi perihal istirahat, tapi pelarian pikiran.
Mau diutarakan, supaya lega, supaya tidak lagi ada yang mengapung.
Biar menentukan, mau terbang atau tenggelam.
Tapi tidak bisa, tidak tau apa yang harus dikeluarkan.
Pikiran? Yang mana? Rasanya banyak, tapi menentukan satu saja tidak bisa.
Rasanya seperti tidak ada, tapi sesak.
Jangan memaksa, kalau tidak mau melihat air mata semakin banyak.
Bahkan tidak ada rasa salah yang menggambarkan air mata.
Semuanya benar, meskipun terlanjur tersedu-sedu.
Biarkan hati berjalan dengan seenaknya sendiri, menyuruh mata untuk mengeluarkan airnya sisi lain menyuruh mulut untuk membungkamkan semuanya.
Terjebak di dalam labirin pikiran sendiri. Dalangnya diri sendiri, tapi tidak mampu menguasai.
Jagonya hanya menangis dan menangis.
Meminta semua orang mengerti, tapi tidak mau membagi tau.
Karna kesedihan bukanlah sebuah lompatan kesenangan, jika berturut-turut.
Tidak berhak orang lain tau, sama sekali tidak. Kalaupun tau pun, tidak akan bisa membantu.
Biarkan tetap terjebak di dalamnya, tanpa penolong yang menolong.
Biar diselamatkan pikiran baik sendiri, biar senang berada pada proses panjang yang menyenangkan.
Kalau berhasil, selamatlah.
Kalau tidak, biarkan tenggelam semuanya. Termasuk yang paling tidak bisa diatur, hati dan juga yang paling tidak mau diajak berhenti, pikiran.
Jangan menemui, nanti menangis lagi.
Kamis, 28 Mei 2020
Rabu, 27 Mei 2020
Lelaki
Padahal datangnya hanya
untuk menyenangkan hati dan membuang sepi
Kemudian setelah
mendapati tawa, pasti pergi entah kemana
Sempurna, berucap
seakan meyakinkan ucapan
Tidak perduli
keadaan sekitar, tidak perduli jika nantinya akan ingkar
Padahal sedang berbicara
dibalik kebohongan, tetapi masih saja dijadikan kebanggaan
Menjadikan kilah kenyamanan
sebagai umpan
Yang membuat selalu
saja percaya diri, dikira ia hanya mencintai satu saja
Dimana sebuah jati
diri? Tidak lelah selalu mencari kesana kemari padahal sudah dimiliki? Tidak
bisakah menetap kepada satu hati?
Selalu saja mencari
permpuan yang nantinya hanya dijadikan perumpamaan.
Hei
kau, seorang lelaki, kan?
Ingat, kau hanya mimiliki satu hati yang nantinya pun akan mati
Jangan menyombongkan diri, belagak memahami semua kuasa
Memang tidak semua sepertinya, tapi aku menyebutnya lelaki paling tidak
tau diri
Berpindah hati tanpa teka-teki
Seenak sendiri, tidak perduli sama sekali
Padahal nafas saja bergantung pada semesta, tapi gayanya bermimpi lebih
dari semestinya
Kamu tidak tau, yang secukupnya saja bisa membuat bahagia
Tidak melulu dengan kemewahan mobil gagahmu itu
Tidak juga tunduk dengan dompet ramaimu itu
Kamu, berlabuhlah.
Supaya punya lebih banyak kata yang diucapkan, supaya tau hidup seorang wanita yang masuk dalam perangkapmu, tidak melulu "lidah manis" mu itu.
Minggu, 03 Mei 2020
Tulisanku
Mas, kamu ikut mengalir dengan air di sungai mana sih? Bisa
bisanya menemukan aku yang saat itu sama sekali tidak membutuhkanmu, kecuali
sebagai rekan kerja paling banyak bicara.
Tiba-tiba membuat nyaman. Mengutarakan rasa sayang,
mengajak jalan. Kamu curang, mengajak ke toko buku, gimana mau nolak?
Menonton film kesukaanmu, meskipun aku tidak tau siapa itu. Nurut saja, sama
yang punya lebih banyak pengalaman.
Ternyata waktu membuat kita sadar, kalo sebenernya kita
adalah yang saling mencari dan sudah menemukan. Aku kira kamu akan pergi
setelah tau semua malamku, ternyata kamu meneranginya mas. Sebagai bulan yang
paling indah, sabit yang selalu kurang tapi penuh kasih sayang.
Biar aku dibilang egois, memintamu untuk menjadi bulanku
yang hanya aku yang dapat merasakan itu. Biar mereka
bicara aku gila menganggapmu berada di angkasaku.
Asal kamu tau mas, ini yang dulunya sunyi (menunjuk diri sendiri), bersuara dengan
tulisan sendiri. Lihat, sekarang ada yang sudi membacanya hingga titik terakhir dan
selalu bersedia membaca ketika aku menulis lagi.
Dalam ceritamu yang lalu, kamu juga pernah luka. Luka yang hampir sama
sepertiku, bahkan kamu bersama luka dalam jangka waktu yang lebih lama dariku, iya kan mas? Ceritaku sebenarnya tak layak dengar mas, tapi aku tau telingamu hebat. Menahan teriakku ketika bekerja, senduku ketika menangis, dan nyaringku ketika bahagia.
Kita pernah sama-sama berat sebelah kasih, tertatih,
kemudian teralih.
Semesta sudah mengaturnya mas, kita tumbuh dari luka dan
bertahan untuk tidak saling melukai. Kita berdua sepakat.
Mas, kamu membuatku lebih hidup.
Tau sejak kapan? Sejak mencari kesempatan dibalik kesibukan
pekerjaan, kemudian mencuri pendangan di jam makan siang. Sejak kamu merubah waktu lima
menit sepulang kerja menjadi yang kita tunggu. Dengan obrolan tidak tau arah
yang selalu membaur dalam kita. Sejak kita selalu menebak sore, akankah jingga
atau orange. Sejak kamu melarangku untuk bermain hujan dan kamu kalah.
Mas, masih ingat saat kita berdua melulu membahas pekerjaan
yang amat serius? Sekarang pun masih mas, bedanya aku sudah menyayangimu.
Mas, kamu membuatku lebih hidup.
Membuat cita-cita semakin ingin tergapai. Kamu tidak pandai menuai janji mas, yang kamu lakukan selalu
terbukti. Maaf sempat membandingkanmu dengan yang sudah terlewat. Padahal seharusnya kamu tidak perlu membuang banyak keringat
untukku mas, masuk ke dalam labirinku, dan menghadapi aku yang rumit. Yang
sudah menemukan bahagia tapi masih saja menceritakan yang sepantasnya terlupa.
Katamu, aku berhak menulis apa saja di tulisanku dan akan
tetap kau baca. Katamu, karna kamu yakin aku sudah menjadi milikmu yang hanya akan
kembali kepadamu.
Mas, biarkan aku marahi semua wanita yang berusaha
mengganggumu. Aku takut kamu hilang, kembali tak ku kenal, menjadi asing dalam dekat.
Mas, kamulah sang pemilik rumah paling kokoh ini. Tanpa
sangkar kamu biarkan aku berkelana dan tetap pulang di pelukmu. Yang
dimana sudah tersedia bahu ternyaman untukku.
Tidak akan sanggup aku menguraikan semua tentangmu mas, kamu
adalah sesempurnanya Tuhan menciptakan hati manusia. Begitu sabar, bahkan marahmu ramah mas. Terimakasih ya mas, untuk tidak
tersesat di Jupiter.
Aku tau banyak yang ingin kamu sampaikan juga mas. Maaf aku
menyuruhmu untuk menulis, karna aku juga mau merasakan kagum dengan tulisan
dari serorang terkasih. Seperti yang hampir setiap hari kau lakukan setelah
membaca tulisanku mas.
Tapi kenapa kamu merendah? Bahkan tulisanmu lebih bagus
dari bunga matahari layu. Mataku sayup mas, ingin membacanya di depanmu supaya
dan setelah itu memelukmu.
Tulisanmu disini mas, https://kataufi.blogspot.com/2020/05/tulisamu.html
kamu tau aku menyayangimu kan sudah
aku katakan setiap hari. Kamu sudah
mulai terbiasa kan mas? Memahamiku yang rumit ini?
Tulisanmu
Huuhh...
Benar-benar pagi itu, suka sekali
membuat malamnya menjadi kusut
Suruh rangkai kalimat katanya,
gila, padahal jagoku membuat bahu ternyaman untuknya
Insan indah ciptaan tuhan yg
datang mengetuk hati, yang entah, sudah lama tertutup
Menghampiri dengan lembut, namun
matanya penuh dengan keseriusan, tegang, dan ketakutan yg masih terpancar
Masa lampau melekat diretina
matanya
Seakan ingin berbicara,
memastikan,
Apakah kau bakal sama seperti
dirinya?
Makhluk sempurna, namun tetaplah
seorang manusia
Memandang orang lain setinggi
langit, sampai kadang lupa bahwa dirinya bahkan bisa mencapai angkasa
Insecurity yang meremas mimpi
Suasana hati yang mudah untuk
dirubahnya, namun untuk menatap retinaku merupakan salah satu hal tersulit
baginya
Kalo aku ceritakan kepada panda,
apa dia bakal percaya klo pemiliknya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menatap
sepasang mata didepannya?
Pantai, hujan, langit jingga,
bunga matahari.
Panda, koala, gajah, minke.
Dan aku?
Sedikit dari banyak hal yg
disukainya, bersamaan dengan Kunto Aji dan Pamungkas ditelinganya.
Wanitaku, yang kini menjadi
sebutannya untukku
Lelaki yang sulit menuai janji,
namun lebih suka dengan bukti yg dinanti
Ah notifikasi, barusan dia
meminta tulisanku ini
Untuk mendeskripsikan dirinya,
dia kira cukup dalam satu paragraf?
Bahkan untuk menulis tentang
kelembutan suaranya di buku catatan arisan pun tak mungkin sampai
Apalagi keseluruhannya?
Itu tersimpan rapat didalamku
(dia menyebut namaku), aku menyayangimu.
by, moon
Jumat, 01 Mei 2020
Aman, Amin...
Langit menutup cerahnya dengan
tepat. Arlojiku cepat berbunyi. Karna hanya itu yang satu-satunya hasil dari
fungsi. Segera saja aku lari menuju kran air yang dengan sendirinya terbuka dan
debit airnya segera ku ketahui. Aku tutupi semua yang seharusnya tidak layak
dipandang oleh mata lelaki. Aku kembali membisik bumi, yang diberi pengertian
oleh langit. Suaraku jauh dari lantang, tetapi sudah sangat dipercaya Sang
Pencipta akan mendengar.
Hari
tidak lagi sunyi karena terisi suara alam dan degub jantungku sendiri. Sudah
lebih dari 2 tahun tidak ada jejak langkah yang mendekati, kecuali pengantar
makanan setiap pagi yang menyiapkan tiga porsi makan sekaligus untuk dia tidak
kembali lagi hari ini.
Jariku
mengetuk jati yang keras berbunyi. Tidak ada yang menyaut ataupun yang
mengarahkanku untuk berhenti. Aku seakan menggenggam duniaku sendiri. Yang aku
buat berdasarkan ramah yang mengarah pada amarah. Aku benci siapa saja. Kecuali
Sang Pencipta dan ciptaannya selain manusia.
Langkahku
berjalan menyusuri rumah ini. Dengan tangan yang meraba kanan dan kiri. Dengan
rasa aman yang hanya bisa di Aminkan. Tidak ada satupun rasa takut untuk berada
lebih lama disini. Bahkan ketika semua orang sibuk menggenggam yang tidak akan
kekal.
Siapa perduli? Aku berjalan
dengan kakiku sendiri, arah yang aku ciptakan bisa siapa saja melewati, tapi
perasaan ini hanya aku yang menikmati. Tidak akan ada sepasang telinga yang
mampu mendengar gemuruh ini. Tidak akan ada sebuah hati yang mampu mengerti
sulitnya menjadi yang seperti aku ini.
Dikira
hanya makan, supaya hidup. Padahal,
tanpa makan pun akan tetap hidup. Tapi lemas, tak berdaya menanggung semua yang
seharusnya sesama. Untung saja mulutku masih mau menampungnya untuk dicerna.
Tega sekali
memang, menantang hubungan supaya kekal. Jatuhnya, tidak akan ya seperti ini jadinya. Karna semesta
telah merubah hati sucinya. Menjadi tidak mampu ku kenali lagi, menjadi tidak
pantas ku agungkan lagi, menjadi hanyut dalam sungai mati.
Aku kini telah menjadi diriku sendiri, yang tidak mau
melihat wajahmu lagi. Bukan tidak mau, tapi memang sudah tidak mampu. Hanya
tersisa telinga yang masih mengharapkan suaramu, tapi tidak lagi. Percuma,
pecundang. Ini kan, yang kau mau? Supaya aku tidak bisa terlanjur semuanya
lagi. Pikirmu sayang akan hilang ketika aku tidak melihatmu? Dasar. Dewasalah,
malu dengan matamu yang kaya akan semesta.
Kalau jalan
yang pernah kita lalui memang Kau takdirkan untukku berjalan sendiri hari ini, yakinkan
aku untuk tetap berada di Bumi. Meskipun hamba-Mu tidak ada yang bisa kupercaya
lagi. Semuanya sama saja, sama-sama datang dan pergi. Menginginkan bahagia
sesuka hati, menyambut sedih dengan sendiri.
Aku
berlindung dengan ucapanku yang kau sebut do’a, aku terkurung dalam angkuhku
yang kau sebut perintah.
Langganan:
Komentar (Atom)
siapa yang paling terang
tak ada warta, tak ada warna menjenguk arang yang ditinggalkan apinya menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya memanggil hujan dengan...
-
tak ada warta, tak ada warna menjenguk arang yang ditinggalkan apinya menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya memanggil hujan dengan...
-
terkadang waktu bagai buku lapuk yang tergeletak menyaksikan manusia meninggalkan jejak bergerak ke rumah pengabdian, beranjak dari keny...
-
Pernah hampir terbunuh sama pikiran sendiri. Entah darimana datengnya, apa alasannya. Pernah hampir rapuh karna langkah sendiri. Berjalan j...