Kamis, 28 Mei 2020

Sesak

Sesak, karna terlalu banyak pikiran yang memaksa terus berpikir.
Saat tidur bukan lagi perihal istirahat, tapi pelarian pikiran.
Mau diutarakan, supaya lega, supaya tidak lagi ada yang mengapung.
Biar menentukan, mau terbang atau tenggelam.
Tapi tidak bisa, tidak tau apa yang harus dikeluarkan.
Pikiran? Yang mana? Rasanya banyak, tapi menentukan satu saja tidak bisa.
Rasanya seperti tidak ada, tapi sesak.
Jangan memaksa, kalau tidak mau melihat air mata semakin banyak.
Bahkan tidak ada rasa salah yang menggambarkan air mata.
Semuanya benar, meskipun terlanjur tersedu-sedu.
Biarkan hati berjalan dengan seenaknya sendiri, menyuruh mata untuk mengeluarkan airnya sisi lain menyuruh mulut untuk membungkamkan semuanya.
Terjebak di dalam labirin pikiran sendiri. Dalangnya diri sendiri, tapi tidak mampu menguasai.
Jagonya hanya menangis dan menangis.
Meminta semua orang mengerti, tapi tidak mau membagi tau.
Karna kesedihan bukanlah sebuah lompatan kesenangan, jika berturut-turut.
Tidak berhak orang lain tau, sama sekali tidak. Kalaupun tau pun, tidak akan bisa membantu.
Biarkan tetap terjebak di dalamnya, tanpa penolong yang menolong.
Biar diselamatkan pikiran baik sendiri, biar senang berada pada proses panjang yang menyenangkan.
Kalau berhasil, selamatlah.
Kalau tidak, biarkan tenggelam semuanya. Termasuk yang paling tidak bisa diatur, hati dan juga yang paling tidak mau diajak berhenti, pikiran.
Jangan menemui, nanti menangis lagi.

Rabu, 27 Mei 2020

Lelaki


Padahal datangnya hanya untuk menyenangkan hati dan membuang sepi
Kemudian setelah mendapati tawa, pasti pergi entah kemana
Sempurna, berucap seakan meyakinkan ucapan
Tidak perduli keadaan sekitar, tidak perduli jika nantinya akan ingkar
Padahal sedang berbicara dibalik kebohongan, tetapi masih saja dijadikan kebanggaan
Menjadikan kilah kenyamanan sebagai umpan
Yang membuat selalu saja percaya diri, dikira ia hanya mencintai satu saja
Dimana sebuah jati diri? Tidak lelah selalu mencari kesana kemari padahal sudah dimiliki? Tidak bisakah menetap kepada satu hati?
Selalu saja mencari permpuan yang nantinya hanya dijadikan perumpamaan.
Hei kau, seorang lelaki, kan? 
Ingat, kau hanya mimiliki satu hati yang nantinya pun akan mati
Jangan menyombongkan diri, belagak memahami semua kuasa
Memang tidak semua sepertinya, tapi aku menyebutnya lelaki paling tidak tau diri
Berpindah hati tanpa teka-teki
Seenak sendiri, tidak perduli sama sekali
Padahal nafas saja bergantung pada semesta, tapi gayanya bermimpi lebih dari semestinya
Kamu tidak tau, yang secukupnya saja bisa membuat bahagia
Tidak melulu dengan kemewahan mobil gagahmu itu
Tidak juga tunduk dengan dompet ramaimu itu
Kamu, berlabuhlah. 
Supaya punya lebih banyak kata yang diucapkan, supaya tau hidup seorang wanita yang masuk dalam perangkapmu, tidak melulu "lidah manis" mu itu. 

Minggu, 03 Mei 2020

Tulisanku


Mas, kamu ikut mengalir dengan air di sungai mana sih? Bisa bisanya menemukan aku yang saat itu sama sekali tidak membutuhkanmu, kecuali sebagai rekan kerja paling banyak bicara.
Tiba-tiba membuat nyaman. Mengutarakan rasa sayang, mengajak jalan. Kamu curang, mengajak ke toko buku, gimana mau nolak? Menonton film kesukaanmu, meskipun aku tidak tau siapa itu. Nurut saja, sama yang punya lebih banyak pengalaman.

Ternyata waktu membuat kita sadar, kalo sebenernya kita adalah yang saling mencari dan sudah menemukan. Aku kira kamu akan pergi setelah tau semua malamku, ternyata kamu meneranginya mas. Sebagai bulan yang paling indah, sabit yang selalu kurang tapi penuh kasih sayang.

Biar aku dibilang egois, memintamu untuk menjadi bulanku yang hanya aku yang dapat merasakan itu. Biar mereka bicara aku gila menganggapmu berada di angkasaku.

Asal kamu tau mas, ini yang dulunya sunyi (menunjuk diri sendiri), bersuara dengan tulisan sendiri. Lihat, sekarang ada yang sudi membacanya hingga titik terakhir dan selalu bersedia membaca ketika aku menulis lagi.

Dalam ceritamu yang lalu, kamu juga pernah luka. Luka yang hampir sama sepertiku, bahkan kamu bersama luka dalam jangka waktu yang lebih lama dariku, iya kan mas? Ceritaku sebenarnya tak layak dengar mas, tapi aku tau telingamu hebat. Menahan teriakku ketika bekerja, senduku ketika menangis, dan nyaringku ketika bahagia.

Kita pernah sama-sama berat sebelah kasih, tertatih, kemudian teralih.

Semesta sudah mengaturnya mas, kita tumbuh dari luka dan bertahan untuk tidak saling melukai. Kita berdua sepakat.

Mas, kamu membuatku lebih hidup.
Tau sejak kapan? Sejak mencari kesempatan dibalik kesibukan pekerjaan, kemudian mencuri pendangan di jam makan siang. Sejak kamu merubah waktu lima menit sepulang kerja menjadi yang kita tunggu. Dengan obrolan tidak tau arah yang selalu membaur dalam kita. Sejak kita selalu menebak sore, akankah jingga atau orange. Sejak kamu melarangku untuk bermain hujan dan kamu kalah.
Mas, masih ingat saat kita berdua melulu membahas pekerjaan yang amat serius? Sekarang pun masih mas, bedanya aku sudah menyayangimu.

Mas, kamu membuatku lebih hidup.
Membuat cita-cita semakin ingin tergapai. Kamu tidak pandai menuai janji mas, yang kamu lakukan selalu terbukti. Maaf sempat membandingkanmu dengan yang sudah terlewat. Padahal seharusnya kamu tidak perlu membuang banyak keringat untukku mas, masuk ke dalam labirinku, dan menghadapi aku yang rumit. Yang sudah menemukan bahagia tapi masih saja menceritakan yang sepantasnya terlupa.

Katamu, aku berhak menulis apa saja di tulisanku dan akan tetap kau baca. Katamu, karna kamu yakin aku sudah menjadi milikmu yang hanya akan kembali kepadamu.

Mas, biarkan aku marahi semua wanita yang berusaha mengganggumu. Aku takut kamu hilang, kembali tak ku kenal, menjadi asing dalam dekat.

Mas, kamulah sang pemilik rumah paling kokoh ini. Tanpa sangkar kamu biarkan aku berkelana dan tetap pulang di pelukmu. Yang dimana sudah tersedia bahu ternyaman untukku.

Tidak akan sanggup aku menguraikan semua tentangmu mas, kamu adalah sesempurnanya Tuhan menciptakan hati manusia. Begitu sabar, bahkan marahmu ramah mas. Terimakasih ya mas, untuk tidak tersesat di Jupiter. 

Aku tau banyak yang ingin kamu sampaikan juga mas. Maaf aku menyuruhmu untuk menulis, karna aku juga mau merasakan kagum dengan tulisan dari serorang terkasih. Seperti yang hampir setiap hari kau lakukan setelah membaca tulisanku mas. 

Tapi kenapa kamu merendah? Bahkan tulisanmu lebih bagus dari bunga matahari layu. Mataku sayup mas, ingin membacanya di depanmu supaya dan setelah itu memelukmu. 

kamu tau aku menyayangimu kan sudah aku katakan setiap hari. Kamu  sudah mulai terbiasa kan mas? Memahamiku yang rumit ini?

Tulisanmu


Huuhh...
Benar-benar pagi itu, suka sekali membuat malamnya menjadi kusut
Suruh rangkai kalimat katanya, gila, padahal jagoku membuat bahu ternyaman untuknya
Insan indah ciptaan tuhan yg datang mengetuk hati, yang entah, sudah lama tertutup
Menghampiri dengan lembut, namun matanya penuh dengan keseriusan, tegang, dan ketakutan yg masih terpancar
Masa lampau melekat diretina matanya
Seakan ingin berbicara, memastikan,
Apakah kau bakal sama seperti dirinya?
Makhluk sempurna, namun tetaplah seorang manusia
Memandang orang lain setinggi langit, sampai kadang lupa bahwa dirinya bahkan bisa mencapai angkasa
Insecurity yang meremas mimpi
Suasana hati yang mudah untuk dirubahnya, namun untuk menatap retinaku merupakan salah satu hal tersulit baginya
Kalo aku ceritakan kepada panda, apa dia bakal percaya klo pemiliknya membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menatap sepasang mata didepannya?
Pantai, hujan, langit jingga, bunga matahari.
Panda, koala, gajah, minke.
Dan aku?
Sedikit dari banyak hal yg disukainya, bersamaan dengan Kunto Aji dan Pamungkas ditelinganya.
Wanitaku, yang kini menjadi sebutannya untukku
Lelaki yang sulit menuai janji, namun lebih suka dengan bukti yg dinanti
Ah notifikasi, barusan dia meminta tulisanku ini
Untuk mendeskripsikan dirinya, dia kira cukup dalam satu paragraf?
Bahkan untuk menulis tentang kelembutan suaranya di buku catatan arisan pun tak mungkin sampai
Apalagi keseluruhannya?
Itu tersimpan rapat didalamku
(dia menyebut namaku), aku menyayangimu. 

by, moon 

Jumat, 01 Mei 2020

Aman, Amin...



Langit menutup cerahnya dengan tepat. Arlojiku cepat berbunyi. Karna hanya itu yang satu-satunya hasil dari fungsi. Segera saja aku lari menuju kran air yang dengan sendirinya terbuka dan debit airnya segera ku ketahui. Aku tutupi semua yang seharusnya tidak layak dipandang oleh mata lelaki. Aku kembali membisik bumi, yang diberi pengertian oleh langit. Suaraku jauh dari lantang, tetapi sudah sangat dipercaya Sang Pencipta akan mendengar.
                Hari tidak lagi sunyi karena terisi suara alam dan degub jantungku sendiri. Sudah lebih dari 2 tahun tidak ada jejak langkah yang mendekati, kecuali pengantar makanan setiap pagi yang menyiapkan tiga porsi makan sekaligus untuk dia tidak kembali lagi hari ini.
                Jariku mengetuk jati yang keras berbunyi. Tidak ada yang menyaut ataupun yang mengarahkanku untuk berhenti. Aku seakan menggenggam duniaku sendiri. Yang aku buat berdasarkan ramah yang mengarah pada amarah. Aku benci siapa saja. Kecuali Sang Pencipta dan ciptaannya selain manusia.
                Langkahku berjalan menyusuri rumah ini. Dengan tangan yang meraba kanan dan kiri. Dengan rasa aman yang hanya bisa di Aminkan. Tidak ada satupun rasa takut untuk berada lebih lama disini. Bahkan ketika semua orang sibuk menggenggam yang tidak akan kekal.
Siapa perduli? Aku berjalan dengan kakiku sendiri, arah yang aku ciptakan bisa siapa saja melewati, tapi perasaan ini hanya aku yang menikmati. Tidak akan ada sepasang telinga yang mampu mendengar gemuruh ini. Tidak akan ada sebuah hati yang mampu mengerti sulitnya menjadi yang seperti aku ini.
                Dikira hanya makan, supaya hidup.  Padahal, tanpa makan pun akan tetap hidup. Tapi lemas, tak berdaya menanggung semua yang seharusnya sesama. Untung saja mulutku masih mau menampungnya untuk dicerna. 
                Tega sekali memang, menantang hubungan supaya kekal. Jatuhnya, tidak akan ya seperti ini jadinya. Karna semesta telah merubah hati sucinya. Menjadi tidak mampu ku kenali lagi, menjadi tidak pantas ku agungkan lagi, menjadi hanyut dalam sungai mati. 
                 Aku kini telah menjadi diriku sendiri, yang tidak mau melihat wajahmu lagi. Bukan tidak mau, tapi memang sudah tidak mampu. Hanya tersisa telinga yang masih mengharapkan suaramu, tapi tidak lagi. Percuma, pecundang. Ini kan, yang kau mau? Supaya aku tidak bisa terlanjur semuanya lagi. Pikirmu sayang akan hilang ketika aku tidak melihatmu? Dasar. Dewasalah, malu dengan matamu yang kaya akan semesta.  
                Kalau jalan yang pernah kita lalui memang Kau takdirkan untukku berjalan sendiri hari ini, yakinkan aku untuk tetap berada di Bumi. Meskipun hamba-Mu tidak ada yang bisa kupercaya lagi. Semuanya sama saja, sama-sama datang dan pergi. Menginginkan bahagia sesuka hati, menyambut sedih dengan sendiri.
                Aku berlindung dengan ucapanku yang kau sebut do’a, aku terkurung dalam angkuhku yang kau sebut perintah.

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...