Dibentuk dengan tanah yang kini bernyawa,
telah lahir dari sebuah rahim berpengalaman dua kali sebelumnya.
Ratna Tanah Kinasih hidup menjadi anak kesayangan karena anak satu-satunya
setelah 2 kakaknya memutuskan gantung diri bersama, karena keluarga yang bahkan
tidak ada bahagianya. bapak dan ibu yang tidak pernah berbincang meski hanya
satu kata setiap harinya, selain karena Ibu yang kini tidak lagi bisa bicara
hanya tebaring menemani ranjang sesekali meminta makanan, Bapak dan Ibu juga
sudah tidak ada rencana yang sama. maka dari itu, mereka tidak akan kembali
membangun dunia. mereka sekarang hanya menikmati sisanya dan menunggu waktu
merenggut hidup menjemput mati. entah satu persatu atau dua menjadi satu, aku
tidak tau apakah mereka akan saling menangis? setelah yang mereka lewati saling
menyakiti, saling membenci bumi.
sehari sebelum ku dilahirkan, Bapak dan Ibu
masih sama-sama dalam satu mesin jahit, membuat selimut hangat yang sampai aku
berumur 20 tahun sekarang masih yang paling hangat. sehari sebelum aku
dilahirkan, mereka telah menelantarkan ego dan mengais penyesalan. Pertama
kalinya sama-sama merancang perbaikan untuk anak ketiga yang satu-satunya.
menulis apa saja yang ingin anaknya punya, menulis apa saja yang ingin anaknya
bisa, menulis apa saja yang anaknya harus, menuntut anak untuk menjadi apa yang
diminta. itu mereka berdua, dua kepala yang mengasuh satu anak setelah kedua
anak sebelumnya merenggut nyawa. merenggut nyawa. merenggut nyawa. dibaca tiga
kali pun tidak akan membuat mereka kembali hidup, telah tenang tanpa nyawa.
Lebih tenang tanpa nyawa. nyawanya dihabisi sendiri. bergantung diri di balkon
rumah dini hari. alasannya sama, karena Ibu Bapak adalah dua kepala tidak ada
yang mau kalah. masing-masing dari mereka mengatakan sama-sama berperan.
sebagai orang tua yang padahal tidak pernah menjadi orang tua, hanya sekali
saja. saat aku meninggalkan rahim setelah Sembilan bulan lamanya, mereka berpelukan hangat dan bapa mengumandangkan Adzan tepat
di telinga. mungkin itu terakhir kalinya mereka sama-sama memeluk, setelah aku
ada di dunia.
Namun, aku tidak pernah menjadi seorang
anak. dua dari mereka terlalu sibuk berencana untuk memebesarkanku, dua kepala
mereka berencana berbeda, sibuk berencana hingga lupa anaknya sudah tumbuh
dewasa tanpa peran mereka. berumur 20 tahun, mereka masih berencana. dengan dua
kepalanya, dengan dua mulutnya yang terbiasa beradu, dengan dua tangan dan kaki
yang terbiasa menyakiti.
jika aku telah menjadi dua, mereka damai.
mengasuh sebagian dariku dengan cara dan egonya maisng-masing. jika aku menjadi
dua, mereka bercerai. semakin berantakan keduanya. mereka kira suara marah
dibalik dinding menguning yang hanya setebal beberapa cm itu tak ku dengar,
padahal sudah mulai ingin roboh ini rumah rasanya. terus menerus ditusuk kata
perkata sakit.
Tanah yang ku selipkan di tengah namaku itu, aku
sendiri yang menambahnya. sebelumnya namaku hanya Ratna Kinasih. jangan berpikir
itu adalah nama atas persetujuan mereka berdua, tidak. Mereka tidak pernah satu
tujuan, selalu berbeda.
Ibu memberiku nama Ratna yang berarti
permata. ya, ia menganggap janin kecil yang menyesaki perutnya itu adalah
sebuah permata hidup yang akan membuatnya hidup juga. jika sang permata mati,
ia turut serta katanya. karena, tidak ada lagi tugasnya di dunia selain menjaga
permata. sedangkan Bapak saat itu ingin memberi nama Kinasih karena aku lahir
sebagai anak harapannya, Kinasih yang berarti kesayangangan. sepertinya ia
begitu menyayangiku saat aku pertama kali bernafas. pertama kali bernafas,
tidak tau hari ini.
kedua kepala setelah Bapak Adzan di telingaku, mereka
berdebat, mengeluarkan pendapatnya masing-masing, beradu peran, membuat seluruh
ruangan rumah sakit menjadi riuh dengan dua suara itu, suara yang tak pernah
diam dan ingin selalu paling lantang dan paling di dengar, sampai telapak
tangan Bapak menyentuh keras pipi Ibu yang telah berusaha mengeluarkan
permatanya. yang hampir saja kehilangan nyawanya setelah mengeluarkan
permatanya, yang hampir saja bertukar hidup setelah mengeluarkan permatanya,
Bapak melayangkan telapak tangannya pada pipi yang basah itu. hanya perdebatan
sebuah nama. hanya berjarak satu jam setelah aku dilahirkan. akhirnya mereka
dilerai dengan seorang dokter dan petugas keamanan. Saat itu pertama kalinya
mereka menyatukan dua pikiran, jadilah namaku. Ratna Kinasih. Ya, Bapak
memanggilku Kinasih saja tanpa Ratna. Begitu juga Ibu yang memanggilku Ratna
saja, tanpa Kinasih. Padahal keduanya sama-sama berarti baik, entah bagaimana
jalan pikiran mereka. Mungkin tidak mau baiknya kebanyakan? namaku adalah satu
satunya bukti dua kepala mereka pernah menjadi satu. Ratna Kinasih. hanya
satu-satunya, tak terhitung berapa yang gagal dan terus bertengkar sampai lelah
sendiri.
aku mengerti, mengapa kedua kakaku memilih untuk
sudah keepada dunia. masa kecilku? bayangkan saja satu kejadian yang barusan
kuceritakan hanya satu jam setelah aku dilahirkan. sekarang aku berumur 20
tahun, yang dimana aku telah melewati lebih dari lima ribu jam dengan suara
mereka, dengan rupa mereka yang semakin tua tapi sifatnya sama sekali tak
berbeda. aku menyaksikan Bapak membuat Ibu bersahabat dengan ranjangnya. aku
menyaksikan Bapak yang membuat Ibu kehilangan suaranya dan tidak lagi bicara.
ini cara Bapak untuk menyudahi perdebatannya dengan Ibu. setelah setengah abad
umur pernikahan mereka.
jika saja saat itu Bapak lebih menyelamatkan hak
Ibu untuk menjadi remaja pada umumnya. tidak memaksa Ibu untuk menikah. jika
saja saat itu Eyang KUng tidak membuat rumit hidupnya sehingga mengorbankan
seorang anak perempuannya untuk menjadi tebusannya. Mungkin Ibu baik-baik saja,
mungkin aku dan kedua kakaku tidak ada di dunia. Masih di alam sana, menunggu
siapa yang siap menjadi orang tua?
Ibu adalah wanita yang dipilih untuk
menjadi Ibu secara terpaksa, dengan menghilangkan hak membela dirinya.
aku berharap dengan Tanah di tengah namaku, aku
segera memeluknya. berada saja di dalamnya. jauh dari dinding menguning itu.
jauh dari suara dua manusia yang seharusnya menerima kehadiran anaknya. anak
satu-satunya. di dalam sana aku akan mengenal dua sodara yang tak pernah ku
temui. yang mungkin merasa sama, sama-sama lebih baik terkubur tanah. dari pada
kedua telinga terus menerus mendengar kabar tidak bahagia setiap harinya.
jika perceraian adalah keputusan terbaik untuk
memisahkan mereka, mengapa tidak juga? jika mereka masih terus menerus
memenggal telingaku dengan suara-suara itu, mengapa masih juga menjagaku?
jika aku satu-satunya permata kesayangan mereka,
seharusnya mereka menyentuh kulitku bak sekali saja, untuk aku merasa kedua
orang tua bukan monster mengerikan. untuk aku merasa aku berperan di dunia
sebagai seorang anak mereka, bukan manusia tidak ada guna.