Rabu, 22 Desember 2021

cerita dibalik senja

 


Kali ini aku meminta untuk kamu satu-satunya ciptaanNya yang tidak akan berubah menjadi siapapun. Kecuali diri terbaikmu.
Lalu aku meminta, untuk tidak mengatakan siapa lagi setelah kita. karna, memang ini yang selalu dipuja sebagai tokoh utama segala cerita.
Sekali lagi aku meminta, jangankan satu nama diantara kita, ujung nadi wanita lain menyentuhmu saja aku tidak rela.

aku meminta untuk satu di dunia, yang seperti kamu nyata.
dan aku meminta, untuk tidak mengatakan siapa lagi setelah kita. karna, memang ini yang selalu dipuja sebagai tokoh utama segala cerita. senang, sedih aku mau kamu dan aku menjadi tokoh utamanya. . kita, hanya aku dan kamu. sekali lagi aku meminta, jangankan satu nama diantara kita, ujung nadi lain menyentuhmu saja aku tidak rela.

Luka Lama

 ada semesta yang kembali dibuka lembarnya

yang sempat disanjung cipta bahagianya
tanpa tanaman ragu mengungkapkannya
pena berwarna yang menulis cerita sederhana
dalam selembar pelangi yang lagi-lagi
disanjung cipta bahagianya
tanpa kikisan pada kepercayaannya
tinta permanen itu mengetuk palu
ingin terus ia yang menulis cerita
dalam lembar buku pertama, dan selanjutnya
hingga bukunya tertutup, berganti, lalu sama-sama lusuh
pertanyaan-pertanyaan kepala
yang jawabannya "iya bersama, iya bersama"
semesta dengan segala keyakinan
"aku bukan yang pada masa lalumu"
mengagungkan rasa yakin bahwa iya
benar adanya, bukan dia rupanya
semesta ini membawa seluruh senja untuk dinikmati bersama
dalam waktu yang sangat lama
tapi senja itu seiring berganti dengan gelap terangnya langit
pada akhirnya mengaku, bahwa ia menggenggam badai
yang disimpan dalam-dalam pada saku celana
yang dikeluarkan kapan saja waktunya
"tidak lagi bisa dilanjutkan"
"tidak perlu mengatakan"
"aku akan meninggalkan"
lalu aku hancur sebagian
berdiri pada semesta kesalahan
memeluk luka lama
tidak lagi-lagi
mempercayai dengan sepenuh hati,
sepanjang hari,
sedekat nadi.
biar saja kau melebur dalam bumi
tak perlu ku tanya mana janji.
pergi, dan jangan pernah meminta kembali
bajingan sayang.
silakan pergi, bajinganku sayang

98 Tahun Hidup (Mbah Mami)

 satu abad ia lalui dengan sedikit sedih. meskipun tertinggal suami. ia merasa sang kekasih hati masih menemani tidurnya sepanjang malam, masih memeluknya ketika hari terasa suram. ia tak pernah lalai mengirim dua bahkan lima kali doa setiap hari.

ia yang menyambut pagi bukan untuk bertemu mentari, namun mengecek kembali apakah ayamnya sudah mati? selalu saja menghitung siapa yang akan mati, ayam yang dipelihara atau sang pemelihara. padahal usianya dengan ayam tak sebanding apabila disamakan, namun itu kebetulan. kebetulan ia menyayangi ayamnya
telinga yang masih mendengar suara-suara riun dunia dan selalu berbicara "miyen kui arep maring semarang mlaku yo iso, saiki duite akeh yo numpak sepur wae sing cepet ya nduk"
ia yang bersaksi terhadap perkembangan jaman meskipun pemikirannya tak ikut berkembang.
namun ia masih dengan suara lembut ketika berbicara dengan semua
"arep nengge jaket mbah?"
"ora ora, nggo koe wae. sepur kok iso atis ngene pie? kipas angine piro?"
"iku jenenge AC mbah, sanes kipas angin"
"walah, opo meneh iku"
-
ia yang selalu bercerita semasa merdeka bersama suaminya, betapa bahagianya mereka. menenun kehidupan dengan anak-anak yang masih pada satu rumah yang sama, kecuali suaminya. ia bukti nyata akan bahagia tidak ada sudahnya, sabar tidak ada batasnya, sedih tidak ada selesainya, ya hidup dijalani saja sebagaimana adanya. bahwa memang tujuan manusia hidup ya untuk mati, apalagi?
mbah mami, sehat-sehat ya. semoga covidnya segera selesai, insyaallah nanti aku bawa mbah ketemu sama mbah mami yang sehat di Semarang ya.

Ratna Tanah Kinasih (Kedua Kakak Merenggut Nyawa)

 Dibentuk dengan tanah yang kini bernyawa, telah lahir dari sebuah rahim berpengalaman dua kali sebelumnya. Ratna Tanah Kinasih hidup menjadi anak kesayangan karena anak satu-satunya setelah 2 kakaknya memutuskan gantung diri bersama, karena keluarga yang bahkan tidak ada bahagianya. bapak dan ibu yang tidak pernah berbincang meski hanya satu kata setiap harinya, selain karena Ibu yang kini tidak lagi bisa bicara hanya tebaring menemani ranjang sesekali meminta makanan, Bapak dan Ibu juga sudah tidak ada rencana yang sama. maka dari itu, mereka tidak akan kembali membangun dunia. mereka sekarang hanya menikmati sisanya dan menunggu waktu merenggut hidup menjemput mati. entah satu persatu atau dua menjadi satu, aku tidak tau apakah mereka akan saling menangis? setelah yang mereka lewati saling menyakiti, saling membenci bumi.


sehari sebelum ku dilahirkan, Bapak dan Ibu masih sama-sama dalam satu mesin jahit, membuat selimut hangat yang sampai aku berumur 20 tahun sekarang masih yang paling hangat. sehari sebelum aku dilahirkan, mereka telah menelantarkan ego dan mengais penyesalan. Pertama kalinya sama-sama merancang perbaikan untuk anak ketiga yang satu-satunya. menulis apa saja yang ingin anaknya punya, menulis apa saja yang ingin anaknya bisa, menulis apa saja yang anaknya harus, menuntut anak untuk menjadi apa yang diminta. itu mereka berdua, dua kepala yang mengasuh satu anak setelah kedua anak sebelumnya merenggut nyawa. merenggut nyawa. merenggut nyawa. dibaca tiga kali pun tidak akan membuat mereka kembali hidup, telah tenang tanpa nyawa. Lebih tenang tanpa nyawa. nyawanya dihabisi sendiri. bergantung diri di balkon rumah dini hari. alasannya sama, karena Ibu Bapak adalah dua kepala tidak ada yang mau kalah. masing-masing dari mereka mengatakan sama-sama berperan. sebagai orang tua yang padahal tidak pernah menjadi orang tua, hanya sekali saja. saat aku meninggalkan rahim setelah Sembilan bulan
lamanya, mereka berpelukan hangat dan bapa mengumandangkan Adzan tepat di telinga. mungkin itu terakhir kalinya mereka sama-sama memeluk, setelah aku ada di dunia.

Namun, aku tidak pernah menjadi seorang anak. dua dari mereka terlalu sibuk berencana untuk memebesarkanku, dua kepala mereka berencana berbeda, sibuk berencana hingga lupa anaknya sudah tumbuh dewasa tanpa peran mereka. berumur 20 tahun, mereka masih berencana. dengan dua kepalanya, dengan dua mulutnya yang terbiasa beradu, dengan dua tangan dan kaki yang terbiasa menyakiti.

jika aku telah menjadi dua, mereka damai. mengasuh sebagian dariku dengan cara dan egonya maisng-masing. jika aku menjadi dua, mereka bercerai. semakin berantakan keduanya. mereka kira suara marah dibalik dinding menguning yang hanya setebal beberapa cm itu tak ku dengar, padahal sudah mulai ingin roboh ini rumah rasanya. terus menerus ditusuk kata perkata sakit.

Tanah yang ku selipkan di tengah namaku itu, aku sendiri yang menambahnya. sebelumnya namaku hanya Ratna Kinasih. jangan berpikir itu adalah nama atas persetujuan mereka berdua, tidak. Mereka tidak pernah satu tujuan, selalu berbeda.

Ibu memberiku nama Ratna yang berarti permata. ya, ia menganggap janin kecil yang menyesaki perutnya itu adalah sebuah permata hidup yang akan membuatnya hidup juga. jika sang permata mati, ia turut serta katanya. karena, tidak ada lagi tugasnya di dunia selain menjaga permata. sedangkan Bapak saat itu ingin memberi nama Kinasih karena aku lahir sebagai anak harapannya, Kinasih yang berarti kesayangangan. sepertinya ia begitu menyayangiku saat aku pertama kali bernafas. pertama kali bernafas, tidak tau hari ini.
kedua kepala setelah Bapak Adzan di telingaku, mereka berdebat, mengeluarkan pendapatnya masing-masing, beradu peran, membuat seluruh ruangan rumah sakit menjadi riuh dengan dua suara itu, suara yang tak pernah diam dan ingin selalu paling lantang dan paling di dengar, sampai telapak tangan Bapak menyentuh keras pipi Ibu yang telah berusaha mengeluarkan permatanya. yang hampir saja kehilangan nyawanya setelah mengeluarkan permatanya, yang hampir saja bertukar hidup setelah mengeluarkan permatanya, Bapak melayangkan telapak tangannya pada pipi yang basah itu. hanya perdebatan sebuah nama. hanya berjarak satu jam setelah aku dilahirkan. akhirnya mereka dilerai dengan seorang dokter dan petugas keamanan. Saat itu pertama kalinya mereka menyatukan dua pikiran, jadilah namaku. Ratna Kinasih. Ya, Bapak memanggilku Kinasih saja tanpa Ratna. Begitu juga Ibu yang memanggilku Ratna saja, tanpa Kinasih. Padahal keduanya sama-sama berarti baik, entah bagaimana jalan pikiran mereka. Mungkin tidak mau baiknya kebanyakan? namaku adalah satu satunya bukti dua kepala mereka pernah menjadi satu. Ratna Kinasih. hanya satu-satunya, tak terhitung berapa yang gagal dan terus bertengkar sampai lelah sendiri.

aku mengerti, mengapa kedua kakaku memilih untuk sudah keepada dunia. masa kecilku? bayangkan saja satu kejadian yang barusan kuceritakan hanya satu jam setelah aku dilahirkan. sekarang aku berumur 20 tahun, yang dimana aku telah melewati lebih dari lima ribu jam dengan suara mereka, dengan rupa mereka yang semakin tua tapi sifatnya sama sekali tak berbeda. aku menyaksikan Bapak membuat Ibu bersahabat dengan ranjangnya. aku menyaksikan Bapak yang membuat Ibu kehilangan suaranya dan tidak lagi bicara. ini cara Bapak untuk menyudahi perdebatannya dengan Ibu. setelah setengah abad umur pernikahan mereka.

jika saja saat itu Bapak lebih menyelamatkan hak Ibu untuk menjadi remaja pada umumnya. tidak memaksa Ibu untuk menikah. jika saja saat itu Eyang KUng tidak membuat rumit hidupnya sehingga mengorbankan seorang anak perempuannya untuk menjadi tebusannya. Mungkin Ibu baik-baik saja, mungkin aku dan kedua kakaku tidak ada di dunia. Masih di alam sana, menunggu siapa yang siap menjadi orang tua?

Ibu adalah wanita yang dipilih untuk menjadi Ibu secara terpaksa, dengan menghilangkan hak membela dirinya.

aku berharap dengan Tanah di tengah namaku, aku segera memeluknya. berada saja di dalamnya. jauh dari dinding menguning itu. jauh dari suara dua manusia yang seharusnya menerima kehadiran anaknya. anak satu-satunya. di dalam sana aku akan mengenal dua sodara yang tak pernah ku temui. yang mungkin merasa sama, sama-sama lebih baik terkubur tanah. dari pada kedua telinga terus menerus mendengar kabar tidak bahagia setiap harinya.

jika perceraian adalah keputusan terbaik untuk memisahkan mereka, mengapa tidak juga? jika mereka masih terus menerus memenggal telingaku dengan suara-suara itu, mengapa masih juga menjagaku?

jika aku satu-satunya permata kesayangan mereka, seharusnya mereka menyentuh kulitku bak sekali saja, untuk aku merasa kedua orang tua bukan monster mengerikan. untuk aku merasa aku berperan di dunia sebagai seorang anak mereka, bukan manusia tidak ada guna.

Bagaimana itu mati, Pu?

Pu, hari ini dunia masih bicara dengan semua. dengan jeda dan irama. terima apa saja yang ada.

bedanya sedih atau bahagia yang dirasa. di dalam kubur sana, ada apa?

kau tak tau, Pu? aku juga. hari ini aku sibuk memungut kelopak bunga segar yang melepaskan diri dari tangkai yang katanya sudah tidak kuat menerima semua yang ringan apalagi berat.

Pu, pagi ini embun lebih banyak daripada keringatku sendiri. tau kan Pu, maksudku? iya. aku tidak melompat, berlari, atau berjalan hari ini. kaki ku masih di dalam selimut. ku tutup rapat-rapat. takut rayap salah tangkap dan kakiku disantap.

Pu, bagaimana pagi disana? kau dekatkah, denganNya? bisa kau bisikan doaku, Pu? doa yang sama saat kau masih ada. "ambil aku juga"

kau tidak tau Pu, bagaimana rasanya dunia tanpa orang yang ku cinta. kopi pahit pun tidak dapat dicerna, daging lembut pun tidak dapat direbut, selai stroberimu juga semakin membusuk. belum ku pindahkan dari rak kulkasmu paling atas.

Pu, bagaimana? gelapkah? kalau aku sang penemu lampu, akan kubuat satu yang bisa selama-lamanya menerangimu disana, Pu.

adakah yang secantik matahari saat sore bersamamu, Pu? kacamataku butuh tangan lembutmu untuk membersihkannya. untuk jernih ku lihat dunia apa yang masih tersisa meski kau tak ada.

itu tak cukup Pu. jika kau pergi untuk membuat dunia yang baru, aku ingin jadi penatanya juga. aku ingin bersamamu saja. didalam gelap yang menakutkan itu pun tak apa Pu. asal badanmu tidak membiarkanku dingin.

yang kau bilang cerah ini, yang kau bilang indah ini, tidak bagiku Pu. sekalipun aku bisa melihat bagaimana orang tertawa, bagaimana orang bahagia namun tidak Pu. tidak untukku. aku lah si kelopak yang memilih untuk jatuh denganmu daripada melihat matahari setiap pagi yang menyilaukan mata tanpamu itu.

Pu, bagaimana? kelopak matamu memberi kesempatan untuk melihat yang kau pijak sekarang tidak , Pu?

Pu, aku bosan mengatakan aku merindukanmu. orang-orang berkata aku harus mendoakanmu. aku bosan Pu, aku bosan harus berdoa bagaimana supaya aku kembali bertemu denganmu?

lihat aku dari atas sana Pu, aku sangat kecil bukan? aku tertimpa semua yang tak nyata Pu. kau harus menolongku. ajak aku kesana, atau aku yang menjemputmu?

siapa yang paling terang

tak ada warta, tak ada warna  menjenguk arang yang ditinggalkan apinya  menyapa tanah basah yang kehilangan jejaknya  memanggil hujan dengan...